BAB 2

2030 Words
"Anggap saja mantan sebagai Pluto, sesuatu yang dulu pernah ada, tetapi sekarang sudah tidak dianggap lagi," - Sonaly Salysta - "Val, hari ini pulang bareng aku?" Pertanyaan itu meluncur dari seorang cewek berpostur tubuh cukup pendek, tapi kurus dengan wajah pucat bak vampire kekurangan hemoglobin yang saat ini sedang duduk di depanku. Dia  langsung membalikkan badan ke belakang begitu bel pulang sekolah berbunyi. Aku hanya diam, menatap Sota dengan bimbang. "Boleh," jawabku. " Kamu bawa sepeda motor hari ini?" Cewek itu mengangguk kecil. "Kalau tidak bawa, tidak mungkin aku menawarkan kan?" tanyanya balik. "Ya, kali aja kamu mau ngajak pulang bareng naik angkot biar aku yang bayar," jawabku. Cewek itu mencebikkan bibirnya sebagai tanda protes. "Belajar nyindir dari mana, Val?" tanyanya sedikit merasa tersinggung. "Darimu," jawabku yang membuat bibir cewek itu bertambah manyun. "Jahat ih!" desisnya. "Pokoknya bareng, tapi temenin dulu ke Smansa," katanya kemudian. Aku menggeleng tegas. "Ogah," tolakku. "Wae? Smansa doang. Aku mau ketemu pujaan hatiku," rengeknya dengan wajah memelas. "Nggak," kataku bersikukuh. "Oh, kadaredenada sidi madantadan?" ( untuk membaca hilangkan huruf yang diawali da, di, de atau do. Bisa gak?) Aku hanya diam, memandang cewek yang sudah jadi teman ngobrol dan curhatku sejak awal masuk SMA itu dengan galau. Nama cewek itu Sonaly Salysta, aku biasa memanggilnya Sota. "Aih malah diem," desah Sota pelan. "Jangan sedih gitu, dong. Kan sekarang udah punya pacar baru," hibur Sota. "Iya sih," ujarku. "Cudumada bedeludum sidiadap kedetedemudu madantadan," lanjutku memakai bahasa Alien yang diajarkan Sota padaku. "Yaelah, kan belum tentu ketemu. Kali aja dia sudah pulang," kata Sota. "Iya kalau udah go home, kalau belum?" kataku masih merasa was-was. "Ya, kalau ketemu, apa salahnya?" tanya Sota heran. "Apa salahnya? Ya banyak," jawabku. "Karena kalian putusnya nggak baik-baik makanya banyak?" tebak Sota. "Meski putus baik-baik, tetep aja nggak nyaman kalau ketemu mantan," kataku beralasan. Sota tergelak pelan. "Masih ada perasaan?" tanya Sota. "Ih, amit-amit ya. Nggak," bantahku tegas. "Masak?" goda Sota nggak percaya. "Ih, beneran," kataku menegaskan. "Yaudah kalau nggak ada perasaan nggak usah gitu. Lagian cuma mantan doang, Val. Anggap aja mantan sebagai Pluto, sesuatu yang dulu pernah ada tapi sekarang udah nggak dianggap lagi," saran Sota. "Nasehatin temen gampang ya, Sot? Coba kalau kamu yang ngalamin? Lupa ya kalau sampe ngeloncat ke empang biar nggak papasan sama mantan," sindirku. "Ih, kapan aku gitu?" tanya Sota nggak ngaku. "Lupa? Waktu ketemu sama si Kevin tuh dulu," jawabku. Sota nyengir. "Itu masa lalu, Val," katanya. "Jadi maksudmu, masalahku juga bukan soal masa lalu?" sahutku sewot. Sota cuma menggaruk kepalanya yang nggak gatal. "Sama aja sih," katanya labil. "Yaudah, Sot," "Sorry," kata Sota ngerasa bersalah. "Ngomong-ngomong, manggil akunya jangan Sot doang, dong! Entar nama aku dikira diambil dari huruf Hijaiyah," protesnya. "Biarin," sahutku nggak mau tahu. "Jadahadat," dengus Sota sebal. "Emang," sahutku nggak menyangkal. "Baru tahu kamu?" sergahku kesal. Sota tertawa geli. "Jangan marah, Val," katanya kemudian sambil memasang wajah sok imut. "Maafin accu ya, akak Val yang paling cuantik seantero galaksi!" rayu Sota dengan memakai nada sok imut kayak