PART 5 - MEISYA.

2087 Words
Suara dentuman musik terdengar sangat kencang. Lampu warna-warni menyorot saling bertabrakan. Mungkin untuk orang yang tidak pernah menginjakkan kakinya di tempat ini, akan langsung pening melihat keadaan sekitar. Dimana sinar lampu saja sudah memusingkan, belum lagi apa yang ada di ruangan ini secara keseluruhan. Untuk sebagian orang, suasana begini sudah tidak asing lagi. Mereka bahkan menikmati sekali suasana seperti ini. Bisa jadi bagi mereka, tempat ini adalah area untuk melepaskan penat setelah seharian beraktivitas. Mereka yang ada di tempat ini semua asyik bergoyang menikmati musik yang terdengar kencang dan memekakkan telinga. Di beberapa sudut lainnya, ada yang asyik bermesraan tak kenal tempat. Bau minuman dan asap rokok bercampur menjadi satu. Malam yang memang identik dengan kesunyian, tidak berlaku untuk para pengunjung club diskotik dan club malam milik Arsel. Lelaki tampan pewaris Jarvis Corporation ini lebih memilih menggeluti bisnis dunia malam. Dengan begini ia tak merasakan kesepian. Sensasi malam seperti ini sudah biasa dirasakan oleh para penikmat dunia malam. Juga oleh seorang wanita yang kini memilih duduk di pojok ruangan. Tatapannya terlihat memaku ke arah tengah ruangan, dimana beberapa pengunjung mulai berteriak histeris, ketika melihat pertunjukan yang mengundang decakan para pengunjung. Bagaimana tidak, di tengah ruangan, ada sebuah meja yang memperlihatkan beberapa penari wanita dengan gaya sensual menari dan mengenakan pakaian transparan. Senyumnya terbit sambil kembali menyesap minuman di tangan. Gerakan dari arah samping membuatnya menoleh. "Tumben baru datang?" bisiknya, lalu kembali menghisap rokok di tangannya. Asap rokok seketika keluar dari bibir cantiknya. Helaan napas berat terdengar dari arah samping kembali. "Kenapa? Jangan bilang kamu dipaksa lagi untuk menikah." Mata mereka bertemu dan ketika merasa tebakannya benar, wanita itu tertawa keras. "Sial! Kau pikir ini lelucon?" Jika bisa diulang, tak ingin rasanya Arsel membawa sahabatnya untuk berpura-pura menjadi kekasihnya satu bulan lalu. Ia menyesali ide Meisya. Curhat pada Meisya sama saja membuatnya jatuh ke lobang yang sama. Selalu berakhir menjadi bahan tertawaan. Saat itu Arsel kesal, karena Papanya ingin menjodohkan dirinya dengan salah satu anak koleganya. Papanya ingin melihat Arsel menikah. Jelas, Arsel menolak hingga ia menyetujui ide gila Meisya. Membawa wanita itu menghadap Papanya. Sehingga otomatis perjodohan batal. Bagaimana tidak batal, jika ia mengatakan Meisya adalah kekasihnya. Padahal, Arsel tak akan sudi menjadi kekasih wanita ini. Ia sudah lama mengenal Meisya. Salah satu wanita malam dengan tarif yang sangat tinggi. Hanya segelintir orang yang mampu membayar Meisya. Menurut mereka yang sudah memakai jasanya, pelayanan Meisya memuaskan. Tapi tentu saja sememuaskan apapun Meisya, Arsel tak sudi menyentuhnya. Ia masih mengingat bagaimana bahagia raut wajah Papanya, ketika membawa Meisya ke dalam rumah. Tentunya Arsel harus merombak semua penampilan Meisya. Dan dengan bayaran yang tinggi. Tapi siapa sangka, Papanya menyukai Meisya dan menyuruhnya cepat menikah. "Sudahlah jangan diambil hati. Papamu sudah biasa kan begitu? Nanti juga capek sendiri." Meisya mencodongkan dirinya ke dekat Arsel. "Ngomong-ngomong kamu normal kan?" Jujur, Meisya curiga akan lelaki tampan yang terus saja menolak ajakannya. Arsel langsung membungkam mulut Meisya dengan jarinya. Berusaha menjaga tidak sembarang orang bisa menyentuh wajahnya. Jika banyak para pria mempermainkan wanita, berbeda dengan Arsel. Sampai usianya dua puluh delapan tahun, ia belum pernah jatuh cinta. Bukan tidak mencari, tapi hatinya terasa beku. Rasa sakit hati ketika melihat Ayahnya cepat beralih ke lain hati dan menikah lagi, membuat ia ragu untuk menyukai lawan jenis. Mungkin lebih tepatnya ia belum menemukan wanita yang mampu menggetarkan hatinya. Alih-alih tersinggung, Meisya justru tertawa kencang. Persahabatan antara Meisya dan Arsel sudah lama terjalin. Tepatnya ketika wanita itu sering datang ke klubnya mencari pelanggan. Yah, Meisya adalah wanita penghibur. Tidak sembarangan lelaki yang memakai jasanya. Jika tidak kenal dekat, akan sulit mendapatkan Meisya. Wanita ini memasang tarif mahal dalam setiap pekerjaannya. Ia akan libur jika teman kencannya yang berasal dari luar negeri berkunjung ke negara ini. Otomatis, Meisya akan menemani sampai lelaki yang membayarnya itu puas dan dapat dipastikan pundi-pundi rupiah masuk ke rekeningnya. "Aku heran, apa yang membuatmu begini Sel?" tanya Meisya lagi sambil menyesap minumannya. "Begini bagaimana maksudmu?" tanya Arsel tak mengerti. Satu alisnya terangkat satu. "Dingin pada semua wanita." Sudut mata Meisya mengerling. Sungguh, jika mau jujur lelaki ini tampan sekali. Tapi jangan kata mau dirayu, didekati saja Arsel sudah menjauh. Namun Meisya yakin Arsel tidak jijik terhadapnya. Ada sesuatu yang membuat Arsel bersikap begini. Meisya tidak akan ambil pusing, selama mereka berhubungan baik layaknya sahabat. Yah, persahabatan mereka cukup baik, hingga Meisya bisa bebas keluar masuk semua klub milik Arsel. Arsel terdiam. "Mungkin aku belum merasakan apa itu jatuh cinta?" Tak bisa dibendung lagi tawa gelak Meisya. "Omong kosong dengan cinta, Arsel. Aku mempertanyakan tentang kenormalan dirimu sebagai seorang laki-laki." Tangan lentik Meisya terulur ke arah d**a bidang Arsel. Berusaha membuka kancing kemeja, tapi langsung Arsel tepis. "Nikmati malammu." Lelaki tampan itu bangkit hendak menuju ruang kerjanya di lantai dua. Tapi baru selangkah, ia kembali menoleh pada Meisya. "Kamu mau bergabung?" Meisya menyeringai, seolah ajakan Arsel mengunjungi tempat terhoror yang pernah ia datangi. "Terima kasih, aku tidak berminat." Masuk ke ruang kerja lelaki ini dan menekuni catatan pemasukan dan pengeluaran keuangan? Hah, lebih baik ia duduk di sini. "Padahal aku sudah mengajakmu menjauhi neraka," kelakar Arsel. "Jangan kau kira kau akan bebas Sel. Aku akan menoleh dan menarikmu masuk jika aku sampai ke neraka nanti." Arsel hanya geleng kepala meninggalkan Meisya. Tugasnya di dalam sudah menanti. Meisya tidak pernah tersinggung apapun ucapan Arsel. Mereka bersahabat, hanya saling lempar gurauan, cacian dan kadang hinaan. Tapi aslinya mereka akur. Hingga kembali seorang lelaki mendekati dirinya. "Bisa temani aku malam ini?" Kepala Meisya menoleh, mendapati lelaki tampan dengan jas yang terlihat mahal. Senyum Meisya terbit. Membayangkan pundi-pundi rupiahnya akan terisi. Siapa yang tidak menyukai lelaki tampan, bebas menyentuh sesukanya dan berakhir dengan kepuasan di sudut bibir dan bertambahnya nominal rekening di salah satu rekeningnya di bank swasta. Tapi kini, rekening Meisya sudah dipastikan semakin bertambah, jika dulu ia hanya punya satu, kini ia sudah memiliki lima kartu ATM dengan angka sembilan digit di setap kartu atmnya. "Malam ini aku milikmu," bisik Meisya. "Kau ada tempat yang bisa kita gunakan?" tanya lelaki itu. "Asal kamu mampu membayar, aku memiliki request tempat yang bisa kita gunakan malam ini." "It's oke. Aku ikut saranmu." Tak lama Meisya merangkul lengan lelaki itu. "Harus sekali tubuhmu, tampan." Tampaknya malam ini Meisya akan tersenyum puas. Lelaki ini sepertinya masih single dan ia akan memberikan pelayanannya yang sangat memuaskan, yang tak akan bisa dilupakan lelaki ini. Bisa jadi esok dan esoknya lagi, lelaki tampan ini akan kembali memakai jasanya. Arsel melepas jaket dan melempar ke salah satu sofa yang ada di dalam ruang kerjanya. Disinilah dia. Di lantai dua, yang ia gunakan sebagai kantor kecilnya. Ruang kerjanya yang kedap suara, agar tidak terganggu dengan hingar bingar yang ada di lantai satu. Ini salah satu bisnis Arsel yang selama tiga tahun ini ia jalani diam-diam. Hingga saat ia yakin berhasil, ia langsung angkat kaki dari rumah megahnya itu. Tak mempedulikan raut wajah Papanya yang nyaris keberatan dengan tingkahnya. Arsel tidak peduli! Ia tak tahan harus bersandiwara terlihat menyukai keluarga baru Papanya. Selama apapun mereka satu atap, hatinya tak akan pernah menerima siapapun menggantikan posisi almarhumah Mamanya. Ia menyalakan monitor yang menampilkan CCTV setiap sudut clubnya. Semua tampak aman-aman saja. Ia membayar karyawannya untuk lebih waspada. Tak akan ia biarkan ada orang yang mengganggu bisnisnya. Ia tak suka mencari musuh, tapi jika ia diusik, ia tak akan tinggal diam. Arsel duduk di kursi kerja dan bersandar. Matanya terarah pada pigura di atas meja. Foto gambar bertiga. Wajah mudanya yang diapit kedua orang tuanya. Tangannya meraih pigura itu. Mengusap dengan penuh sayang. Seolah takut membuat pigura itu pecah jika tangannya terlalu kasar mengusap. Dulu mereka keluarga yang bahagia. Kasih sayang kedua orang tuanya masih terngiang di pelupuk matanya. Sayang, takdir begitu cepat memanggil sang Bunda. Hingga kebahagiaan itu harus musnah dalam sekejap. Ada jurang yang tercipta antara dirinya dan Papanya. Apalagi sejak Papanya menikah, seolah pigur ayah yang baik sudah berkurang di mata Arsel. Hubungan keduanya semakin merenggang. Arsel tidak menyukai sosok sang bunda tergantikan di rumah mereka. Tapi apalah dia, saat wanita itu datang ia masih terlalu muda untuk protes. Jadi menerima dengan hati tak ikhlas pun tak bisa berkepanjangan. Jadi, dari pada menjadi duri di hatinya, Arsel memilih untuk menjauh dari Papanya. "Mama, aku kangen." Tubuh boleh tinggi dan gagah. Tapi jika sudah mengingat ibu kandungnya, Arsel lemah. Sepuluh tahun yang lalu ibunya meninggal karena sakit kanker paru-paru. Ia dan Papanya tak lelah menjaga ibunya di rumah sakit, hingga Ibunya dipanggil sang pencipta. Arsel jelas terpukul dalam kesedihan, begitu juga sang Papa. Tapi ternyata kesedihan Papanya hanya berlangsung singkat. Dua bulan kemudian, Papanya membawa wanita lain ke dalam rumah untuk menggantikan posisi sang Bunda. Arsel jelas tak bisa membantah. Memang Naya, sang ibu tiri sosok yang baik juga putrinya Deby. Tapi lama-kelamaan ia muak pada mereka berdua, karena sudah menggeser kedudukannya dan sang Bunda di rumah itu. Hingga satu tahun terakhir ia hengkang dari rumah, dan belum mau bergabung ke perusahaan milik sang Papa. Arsel lebih memilih bisnis di dunia malam. Memiliki club malam dan beberapa diskotik terkemuka. Tentu tidak ada yang mengenali jika ia putra tunggal pengusaha terkenal di negeri ini. Tidak, Arsel tidak akan memakai nama keluarga jika sudah berkecimpung di dunia malam. Ia hanya Arsel, sang pemilik dunia malam. Rasa sakit hati karena sang Papa mudah beralih, yang membuat hingga kini ia sama sekali belum berniat mencari kekasih. Selain karena belum menemukan klik di hati, Arsel masih ingin bebas, menikmati kebebasannya sendiri. Pagi sudah menjelang, saat Khansa mulai beraktivitas seperti biasa. Kesibukan terdengar dari area dapur rumah milik istri dari Rayhan Hadiningrat. Bagi Khansa, sesibuk apapun ia, suaminya adalah yang utama. Ia harus tetap memberitahu apapun kegiatannya pada Rayhan. Rayhan adalah lelaki pertama yang ia kenal. Masih teringat bagaimana dulu mereka bertemu dalam sebuah pertemuan keluarga. "Namanya Rayhan, baru saja menjabat di perusahaan milik keluarganya. Belum sempat mencari calon istri. Itu sebabnya Mama dan Mamanya Rayhan berkeinginan memperkenalkan kalian. Kamu setuju?" Pagi itu Khansa ditanya sang Mama. Khansa anak rumahan yang memang sangat diatur dalam pergaulan oleh kedua orangtuanya. Sejak kecil kedua orang tuanya sangat over protectif terhadapnya. Membatasi ruang gerak Khansa demi menjaga anak gadis mereka dari hal yang tidak mereka inginkan. Beruntung, Khansa anak yang sangat penurut. Ia tidak pernah berontak terhadap pembatasan pergaulan yang diputuskan kedua orang tuanya. Yang ia miliki hanya kedua sahabatnya. Pun ketika rencana perjodohan ini, ia pun menerima. "Bagaimana baiknya Mama saja." Saat pertemuan keluarga, dimana Khansa beradu pandang dengan Rayhan, saat itulah untuk pertama kalinya Khansa merasakan sebuah rasa ketertarikan. Apalagi Rayhan pun terlihat menerima perjodohan ini. Siapa yang menolak dijodohkan dengan lelaki setampan Rayhan? Bahkan saat kedua orang tua mereka memberi kesempatan keduanya saling berbincang guna saling mengenal, Khansa bingung mau bicara apa. "Kamu menerima keputusan orang tua kita?" tanya Rayhan sambil terus menatap wanita yang memiliki wajah ayu nan cantik dihadapannya. Tipe wanita pemalu yang ia yakin sama sekali belum tersentuh. Ibarat kata, Khansa adalah wanita yang bisa disebut sekuntum bunga yang untuk meraihnya harus melalui proses pengajuan dulu, tidak asal petik. Mendapat pertanyaan itu, Khansa menoleh dan mendapati seraut wajah tampan yang membuatnya jatuh hati sejak lelaki ini memasuki ruang tamu di rumahnya. "Kalau aku gak masalah." Khansa menjawab jujur. Tidak ada alasan untuk menolak perjodohan ini, apalagi Rayhan cocok dengan kriteria yang biasa diinginkan para sahabatnya. Yah, Khansa hanya menjadi pendengar ketika dua sahabatnya saling bercerita dengan kisah cintanya. Mendengar seperti apa kriteria sahabatnya, maka Rayhan adalah kandidat yang cocok sebagai seorang suami. Tampan, gagah dan mapan. Jadi sudah tidak ada kekurangan yang Khansa dapatkan dari lelaki ini. "Aku memiliki satu permintaan," ucap Khansa saat itu. "Apa?" Tatapan Rayhan membuat Khansa menunduk dan mengatupkan kedua bibirnya. "Aku memiliki hobby menulis. Jadi aku gak mau dibatasi dalam menekuni hobbyku itu." "Menulis apa?" Rayhan bertanya dengan rasa penasaran. "Aku penulis novel." "Oh ya?" Rayhan tak menduga jika wanita yang dijodohkan dengan dirinya seorang penulis. "Ya. Dan aku tak ingin hobby ku dikekang. Karena menulis adalah duniaku." Rayhan mengangguk. Benar-benar wanita rumahan. Jika Khansa punya hobby menulis, pasti wanita ini tak pernah menghabiskan banyak waktu diluar rumah. Tentu saja Rayhan tidak keberatan. "Tentu saja tidak, justru aku memang mencari seorang istri yang lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah dari pada di luar rumah. Aku ingin begitu aku pulang, ada istri yang menyambutku di rumah dengan senyum manisnya. Hingga membuatku lupa dari lelahnya bekerja." Dan mereka pun menikah dengan pesta resepsi yang besar-besaran. Tak terasa tiga tahun sudah mereka mengarungi bahtera rumah tangga. Saling mencintai, tanpa ada keributan yang berarti. Tetap saling menyayangi sekalipun tanpa buah hati di antara mereka. Bukan mereka tidak usaha, tapi tampaknya Tuhan belum memberi kepercayaan pada keduanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD