Malam berganti pagi, begitulah seterusnya. Seandainya hidup seperti matahari dan bulan, mungkin Cantika tidak akan takut dengan air mata. Sebab, seperti akan ada jaminan selanjutnya, tentang tersenyum setelah tangisan.
"Eeemmh ... ," gumam gadis itu sambil merenggangkan tubuh dan otot-ototnya.
Pukul 04.50 WIB, ia melihat ibu masih tertidur pulas. Saat ini, sebenarnya ia juga merasa malas untuk bangun. Tetapi Cantika ingat pada rencananya hari ini.
"Ok Tika, pekerjaan pertama dimulai!" ucapnya sambil terus menyemangati diri.
Siap dengan menu sarapan sederhana, ia langsung membersihkan rumah. Tampaknya, Cantika ingin hari ini ibu bangun dengan rasa bahagia dalam banyak kejutan, tidak perduli walaupun ia harus lelah.
Sekitar pukul 06.10 WIB. Gadis itu segera mandi dan bersiap untuk berangkat ke sekolah. Beberapa kali ia mengintip, tapi ibu masih terlelap.
'Mungkin, aku harus membangunkan ibu. Ini kan sudah siang, nanti ibu terlambat untuk ke kantor.' Ucapnya di dalam hati.
Setelah rapi, Cantika masuk ke dalam kamar ibu dan membangunkannya perlahan. "Bu ... Ibu, ayo bangun! Ini sudah siang. Apa Ibu tidak ke kantor hari ini?" tanyanya dengan lembut sembari menggoyang-goyangkan tubuh ibunya.
Tak lama, ibu langsung terbangun dan beliau sangat terkejut melihat matahari telah muncul. "Tika, sudah jam berapa ini?" tanya ibu dengan wajah yang tampak panik.
Dengan sigap, gadis itu memegang bahu ibu dan menenangkannya. "Bu ... ini baru pukul 06.40 WIB. Ibu kan biasa ke kantor pukul 07.30 WIB, berarti Ibu masih punya banyak waktu untuk berdandan," ucapnya sambil tersenyum.
Sang ibu terlihat kaget dengan sikap putrinya yang tampak manis pagi ini. "Ada apa, Tika?" tanya ibu kepadanya.
"Tidak ada apa-apa, Bu. Hanya saja, asal Ibu tau. Sebenarnya ... aku sangat membutuhkan Ibu," ucapnya dengan sungguh-sungguh, hingga menitikkan air mata.
Sambil menelan air liurnya, ibu menatap dalam ke arah putrinya. Untuk beberapa saat, beliau terdiam. Seolah sudah memahami maksud perkataan Cantika.
Iya, gadis itu adalah anaknya. Tentu saja dengan mudah, ibu akan mengetahui maksud dari ucapan Cantika.
"Maaf Bu, aku berangkat duluan ya ... takut terlambat," sambungnya sambil berdiri, tapi ibu masih terduduk tanpa kata. Saat itu, Cantika dapat melihat ekspresi ibu yang berbeda dari biasanya.
Gadis berambut panjang itu, melangkahkan kaki untuk segera meninggalkan ibu. Tetapi baru tiba di depan pintu kamar, ia kembali ke hadapan ibunya, untuk memberikan kecupan.
"Emuaach, aku pamit ya, Bu," ujarnya, kemudian langsung meninggalkan ibu sendirian di dalam kamarnya.
Sepanjang perjalanan ke sekolah, Cantika berharap, ibu bisa mengerti tentang dirinya dan ia bisa memperbaiki hubungan ini.
Seperti biasanya, gadis itu selalu ke sekolah dengan berjalan kaki dan mulai menghitung langkah agar tidak bosan.
Tin tin tin tin ...
"Anjar," ucapnya sambil melihat ke arah belakang.
Anjar adalah teman sekelas Cantika yang selama ini selalu duduk di kursi paling belakang dan jarang berbicara.
Anjar berhenti dan menawarkan tumpangan kepada Cantika. "Kamu sendirian?" tanya Anjar dan gadis itu menganggukan kepala. "Kalau begitu, ayo ke sekolah bersamaku!"
Cantika berhenti dan terdiam. Ia menatap Anjar dan merasa cukup kaget dengan ucapannya. "Ternyata, kamu bisa bicara ya? Sebaiknya, kamu duluan saja," oloknya sambil sedikit tertawa untuk menggoda.
"Tika, ini memang hanya motor biasa. Tapi aku janji deh, kalau motor ini nggak bakalan mogok sampai ke sekolah," kata Anjar seakan memaksa keinginannya terhadap Cantika.
Sejujurnya, Cantika sangat kaget mendengar Anjar mengatakan hal seperti itu kepadanya. Sebab selama ini, dia tidak pernah berbicara di hadapan Cantika. Bahkan, ia tidak mengenali suaranya.
Pagi ini, Cantika idak ingin membuat Anjar kecewa. Ia pun bersedia berangkat ke sekolah bersama.
Seperti Anjar yang ia kenal. Selama di atas motor, Anjar tidak membuka mulutnya sedikit pun. Hanya ada udara yang menyapa gendang telinganya dan berbisik parau.
Setelah menempuh perjalanan selama 12 menit, keduanya tiba di sekolah tepat pada waktunya.
"Makasih ya, Anjar," ucap Cantika yang berusaha mencairkan suasana. Tapi pemuda pendiam itu, hanya tersenyum simpul, lalu mereka langsung menuju ruang kelas bersama-sama.
Ketika guru masuk dan mulai memberikan pelajaran, Cantika tampak berusaha untuk fokus. Bukan tanpa sebab, ia sudah berjanji akan melakukan yang terbaik, demi ibunya.
Lagipula, waktu belajar tidak lagi banyak. Jika dihitung-hitung, hanya tersisa tiga bulan untuk mendapatkan nilai akhir yang bagus, sehingga ia bisa masuk ke perguruan tinggi terkemuka.
Cantika sangat ingin membanggakan ibunya. Untuk itu, ia harus melupakan semua hal yang membuatnya luka, termasuk Deri.
Bel tanda istirahat berbunyi. Semua teman-teman mulai beranjak pergi dari kelas, kecuali Anjar, si kutu buku. Tidak merasa terganggu dengan dirinya, Cantika meneruskan membaca materi pelajaran yang baru saja didapatkan.
"Sejak kapan perduli dengan buku?" tanya Anjar sambil menundukkan kepalanya ke dekat meja dan memperhatikan materi yang Cantika baca. "Jika ada kesulitan, kamu boleh bertanya kepadaku, Tika!" ucapnya sekali lagi, lalu pergi begitu saja.
"Menyebalkan, sejak kapan dia perduli dan memperhatikanku? Dasar cowok aneh ... si kutu buku," gerutunya sambil mengomel.
Sekitar 30 menit, bel masuk kembali berbunyi. Anjar adalah orang yang pertama kali masuk ke dalam kelas.
Tidak ingin mendengarkan celotehannya, saat ia berjalan di samping Cantika, gadis itu langsung memasang wajah masam kepadanya. Namun, Anjar malah tersenyum.
"Dasar cowok aneh," celotehnya sekali lagi. "Apanya yang lucu coba?"
***
Pukul 14.00 WIB. Bel tanda pulang pun berbunyi. Anjar mendekati Cantika dan kembali menawarkan tumpangan kepadanya. Tetapi, gadis itu segera menolak.
"Baiklah kalau begitu, aku duluan ya," ucap Anjar sambil meninggalkannya.
"Ya," jawab Cantika tegas dan singkat.
Baru 20 langkah meninggalkan sekolah. Tiba-tiba saja, hujan rintik mulai turun. Namun Cantika pura-pura tidak merasakannya. Ia terus berjalan, tanpa melihat ke kiri dan ke kanan.
Ketika hujan semakin deras, gadis itu pun segera berteduh, di bawah pohon yang cukup rindang di sisi kiri jalan. Ia berdiri sambil memeluk tubuhku sendiri, dengan kedua tangan karena mulai merasa kedinginan.
Dalam suasana hening sendirian, saat ia menatap ke seberang jalan. Cantika melihat tetesan air hujan masih turun dan membanjiri jalanan, tapi ia tidak lagi merasakan tetesan air hujan tersebut berjatuhan di tubuhnya.
Heran, gadis itu melihat ke atas kepala. Tidak, ternyata bukan hujan yang sudah berhenti. Melainkan terhenti karena terhalang jas hujan entah milik siapa.
Penasaran, Cantika segera memandang ke samping dan ia melihat Anjar berada di sisi kanan, sambil menahan jas hujan agar tetap berada tepat di atas kepalanya.
Saat gadis itu melihat ke arah sang pemuda, matanya hanya dapat melihat dadanya. Lalu ia mengangkat wajah, agar bisa melihat wajahnya.
Kali ini, Anjar tidak banyak bicara, dia hanya tersenyum dan menatap mata Cantika dengan pandangan hangat.
Cukup lama keduanya saling berpandangan. Selama bertatapan, Cantika berkata di dalam hati, tentang apa yang Anjar lakukan dan apa yang sebenarnya ia inginkan.
Sampai hujan hampir reda, keduanya tidak saling berbicara dan Anjar tetap memegang jas hujannya dengan erat. Bingung, tidak ada yang bisa Cantika rasakan, selain napas Anjar yang hangat.
15 menit berlalu. "Hujannya sudah reda dan tanganku juga mulai keram," ucap Anjar sambil menurunkan jas hujan miliknya dari atas kepala Cantika.
"Siapa yang memintamu untuk melakukan hal seperti itu?" tanya Cantika sambil mengerenyitkan dahi, tanpa mengucapkan hal lainnya.
"Lain kali, tidak ada salahnya untuk mengucapkan terima kasih!" saran Anjar sambil tersenyum manis. "Ayo sekalian aku antarkan pulang! Ini sudah siang. Bahkan kamu belum makan siang, kan?"
"Apa?" Cantika tampak kaget.
"Aku melihatmu dari tadi hanya di dalam kelas saja, tanpa mengunyah apa pun," ujar Anjar seakan dia terus memperhatikan tindak tandu Cantika hari ini.
Namun, saat mendengar perkataan Anjar barusan, rasanya dadaa gadis itu berdesir manja. Seperti ada sesuatu yang menyentuh jiwanya.
Tanpa sanggup membalas celotehan dari bibir Anjar kali ini, Cantika langsung naik di atas motor dan pulang bersamanya.
Bersambung
Novel ini sedang direvisi, mohon maaf untuk ketidaknyamanannya.