anak kecil. "Dih," decakku pelan. "Senyum, dong," pinta Sota sambil mengedip-edipkan kedua kelopak matanya. Melihat tingkahnya, aku akhirnya tertawa. Rasa marahku hilang dalam sekejap. "Maaf ya," kata Sota lagi. Aku mengangguk mengiyakan. "Oke," sahutku. Sota tersenyum lebar lalu bangkit dari duduknya untuk memelukku sebentar. "Maaci," katanya. "Iya, iya," sahutku sambil meminta dia melepas pelukannya. "Lagian ngapain sih ke Smansa trus? Pacarmu sakit kok harus disamperin tiap hari?" tanyaku sedikit menyindirnya. Sota tertawa geli mendengar sindiran dariku. "Nggak gitu juga, Val," sanggahnya. "Aku cuma nggak kuat aja nahan rindu sama dia," lanjut Sota. "Huweek," kataku pura-pura muntah. "Alay kamu," ledekku. Sota hanya nyengir. "Alay buat orang yang lagi kasmaran itu nggak apa-apa tauk," kata Sota nggak tahu malu, malah kayaknya dia itu malu-maluin. "Ck, temenku alay ya Tuhan!" decakku pelan. "Serahlah dibilang apa, terserah! Yang penting kamu mau nemenin aku ke Smansa ya," kata Sota. "Nggak!" sahutku. "Ayo dong, Val! Temenin aku ya, nanti aku traktir bakso, deh," katanya berusaha nyongok untuk membujukku. "Hm," ujarku berpura-pura sedang memikirkan bujukan dari Sota. "Yaudah, deh," kataku mengalah. Sota tergelak pelan karena aku termakan bujuk rayunya. "Haha, dasar temen mental traktiran," ledeknya. "Biarin, daripada mental tikungan," sahutku. "Ciyee, baper," goda Sota. "Nggak ya," elakku. "Nggak salah," balas Sota. "Ih, asem," umpatku. "Udah, ayo berangkat," ajak Sota. Aku pun segera membereskan barang-barangku ke dalam tas. Setelah siap, aku temani Sota ke parkiran untuk mengambil sepeda motornya. Setelah itu, kami berdua pun segera meluncur ke Smansa. *** Tiba di depan gerbang Smansa, aku memilih untuk menunggu di depan gerbang saja sekaligus ngejagain sepeda motornya Sota. Meski sudah mirip tukang Parkir, aku lebih memilih begini daripada harus memperbesar peluang bertemu dengan dua makhluk yang sudah aku musnahkan dari peredaran hidupku. Aku cuma bentar, Val, begitu kata Sota tadi sebelum masuk ke dalam untuk menemui pacarnya yang lagi latihan basket buat event pertandingan basket yang akan diadakan sebentar lagi. Meski Sota bilang begitu, kenyataannya sampai tiga puluh menit berlalu, dia nggak balik-balik. Sepertinya dia tertahan virus cintanya Anggoro. Affan Anggoro, manusia, bukan jenis kucing, adalah nama lengkap dari pacarnya Sota. Saat ini Anggoro sudah kelas XI, seumuran dengan kak Pascal. Namun berbeda sama kak Pascal yang sopan dan menawan, Anggoro sifatnya tengil dan alay tingkat dewa. Aku dan dia sudah akrab sehingga aku memanggilnya nggak pakai embel-embel 'kak' atau 'mas', apalagi emas-emas.an dari kuningan itu. Walau begitu, aku nggak ada keinginan untuk menikung atau sekadar nyerempet dikit. Soalnya aku manusia normal yang suka makan nasi bukan makan teman. Eh. Seperti yang aku bilang, Anggoro itu udah alay tingkat dewa. Over dosis dia kalau obat-obatan. Peristiwa teralay yang masih aku ingat tentang Anggoro adalah saat ulang tahun Sota tiga bulan yang lalu. Anggoro mempersiapkan sebuah pesta kejutan dimana dia meminta aku mengajak Sota ke sebuah kafe. Di kafe itu, Anggoro sengaja membuat Sota BT. Sota dibuat menunggu lama sekitar dua jam.an. Setelah Sota BT parah dan mau pulang saja, akhirnya Anggoro keluar dari persembunyiannya. Anggoro keluar menemui Sota dengan delapan balon yang