Rinai hujan membasahi bumi. Di teras rumah, ibunya berdiri dengan kepala tertunduk. Bibir indahnya bergetar bersama bulir-bulir air mata yang terus menetes. Wajah lesu dan kecewa itu, terlihat jelas di mata Cantika.
Dari balik jendela ruang tamu, remaja cantik itu terdiam seraya memandang wajah wanita yang sudah melahirkan dan membesarkan dengan kasih sayang.
Rautnya pun semakin layu dengan tangan yang terus melipat di depan dadaa. Cantika tidak tahan melihatnya, namun tak mampu berbuat apa-apa.
Ibu terus memohon kepada ayah untuk tidak mengusirnya dari rumah. Itu adalah ratapan seorang istri yang diceraikan tanpa alasan yang jelas.
Suara membentak terdengar kuat di telinga Cantika. Ayah, sosok yang selama ini melindungi, kini malah menghancurkan hati dan kebahagiaan mereka.
"Pergi dari sini dan jangan kembali! Saya sudah menceraikan kamu, dasar tidak tahu malu." Ayah menendang tas milik ibu hingga sebagian pakaiannya berserakan.
Tidak tahan, gadis itu berlari keluar dengan mata yang basah. "Ibu, tunggu! Aku mau ikut ibu saja. Tolong bawa aku, Bu," pintanya sambil memegang kedua kaki ibu.
"Apa yang kamu pikirkan? Ibumu itu miskin, tidak punya apa-apa. Jangankan rumah atau mobil, pekerjaan saja tidak ada. Memangnya, kamu mau putus sekolah dan menjadi pengemis?"
"Aku cuma mau ibu, Ayah."
"Baik. Sekarang kamu pilih! Ayah yang memiliki segalanya atau ibumu yang tidak memiliki apa-apa?" bentak ayah tanpa henti sambil menatapnya dengan mata yang melotot.
"A-aku ingin Ayah dan Ibu," sahut Cantika lirih sambil terus menangis. "Kenapa Ayah harus berpisah dengan ibu?"
"Kamu masih kecil. Tidak tahu apa-apa. Sebaiknya kamu masuk ke dalam dan tidur bersama tantemu!"
"Cantika, menurutlah kepada ayahmu, Nak!" pinta ibu sambil mengusap rambutku yang sering beliau sisir.
Aku menatap ibu dalam-dalam. Beliau tampak begitu hancur, bahkan mungkin lebur. Dengan tatapan menantang, aku menatap ayah. "Aku pilih ibu. Aku ikut ibu."
"Cantika!" Ayah kembali menaikkan nada suaranya.
"Tapi, Nak!"
"Ayo, Bu ... ." Cantika memohon dan mengajak ibu meninggalkan rumah mewah yang sudah berubah menjadi neraka.
"Ingat! Jangan pernah meminta sebiji beras pun jika kamu kelaparan! Sialan." Ayah menendang kursi di teras rumahnya dengan kasar.
Langkah yakin kakinya, menopang tubuh ibu yang masih gemetaran. Cantika percaya, mereka akan memulai kehidupan baru yang lebih baik, walau tanpa seorang ayah.
***
Sebelumnya.
"Mas, kapan sih kamu akan menceraikan dia? Aku sudah bosan loh sembunyi-sembunyi seperti ini. Kan pengen mencium dan bermanja-manja dengan kamu secara bebas." Rima mengalungkan tangannya di leher ayah Cantika, lalu menyapu bibir laki-laki tampan itu.
Laki-laki berjas hitam itu menghela napas panjang. Saat ini, keduanya baru saja menghabiskan waktu dengan percintaan hebat di dalam kamar hotel.
"Bagaimana ya? Ini benar-benar tidak sesuai dengan perjanjian kita di awal," tepisnya pada adik kandung istrinya tersebut.
Rima melepaskan pelukannya dengan wajah yang kecut, "Jangan bilang kalau kamu mau cuci tangan, Mas? Aku nggak terima." Rima mulai memainkan perannya, seolah ia adalah korban dari kekejaman sikap dan hati seorang laki-laki. Padahal, dialah penjahatnya.
"Sampai saat ini, Kasih tidak pernah melakukan kesalahan. Dia adalah istri dan ibu yang baik," pujinya pada wanita yang sudah mendampingi, mulai dari titik terendah di dalam hidupnya. "Aku tidak bisa, Rima."
"Dia juga kakak yang baik untukku. Bahkan dia seperti ibu," jawab Rima yang mengakui sifat istimewa kakak kandungnya tersebut. "Dia menyekolahkanku, memberi aku kehidupan yang layak, uang, pakaian dan tas yang bagus, bahkan mengantarkan aku ke kampus. Dia itu sempurna."
"Makanya aku tidak bisa, jika harus menceraikannya."
"Tapi, aku lebih mencintai diriku sendiri, daripada dirinya." Rima menyentuh bibir laki-laki idolanya itu dengan nakal. "Sejak awal, aku sudah menyukai kamu, Mas."
"Hmmm." Ayah Cantika memijat dahi. "Beri aku waktu!" pintanya yang sudah dibutakan oleh nafsuu sesaat.
"Dua bulan, tidak lebih! Atau aka akan pergi, Mas. Tentunya, bersama calon putramu," ancam Rima yang sebenarnya tengah berbohong. Dia tidak benar-benar hamil, seperti yang dikatakan.
"Apa? Kamu hamil, Sayang?"
Rima mengangguk bersama senyum, "Dan dia pasti laki-laki, seperti yang kamu inginkan."
"Sayang! Aku sangat menginginkan seorang putra," kata laki-laki itu sambil menyapu bibir Rima dengan rakusnya.
Bersambung.
Novel ini aku tuliskan dengan segenap perasaan. Banyak kesalahan memang karena Hot Baby adalah n****+ pertamaku. Dari sini, aku memulai dunia literasiku.
Selain itu, n****+ ini aku tuliskan untuk para anak-anak yang hancur hidupnya akibat perpisahan dan kesalahan orang tua. Mari lihat! Bagaimana kekuatan seorang ibu dan seperti apa Cantika bangkit dan menjadi permata yang indah?