Suara ponsel Alex memecah kecanggungan diantara kami. Ia menjauh setelah membaca nama yang tertera di layar. Aku tidak ingin mengganggunya. Alex butuh ruang untuk mengurus masalah pekerjaan. Kuputuskan menyusul Anthony ke kamar.
"Al, pakai baju dulu," kataku setelah melihat bocah itu tak kunjung mengenakan atasan. Anthony tidak bergeming, ia semakin asyik bermain mobil-mobilan yang baru dibelikan kakek dan neneknya. Remote kontrol ada di tangan dengan mobil kecil bergerak cepat di lintasan.
"Al, kamu dengar mama,'kan?"
Aku terus membujuk supaya anak itu mau memakai pakaian, setelah merayu beberapa kali Anthony akhirnya menurut. Alex masuk tepat setelah anaknya mengenakan pakaian lengkap.
"Papa harus pergi, mulai besok akan ada ART yang membersihkan rumah. Lebih baik mama istirahat jangan sampai kelelahan. Jaga kondisi,ya, Ma," ucapnya membuat perasaanku menghangat.
Ya, Tuhan apa salah suamiku? Kenapa aku ingin menceraikan dia? Apa kesalahan yang Alex perbuat hingga kami bertengkar hebat. Aku benar-benar menyesal jika harus berpisah dengannya. Aku mulai takut ada pihak luar yang mengganggu rumah tangga kami, tapi melihat sikap Alex yang begitu perhatian membuat dugaan itu sirna. Jika ia tidak mencintaiku mana mungkin Alex masih peduli.
Anthony menarik tanganku membuat lamunan seketika buyar. Ia memberikan ponsel yang entah milik siapa.
"Ma, paman Rey menelepon," ucapnya. Aku segera menerima panggilan itu tanpa melihat nama yang tertera. Tidak peduli dari mana Anthony mendapatkan ponsel itu, yang terpenting sekarang adalah bicara dengan Rey. Anthony kembali bermain mobil-mobilan selama aku berbincang dengan Rey.
"Ana?"
"Iya, aku Ana. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu, Rey."
"Baiklah, tapi sebelum itu di mana Al? Aku merindukannya. Bisa kau berikan padanya?"
"Dia sedang bermain, tidak mau diganggu." Helaan napas panjang terdengar dari seberang. Kami berbincang sebentar lalu berjanji untuk bertemu di luar. Aku tidak bisa bicara terlalu lama, akan lebih baik kami bertemu.
"Al, ini ponsel siapa?" tanyaku setelah mengakhiri panggilan.
"Itu punya Al, Ma. Papa yang beliin, katanya gak boleh buat main, cuma bisa pakai telepon saat penting," jawabnya.
"Al bawa ponsel ke sekolah?"
"Sekarang udah enggak karena ada mama, dulu waktu mama sakit Al bawa ke sekolah," ucapnya tanpa menatapku. Tangan kecilnya dengan lincah memainkan remot.
Aku tidak bertanya lebih jauh lagi. Jujur saja aku tidak setuju anak seusia Anthony sudah diberikan ponsel. Beruntung dia termasuk anak penurut sehingga mudah untuk memberitahunya. Memberikan ponsel untuk anak tanpa pengawasan itu bukan ide yang baik agar anak terhibur.
Setelah mengatur waktu pertemuan dengan Rey, hari itu juga dia datang ke rumah. Rey menghubungiku sesaat setelah ia menelepon. Kami membatalkan pertemuan di luar karena Rey ada pertemuan di dekat rumah kami. Anthony tampak tak bersemangat menyambut pamannya. Aku yakin ada sesuatu diantara mereka.
"Ayolah, maafkan paman. Paman akan menepati janji kali ini." Rey bersimpuh di depan Anthony sehingga tinggi mereka hampir sama. Kubiarkan drama itu berjalan lancar tanpa berucap memberi pertanyaan yang berpotensi mengganggu. Rey mencoba merayu Anthony yang tampak kesal dan menekuk wajahnya.
"Paman Rey suka bohong. Al gak percaya." Anthony berkacak pinggang layaknya bos memarahi karyawannya. Aku berusaha menahan tawa melihat ekspresi anak itu. Ia sangat mirip dengan Alex.
"Kali ini paman janji, Al harus percaya." Rey mengacungkan kelingkingnya lalu disambut tangan mungil Anthony.
"Paman gak boleh ingkar janji, mama jadi saksi," tegasnya membuat aku cukup kaget. Mereka membawa namaku dalam perjanjian yang tidak aku tahu tentang apa. Mereka akhirnya bersalaman lalu Anthony kembali ke atas. Bermain mobil-mobilan sampai puas.
"Terima kasih sudah datang," ucapku setelah Rey merapikan pakaiannya dan berdiri.
"Aku senang kamu tampak sehat, Ana. Lama tidak berjumpa," ujarnya. Kami terdiam cukup lama sampai Rey menyinggung tentang Alex.
"Aku ingin tertawa setiap mengingat Alex di rumah sakit saat tahu kamu kecelakaan," ucapnya.
"Apa yang terjadi padanya, bisa kau ceritakan?" Aku penasaran dengan cerita Rey. Semakin banyak yang kutahu tentang Alex mungkin akan membantu ingatanku kembali.
"Dia seperti orang gila, kami harus membujuknya agar makan dan tidur teratur. Suamimu sangat takut kehilangan kamu, Ana."
Rey memalingkan wajahnya menatap ke arah lain. Helaan napas dalam keluar dari mulutnya. Rey kembali bercerita, kali ini mimik wajahnya tampak ceria. Ia menceritakan banyak hal padaku tentang Alex. Dari cerita itu seolah aku adalah satu-satunya wanita yang paling dicintai Alex. Pria itu takut kehilangan diriku dan yang kutangkap dari ucapannya adalah Alex selalu setia berada di sisiku.
Pertanyaan besar hinggap di benakku, kenapa semua yang diucapkan Rey terasa janggal. Aku tidak tahu apakah dia jujur atau melebih-lebihkan kenyatan yang ada. Aku tahu Alex mencintaiku, tapi ucapan Rey sulit untuk dipercaya.
Bel depan berbunyi. Aku bergegas membuka pintu sementara Rey menghampiri Anthony yang mulai bosan dengan mainan barunya.
Kristin dengan penampilan rapi berdiri di depan pintu. Ia menampakkan senyum manis yang membuat dirinya terlihat cantik.
"Hai, Ana, aku baru saja mendapat pekerjaan hari ini, karena keluarga kamu satu-satu yang aku kenal jadi aku mengundang kamu makan malam, sekaligus mengakrabkan diri," ujarnya.
"Aku tanya suami dulu. Aku akan kabari kalau bisa makan malam bersama," jawabku.
"Aku harap kalian bisa datang. Aku tunggu ya."
Kristin bergegas pergi setelahnya Rey menghampiriku. Ia menatap Kristin lekat membuat aku harus mencubit lengannya.
"Sakit!" rintihnya.
"Jaga mata kamu. Dia sudah punya anak, ingat sama istri di rumah," kataku lalu menutup pintu.
"Aish, bukan seperti itu. Aku merasakan firasat buruk, kau harus berhati-hati dengan wanita itu."
"Jangan berpikiran buruk, tidak baik."
"Bukan berpikiran buruk, tapi aku minta kamu waspada, terlebih dia berpenampikan seperti itu," kata Rey.
"Jangan menilai seseorang dari penampilan. Kamu berhutang cerita padaku tentang Alex saat tinggal di luar negeri," ujarku mencoba mengalihkan topik.
"Aku akan menceritakan lain kali. Aku harus pergi sekarang. Ingat Ana sebisa mungkin jauhi wanita itu. Aku serius," ucapnya sebelum keluar.
Kepalaku mulai berdenyut, kenapa Rey bisa bicara seperti itu seakan ia mengenal Kristin sebelumnya.
"Mama, Om Rey ke mana?" tanya Anthony membuat perhatianku tertuju padanya.
"Baru saja pergi, kenapa kamu nyari Om Rey?"
Anthony mengembungkan pipi lalu menekuk wajah tampannya. Ia tampak kesal setelah mendengar Rey sudah pergi.
"Om Rey pembohong. Dia bilang mau main seharian sama Al, tapi Om Rey pergi. Al tidak mau percaya sama Om Rey lagi."
Anthony berlari ke kamarnya. Aku tahu ia akan menangis. Anak itu pasti kesepian di rumah tanpa ada teman bermain. Tebakanku benar. Anthony menangis seraya menutupi wajahnya dengan bantal. Setelah tangisnnya reda, anak itu pun tertidur. Aku bergegas pergi, menghubungi Alex untuk memberitahunya undangan makan malam dari Kristin.
Alex menolaknya. Aku merasa lega mendengar jawaban pria itu. Tanpa membuang waktu aku keluar menemui Kristin di rumahnya. Aku menyampaikan permohonan maaf tidak bisa makan malam bersama. Dia tampak kecewa, tapi memakluminya dengan alasan yang Alex berikan.
Aku bergegas pulang menyiapkan makan malam untuk keluarga kecilku. Anthony masih terlelap saat aku selesai memasak. Bocah itu, hatinya sangat sensitif sama seperti diriku hingga mudah sekali menangis dan mudah sekali tersentuh.