dia ikat di tangan kiri. Sedangkan tangan kanan memegang seikat bunga mawar asli. Asli, bukan imitasi, entah dia beli atau nyuri. Di belakangnya, juga ada pelayan kafe yang membawakan sebuah kue tart full cokelat dan cherry serta lilin-lilin kecil berjumlah lima belas, sesuai dengan usia Sota. Sota yang memang nggak kuat kalau dibaperin akhirnya jerit-jerit histeris, untungnya dia nggak sampai pingsan atau stroke. Aku yang cuma jadi bagian untuk mendokumentasikan moment itu rasanya pengen lenyap saja saat menjadi saksi betapa menyebalkannya tatapan mata dua insan yang lagi mabuk cinta itu. Tatapan mereka sungguh menggangu, sudah mirip orang yang akan menikah besok. Itu hanya sekadar penilaianku, terlepas kealayannya, Anggoro adalah tipe cowok yang setia dan kaya. Uang orang tuanya jika aku prediksi seabrek-abrek dan nggak akan habis hanya karena mempersiapkan kejutan semacam itu. "Valenci!" Panggilan itu membuatku yang sedang bosan menoleh dan seketika merengut kesal. Si Pluto depan mata. Bukan nama sebenarnya, cuma amnesia aja namanya siapa. Aku memalingkan wajahku, menganggap dia nggak pernah ada, termasuk pura-pura nggak denger dia manggil aku barusan. "Kamu masih marah sama aku, Val?" tanya si Pluto yang kini berdiri tepat di depanku yang sedang duduk di jok sepeda motor. Aku diam, masih memalingkan wajah darinya. Entah kenapa ogah parah untuk noleh, bahkan sekadar tahu dia masih bernapas saja rasanya nggak mau. "Yang, jawab aku, dong!" pintanya yang membuatku berdecak kesal. "Kita udah putus ya kalau kamu lupa," kataku tanpa menoleh ke arahnya. "Oh, kamu tahu rupanya kalau aku di sini," sahutnya merasa menang. "Jauh-jauh sana! Nanti pacarmu salah paham!" sungutku. Dia mengembuskan napas pelan. "Masih marah banget soal itu?" tanyanya yang ingin sekali aku tenggelamkan dalam air raksa. "Menurutmu?" tanyaku balik. "Aku minta maaf, Val," katanya. "Ogah," sahutku. "Kenapa sih kamu sedendam ini, Val? Toh meski perasaan dan hubungan cinta kita berakhir, bukan berarti hubungan pertemanan kita juga selesai kan?" ocehnya tanpa merasa berdosa sama sekali. Dia memang nggak tahu diri. "Tolonglah, maafkan aku Val!" pintanya. "Aku masih sayang kamu." "Mampus," umpatku yang membuat si Pluto tercekat. "Kok ngumpat sih Val? Valenci yang kukenal nggak kayak gini," katanya sedikit shock. Aku menghela napas panjang lalu merogoh saku seragamku saat kurasakan handphoneku bergetar. Ada telpon masuk, segera aku angkat setelah melihat si penelpon dari layar handphone. "Halo, Sayang?" sambutku dengan nada manja dan penuh cinta. Mendengar sapaan mesra meluncur dari mulutku pada si penerima telpon, si Pluto merasa terkejut setengah mati. "Apa, Sayang? Ah iya, aku di Smansa nih," kataku lagi. "Kamu udah punya pacar baru, Val?" tanya si Pluto dengan nada nggak suka. Emang dia pikir cuma dia yang bisa punya pacar baru? "Apa? Ah, iya. Aku nggak akan lupa makan kok sayang," ucapku lagi. "Sok marah dan dendam, sendirinya udah move on. Aku jadi nggak nyesel sama sekali selingkuhin kamu, tahu nggak? Dasar," delik Pluto dengan emosi. Aku hanya menjulurkan lidahku dan mengulurkan sebelah tanganku ke depan mukanya seolah berkata, "talk to my hand." Si Pluto yang lagi sensi pun makin PMS. "Yaudah, kalau gitu. Aku nggak mau ganggu, lanjutin!" kata si Pluto lagi lalu pergi dari hadapanku dengan wajah merah karena marah. Aku menarik napas lega begitu si Pluto sudah pergi dari hadapanku. "Val, kamu salah minum obat huh? Atau jangan-jangan ada syarafmu yang menyimpang karena benturan atau udah lama nggak dipakai?" cerocos mas Atom dari seberang sana, saat ini aku sedang telponan dengannya. "Aih, Mas ini. Ngomelnya udah kayak nyumpahin mantan pacar yang putus karena ketahuan selingkuh aja, tauk nggak?" sahutku sebal. Mas Atom terdengar tertawa mendengar tanggapanku atas ledekan darinya. "Baper ya? Atau laper?" godanya "Ih apa sih Mas, nyebelin," dengusku kesal. "Haha.” Mas Atom kudengar tertawa lagi. Puas banget sepertinya mendengar betapa menderitanya diriku. "Makanya, Val pacaran itu sama yang otaknya bener bukan sama yang geser," ejek Mas Atom lagi. "Serah Mas, deh," kataku malas berdebat. "Tapi ya, bukannya kamu sudah punya yang baru?" tanya Mas Atom. "Lho? Kok Mas tahu?" tanyaku heran. "Ya tahu, kan pacarmu anak olimpiade, jadi ada banyak yang kenal," "Jangan bilang-bilang Mama lho, Mas," kataku mengingatkan. "Iya, tenang. Rahasia aman selama Valenci nurut apa kata Mas," kata Mas Atom mengajukan syarat. "Iya, iya, makasih deh," kataku walau rada nggak ikhlas."Jadi, ada apa Mas nelpon Valenci?" "Ah, gini, bilangin sama Mama, aku bakal pulang malem. Ada binjar sampai sore, habis itu aku bakal belajar bareng di rumah temen sampe malam," jelas Mas Atom. "Malamnya itu kira-kira sampai jam berapa, Mas?" tanyaku lagi. "Mungkin jam 9.an," jawab Mas Atom. "Malam banget, Mas. Kenapa nggak nelpon Mama langsung sih, Mas?" tanyaku heran. "Kalau nelpon langsung, Mama pasti masih nanya. Belajar dimana, sama siapa dan lain-lain. Males ngejelasin," jawab Mas Atom. "Aih, ya tinggal dijawab aja, Mas," saranku. "Ribet," sahutnya singkat. "Yaudah ya, bye," kata Mas Atom menimpali lalu menutup telpon tanpa menunggu tanggapan dariku. "Dasar," decakku sambil geleng-geleng kepala. Setelah itu, aku hanya menghela napas sebentar lalu memasukkan lagi ponselku ke dalam saku seragam. Tak lama kemudian, aku melihat Sota dari kejauhan. Dia berlari kecil ke arahku. Dia tersenyum lebar, sepertinya sedang happy karena baru ketemu pacar. Aku juga hari ini happy, karena ketemu kak Pascal walau nggak bisa pulang bareng. "Sorry lama ya," ujar Sota setelah dekat jaraknya denganku. "Nggak apa-apa," sahutku. "Sip, thanks," Sota pun kemudian naik ke sepeda motornya. Aku yang awalnya duduk di depan hanya bergeser ke belakang di bagian tempat duduk khusus penumpang. "Langsung pulang nih?" tanya Sota setelah memasang helm dan siap berangkat. Aku mengangguk. "Iya, udah laper aku," kataku. "Aku kan janji traktir bakso. Baksonya besok apa sekarang nih?" tanya Sota. "Besok aja, deh! Perutku juga udah mules, mau pup dulu sebelum makan," jawabku. Sota terkekeh pelan. "Hebat amat tuh pencernaan ya, habis dikeluarin baru diisi! Jangan-jangan habis diisi langsung keluar lagi!" kata Sota setengah mengejek. Aku hanya tersenyum tipis. "Nggak gitu juga," sanggahku. "Jangan pup di jalan lho," gurau Sota. "Aih, nggaklah," kataku. "Hehe." "Udah ah! Ayo go home," ajakku. "Siap, Bos," sahut Sota lalu menghidupkan mesin sepeda motornya. Kami berdua pun pergi meninggalkan Smansa begitu Sota menarik gas sepeda motornya. Setelah mengantarku pulang ke rumah lebih dulu, Sota pun akhirnya pulang ke rumahnya. Sungguh, hari yang kayak permen nano-nano. Rame rasanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD