Sepuluh - Apa yang Harus Dilakukan?

1625 Words
“Pernah berada di suatu titik di mana kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan? Ketika kau maju, kau takut menyakiti seseorang. Ketika kau mundur, kau takut bukan hanya seseorang yang tersakiti, tetapi tiga orang.” ~♥~♥~♥~   Jogja, Sebelum UTS Semester 2, 2017 Adel's POV   Sial! Gara-gara lupa dengan jadwal bulananku, jam segini aku masih harus terjebak di sekolah. Padahal bel pulang sudah berdering dengan nyaringnya sekitar setengah jam yang lalu, tetapi masih banyak murid SMA HARAPAN yang belum pulang. Andai saja tadi aku ikut pulang bareng Reina, aku enggak akan terjebak di sini, di saat semua anak lain sudah pulang dan bobok cantik di rumahnya. Lagi-lagi aku menolehkan kepalaku ke belakang, mengawasi situasi. Sambil tetap merapatkan bagian belakang rokku ke tembok, aku berjalan terseok-seok dengan menggenggam sekantong kresek yang kubeli tadi. Beruntung, warung Bu Sari masih buka, kalo enggak... aku mungkin enggak akan pulang dengan selamat. Beberapa siswa yang melihatku berjalan dengan posisi 'aneh' kudapati mengerutkan keningnya, tetapi aku cuma bisa memasang cengiran anehyang kuyakin lebih mirip seringaian ke arah mereka. Setelahnya mereka akan mengedikkan bahunya dan mengacuhkanku. Aku mengerang frustasi. Kenapa sih, gue bisa lupa kalo ini jadwal bulanan gue? Pake acara bocor segala lagi? Aku mendesah. Dan lebih memilih membiarkan rokku bernapas bebas, setelah sedari tadi kupepetkan ke tembok. Beruntungnya aku, akhirnya koridor sepi. Jadi, aku akan mengakhiri semuanya dengan cepat. Namun, baru sejenak aku menghela napas, aku sudah dikejutkan dengan suara langkah kaki menuju ke arahku. Sontak aku mempercepat langkahku menuju toilet sambil merapal kalimat agar orang itu jangan lewat di depanku. "Aaa!" Aku terkejut saat sebuah wajah tiba-tiba berada tepat di depanku. Seorang cowok berjaket berdiri di depanku. Ia mengerutkan keningnya menatapku. "Kenapa teriak?" tanyanya. Ia menatap wajah pucatku yang masih shock. Lalu mengulurkan tangannya dengan raut bingungnya. "Kamu kakak kelas, ya?" tanyanya lirih. Aku bahkan enggak yakin dia bertanya padaku, karena aku pikir sekarang dia tengah membatin sambil memandangku. "Iya," sahutku singkat. Aku bergegas melangkah meninggalkannya dan berharap cowok itu enggak melihat tanganku yang sejak tadi reflek menutupi bagian belakang rokku. "Eh, tunggu! Aku mau nanya, di mana ruang sekretariatnya?" Cowok itu mencekal lenganku. Ia masih menatapku sangsi, lalu mengerutkan keningnya. Hobi banget sih, ngerutin jidat! Aku memiringkan kepalaku dan mengacungkan telunjukku ke arah ruangan yang dicarinya. "Disana." Aku kembali bergegas mendahuluinya yang sepertinya hendak menanyaiku lagi. Tetapi belum sempat dia kembali bertanya, aku sudah menghilang di pintu toilet. Aku terus merutuki nasib sialku hari ini. Lagian kenapa juga aku bisa kelupaan membawa rok ganti atau celana olahraga yang bisa kugunakan untuk menutupi belakang rokku yang kuyakin setengahnya udah bukan berwarna abu-abu lagi.Aku menepuk dahiku dan semakin berdecak. Saking gugupnya karena ketahuan dengan gerak-gerik aneh di koridor tadi, aku juga lupa kalau tadi aku membawa kantong kresek yang isinya beberapa bagian penting. Mungkin kresek itu terjatuh saat secara refleks aku menutupi bagian belakang rokku. Aku kembali berjalan mengendap keluar toilet, celingukan seperti maling jemuran. Koridor sepi. Dan sudah enggak ada lagi seorang pun yang lewat. Jadi aku mencoba santai dan terus mencari, kalau-kalau memang kantong kresek itu jatuh enggak jauh dari sini. "Nyari ini, ya?" Sebuah suara di belakangku lagi-lagi mengagetkanku. Dan yang lebih parahnya tuh, bagian belakang rokku sudah pasti terlihat olehnya. Aku menoleh hati-hati ke arah cowok itu. Anjir! Cowok itu sekarang sedang mesam-mesem setengah cekikikan memandangku. Untuk pertama kalinya aku berharap bumi  menelanku saat ini juga. ~♥~♥~♥~   Nata