Kuusap pipinya lembut membuat ia menggeliat dan membuka mata. Anthony tidak menangis, dia justru meminta dipangku. Rambut hitam legamnya sama seperti Alex. Selain wajah dan rambut Anthony lebih mirip denganku.
"Kamu mandi dulu,ya, sebelum papa datang," ucapku membuat anak itu mengusapkan wajah di lenganku. Ia enggan membuka mata untuk mandi. Setelah beberapa menit mengumpulkan niat akhirnya Anthony mau mandi. Air hangat sudah kusiapkan, seperti biasa kalau sudah bertemu air ia enggan untuk beranjak. Aku harus menunggu dengan sabar sampai Anthony bosan bermain air.
Ponselku berdering, panggilan dari Alex. Kulihat sejenak jam yang tertera di atas layar. Seharusnya Alex sudah tiba di rumah.
"Halo."
"Halo selamat sore dengan ibu Ana, istri Pak Alex? Kami ingin memberitahukan kalau suami Anda ada di rumah sakit. Beliau mengalami kecelakaan," ucap seorang pria dari seberang.
"Bagaimana keadaam suami saya?" tanyaku dengan suara cukup lantang hingga Anthony menatapku. Perasaan tenang tak lagi menyelimuti hatiku. Membayangkan Alex terluka membuat aku juga ikut terluka.
"Beliau dalam keadaan sadar, tapi harus dirawat sebentar di rumah sakit untuk mengobati lukanya. Saya akan kirimkam alamat rumah sakit," ucapnya. Panggilan terputus. Aku bergegas memberitahu Anthony dan anak itu tampak khawatir.
Makan malam yang kusiapkan terpaksa harus masuk kulkas. Aku tidak sempat memikirkan apa pun lagi selain bertemu Alex. Taksi yang kupesan tiba tepat ketika aku keluar. Dengan perasaan kacau aku tidak mungkin mengendarai mobil sendirian.
Seorang perawat mengantar kami--aku dan Anthony--ke sebuah kamar di pavilliun rumah sakit. Kamar kelas mewah yang fasilitas layaknya kamar hotel. Tidak terbayang berapa harga per malamnya.
Alex tengah duduk di sofa sembari menonton tv. Ia tampak baik-baik saja kecuali luka di lengan dan kakinya yang menganga.
"Papa!" teriak Anthony setelah melepas tangannya dari genggamanku. Anak itu berlari lalu berhenti tepat di depan ayahnya. Ia menatap luka di tangan Alex dengan seksama.
"Papa sakit?" tanya Anthony. Alex menepuk sofa yang ada di samping meminta agar anaknya duduk di sana. Tatapan Alex terangkat memandangku. Setelah perawat pergi dan pintu ditutup aku tak beranjak dari tempat. Alex menggerakkan telunjuknya meminta diriku mendekat.
"Aku belum mandi," bisik Alex saat aku berada di sampingnya.
"Kenapa tidak mandi sendiri?"
Alex menunjuk lukanya. Aku jadi kasihan. Kulirik Anthony yang kini menonton kartun sambil makan cemilan.
"Al, kamu di sini sendiri ya, Mama mau mandiin papa dulu," ujarku membuat wajah Alex sumbringah.
"Al gak mau sendiri. Al ikut mandiin papa aja," ucapnya membuat senyum Alex memudar.
"Jangan sayang, nanti kalau luka papa tambah parah bagaimana? Al di sini aja, nanti papa belikan mainan yang Al suka,ya."
Anak itu menggeleng. Anthony tidak mempan dengan rayuan mainan. Sudah cukup banyak mainan yang ada di kmarnya. Kubiarkan Alex merayu anaknya. Aku ingin tahu cara apa yang akan ia gunakan.
"Al, kamu masih mau punya adik?" tanya Alex membuat aku kaget. Jangan bilang ia ingin merayu anaknya dengan embel-embel adik. Anthony mengangguk polos.
"Makanya Al disini saja, papa sama mama mau mandi lalu buat adik," ucap Alex membuat aku malu. Bagaimana ia bisa bicara seperti itu pada anak kecil.
"Alex, jangn bicara sembarangan," bisikku, tapi ia tak menanggapi. Anthony seketika setuju. Alex segera menarik tanganku ke kamar mandi.
"Tunggu aku tidak membawakan kamu pakaian pengganti," kataku. Alex berhenti lalu berjalan ke lemari. Ada jubah mandi dan handuk yang tersedia di sana. Benar-benar fasilitas mewah.
"Pakai ini saja."
Alex lalu menarik masuk ke kamar mandi. Sialnya, kamar mandi ini cukup luas dan bagus. Pikiranku mulai melayang membayangkan apa yang akan terjadi beberapa menit kedepan.