menatap kantong kresek yang tergeletak di hadapannya dengan dahi berkerut. Ia yakin kalau gadis aneh, bukan, gadis yang berkelakuan aneh tadilah pemilik kresek itu. Nata memungutnya dan dengan penasaran melihat isinya. Wajah Nata memerah. Ia buru-buru menutup rapat kresek itu sambil menelan ludahnya gugup. Sebungkus pembalut dan sebuah celana dalam. Seumur hidupnya Nata baru sekali melihat bentuk kedua benda sakral itu secara live. Karena di dalam keluarganya tidak ada perempuan lain selain mamanya, Nata jadi awam masalah hal yang berbau 'cewek'. Nata memutuskan untuk segera mengembalikan kresek itu dan bersandar pada tembok di samping toilet. Menunggu gadis yang berkelakuan aneh itu mencari kepunyaannya. Nata melihat gadis itu keluar dari toilet mengendap-endap lucu, dengan masih menutupi bagian belakang roknya gadis itu memutar kepalanya mencari sesuatu. Nata tersenyum nyaris tertawa saat menyaksikan gadis itu kini berkacak pinggang tanpa sadar. Ini juga pertama kalinya bagi Nata melihat seorang gadis 'bocor', dan yang lebih parahnya lagi, gadis itu adalah kakak kelasnya. Niatnya untuk mengunjungi mamanya di ruang sekretariat sekolah yang sedang mengurus kepindahannya ke sekolah ini, ia lupakan. Kini Nata justru lebih tertarik melihat tingkah gadis di hadapannya yang sepertinya mulai frustasi karena benda yang ia cari tidak ada. Nata menyerah. Kasihan juga gadis itu dikerjai olehnya, meskipun dengan tanpa sengaja. Jadi Nata mendekati gadis itu yang tidak menyadari keberadaannya. "Nyari ini, ya?" Nata cekikikan di tempatnya berdiri sambil memperhatikan air muka gadis itu. Gadis itu menggaruk belakang kepalanya sambil cengengesan. "Jangan kasih tahu siapa-siapa, ya?" Nata mengangkat bahunya acuh, seraya menyerahkan kresek itu. Gadis itu menerima uluran tangan Nata dengan senyum canggungnya. "Dan sepertinya, kamu juga butuh ini." Adel menerima uluran tangan cowok itu yang menyerahkan jaket berwarna marun miliknya.  "Asal kamu mau sebutin nama kamu, aku janji enggak akan ada yang tahu peristiwa 'bocor' ini," katanya lagi. Cowok itu menyeringai aneh. Gadis itu melebarkan matanya. Apa katanya tadi? Peristiwa bocor? Adel mendelik marah ke arahnya. "Adel," ujarnya cepat. Gadis itu buru-buru ngacir dari hadapan cowok tadi, sambil menutupi belakang roknya. "Aku Nata!" teriak cowok itu saat Adel berusaha menutup pintu toilet yang entah sejak kapan jadi susah ditutup. BLAM Pintu tertutup. Adel memukul kepalanya sambil terus menggerutu. Sedangkan cowok yang kini tengah menatap pintu yang menelan Adel itu, tersenyum. Well! Pertemuan tidak menyenangkan, kah?   Jogja, Setelah UTS Semester 2, 2017 Adel’s POV   "Hari ini ada pertandingan basket antar kelas. Biasa deh, acara sehabis UTS gitu." Reina berbicara dengan mulut penuhnya. Aku menatapnya bosan. Hampir setiap classmeeting enggak ada perubahan. Basket antar kelas, lomba dance, colour fest, huft... jujur aku sudah mulai bosan dengan agenda classmeet itu. Apa OSIS enggak ada ide lagi ya, selain perlombaan itu? Kenapa enggak sekalian lomba bakiyak atau enggak lomba masukin benang ke dalam jarum di mana pesertanya di tutup matanya, aja? Biar anti mainstream sekalian! Kayak lomba tujuh belasan. Aku hanya mendesah pasrah kala Reina yang nyatanya hiperaktif hari ini menggandeng lenganku menuju lapangan basket. Ia berdecak melihat semua area sudah penuh. Aku sebagai temannya sangat mengerti, gadis itu pasti begitu antusias menonton karena ada gebetannya, Aldo, yang hari ini tampak sangat keren dengan setelan seragam basketnya. Akhirnya aku menarik Reina ke tempat yang masih sepi dan gadis itu enggak berhenti mengucapkan terima kasih padaku. Reina meneriakkan nama Aldo terus  menerus sejak tadi. Ia mesem-mesem gaje saat Aldo melambaikan tangannya ke arah kami. Aku mencibir Reina  yang kini tampak memotret Aldo melalui ponselnya. Aku mengedarkan pandanganku ke lapangan. Semua pemain sudah mulai memasuki lapangan. Pasti kelas Aldo akan menang lagi, mengingat cowok itu adalah kapten basket sekolah ini. Dan seperti biasanya, pasti Reina akan merayakan kemenangan cowok yang berbeda jurusan dengan kami itu. Mataku menyipit ketika aku mengedarkan pandanganku. Cowok itu, cowok yang tahu tentang peristiwa 'bocor' itu ada di lapangan. Tatapan mata kami bertemu. Ia menyeringai menatapku, lalu mengerling.  Wajahku langsung memerah. Aku kembali mengedarkan ke arah lain asal enggak ke arahnya. Sepanjang permainan, kulihat Aldo yang menguasai. Cowok itu berlari cepat, mendribble, mengoper, kemudian melakukan shoot dengan tangkas. Aku menganga, begitu juga dengan Reina yang malah terlihat lebih lebay dariku. Cowok itu … tunggu! Lebih baik aku enggak menyebutnya dengan 'cowok itu' lagi, karena aku kan sudah tahu namanya. Nata, kah? Ya. Aku masih sempat mendengar cowok itu menyebutkan namanya sebelum aku benar-benar menghilang di balik pintu, dua minggu yang lalu. Nata bergerak cepat, tanpa diduga, cowok itu mengambil alih permainan. Sorak-sorai dari teman kelas Nata kudengar. Kelas Aldo sekarang tertinggal jauh. Dan begitu kulirik Reina yang duduk di sampingku, ia menatap ke arah lapangan dengan raut sedih. Aku kembali melihat Nata yang tengah melakukan selebrasi setelah mencetak poin. Tanpa sadar aku tersenyum. Siang itu cuaca begitu cerah, sampai aku enggak bisa membedakan mana senyuman akibat melihat cuaca yang cerah, ataukah melihat wajah cerah Nata yang tersenyum ke arahku. ~♥~♥~♥~   Adel masih menatap nanar pada Nata yang juga senantiasa menanti jawabannya. Adel menggelengkan kepalanya. Keputusannya sudah bulat, sebulat kedua kelopak mata yang kini menatapnya. Ia tahu kalau keputusan yang ia ambil ini salah, tetapi begitu ingatannya memutar balik peristiwa yang pernah terjadi di antaranya dan Nata, yang Adel tahu ia merasa sangat gembira sekarang. Mengetahui Nata juga sangat menyukainya, membuat hati Adel menghangat. Adel menarik napas dalam-dalam sebelum berseru. "Iya. Aku mau!" ~♥~♥~♥~     Adel berjalan mengendap-endap agar tidak menimbulkan bunyi.  Lampu di ruang tengah mati. Jadi Adel yakin, kalau Beni sudah tidur di kamarnya. Adel menahan napasnya ketika ia mendapati  Beni tertidur di ruang tengah dengan posisi tidak nyaman. Cowok itu tampaknya sehabis mengerjakan laporan atau apalah itu, yang jelas, Adel dapat menyimpulkan bahwa Beni tidak sadar kalau ia tertidur dengan laptop yang masih menyala. Adel beranjak mendekati Beni lalu memosisikan dirinya duduk disamping Beni. Gadis itu mengambil laptop dari pangkuan Beni dan mematikan laptop itu, kemudian meletakkannya ke atas meja. Adel juga memosisikan tubuh Beni agar cowok itu besok tidak mengaduh kesakitan dengan menjaga supaya Beni tidak bangun. Adel bergegas mengambil selimut di kamarnya sambil meletakkan tas gendongnya. Semenit kemudian ia sudah berada di ruang tengah dengan bantal dan selimut di dekapannya. Adel dengan cekatan menyanggah kepala Beni dengan bantal bergambar Spongebob kesayangannya, kemudian ia menyelimuti tubuh kekar cowok itu. Adel yakin dengan AC yang menyala sedari tadi, Beni pasti sudah menggigil dalam tidurnya. "Kamu nungguin aku ya, Ben?" tanyanya sendiri. Adel merasa seperti gadis bodoh karena pasti sekarang Beni tidak mendengarnya. "Omongan kamu tadi itu ... tentang ucapan kamu dalam bahasa Perancis yang baru kucari artinya di Google, bener ya?" Beni menggumam kecil dalam tidurnya. Cowok itu mengelap iler yang tampak tipis itu, tetapi tetap tidak mengurangi ketampanannya. Hal itu tidak membuat Adel tertawa melihatnya. "Kalo kamu mencintai aku, berarti keputusanku menerima Nata jadi pacarku itu salah, ya, Ben?" gumam Adel. Gadis itu menghela napas kasar. Ia mengamati wajah Beni yang tengah terlelap sambil tersenyum. Wajah Beni benar -benar menggemaskan sekarang. Tetapi selanjutnya Adel kembali mendengus. "Jadi ... apa yang harus aku lakuin sekarang, Ben?"  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD