Chapter 29

1440 Words
“tak ada juga” keluhan dari bibir gadis dengan tinggi seratus enam puluh centimeter itu diiringi dengan peluh yang membasahi pelipisnya, membuat poninya yang dimodel poni see through depan menjadi lepek dan berbentuk tidak menyenangkan. Dia adalah Britta, yang tengah mengusap peluhnya sembari mengeluh pada partner kerjanya belakangan ini. Sesosok pria yang lahir ditahun yang sama dengannya, dan juga kebetulan kini berada di divisi yang sama dengannya. Dylan. “Akupun sudah bertanya ke bagian sana-“ ujar lelaki itu sembari menunjuk deretan ruko yang dimaksud- “namun tak ada satupun dari mereka yang memiliki rekaman kamera pengawas selama itu. Rata rata hanya akan menyimpan kamera pengawas selama satu periode, yaitu satu bulan” Mereka kini tengah ada di sekitaran hotel yang dimaksud oleh Syden, mencoba mencari evidence lainnya sekaligus mencari tahu siapa identitas sebenarnya gadis yang Syden maksud. Gadis yang kini harus mereka temukan untuk meminta kronologi secara jelas mengenai apa yang terjadi pada saat itu. Jika melihat jam tangan yang ada di tangan kananya, maka Dylan bisa berasumsi mereka sudah berkeliling selama hampir lima jam karena sekarang sudah menujukkan pukul tiga sore. Mereka berdua bahkan melewatkan makan siangnya. Kepalanya melirik ke arah kirinya. Mereka berdua tengah berada tepa dihadapan pintu masuk yang terbuat dari kaca milik gedung yang didalamnya berisikan foodcart dengan stand makanan yang terlihat sangat menggiurkan. Tanpa mau banyak membuang waktu, pria di awal dua puluh tahunannya itu menarik gadis disampingnya untuk masuk kedalam, sedikit senang karena disaat perutnya berteriak kelaparan seperti ini, keadaan tempat tersebut sangatlah sepi karena para pegawai kantoran sudah kembali duduk dan sibuk dihadapan komputernya masing masing. “Hey, waktu kita tidak banyak tahu” ujar Britta yang sejujurnya ia pun melupakan hal tentang makan siang. Namun tak masalah. Untuk gadis seumurannya, ia pasti sudah mengalami yang namanya diet lebih dari lima kali. Melewatkan makan siang tak akan menjadi masalah lagi untuknya. Namun, ketika melihat wajah Dylan yang sudah mengenaskan, Britta tak sampai hati untuk memaksa rekannya itu terus menelusuri jalan demi mencari kamera pengawas. “ya, waktu kita tidak banyak, tapi nyawa kita pun hanya satu” ujar Pria itu yang kemudian tanpa sadar menarik si gadis ke sebuah stand yang sedari tadi memancing matanya. “eh, loh. Maaf maaf” ujarnya ketika menyadari bahwa gadis yang ia bawa lebih memilih makanan lain dibanding pilihannya saat ini. “Kau cari saja yang lain, nanti kita bertemu di meja sana” ujar pria itu sembari menunjuk meja yang aa di teras dengan pemandangan langsung menuju taman setempat itu. Setelah sibuk dengan pesanan masing masing, kini akhirnya mereka bisa menikmati makanannya ditemani angin sepoi sepoi yang kebetulan saja cuaca tiba tiba berubah menjadi mendung. Tak menandakan akan hujan, namun sepertinya hanya karena banyak awan yang ada di atas mereka. Angin segar yang mengembus membuat mereka seakan merasa nyaman karena jam jam yang lalu keduanya sudah dibanjiri dengan keringat. “Kau tahu” ujar Dylan di sela sela makannya. “Saat memesa tadi, aku baru tahu kalau foodcourt ini teryata beroperasi selama dua puluh empat jam. Begitu pula dengan semua stand makanannya” ujarnya lagi. “Lalu?? Apakah ada kamera pengawas yang akif sampai bulan lalu?” tanya Britta yang antusias, berdoa semoga tempat ini menjadi jalan keluar mereka setelah berlelah lelah diri. Namun sepertinya doanya tidak dikabulkan dengan mudah. Karena nyatanya, Dylan menggelengkan kepalanya lesu. “Kamera pengawas hanya ada dua untuk mengawasi dari luar, dan dua lagi untuk mengawasi di dalam. Yang di luar jangka waktu penghapusannya hanya satu bulan, seperti rata rata pada umumnya. Lebih dari satu bulan dianggap sudah tidak ada yang bermasalah, maka dari itu dihapus” ujarnya panjang lebar yang membuat si gadis menghela nafasnya putus asa dan memakan chicken katsunya dengan tidak semangat. Yang sejujurnya malah menimbulkan kekehan gemas dari pria yang kini gingsulnya menonjol keluar akibat menahan tawa. “Ingin mencoba punyaku?” tanya Dylan sembari menyodorkan semangkuk besar es serut buah yang tadi ia pesan. Dirinya memang hanya memesan satu buah sandwich manis dengan es serut besar tadi, karena berpikir bahwa cuaca terik tadi membuatnya benar benar menginginkan sesuatu yang dingin. Tak habis pikir dengan kini cuaca yang mendung secara tiba tiba. Berbeda dengan gadis di hadapannya yang memesan paket menu lengkap makan siang –padahal gadis itu pula yang tadinya merengek bahwa iasedang diet- “Mauuuuu” dijawab dengan antusias, Britta menjulurkan tangannya untuk membawa mangkuk tersebut agar lebih dekat dengannya. Mendesah menyenangkan ketika menyadari sensasi manis dan dingin menyatu dengan harmoni di lidahnya. Sembari menunggu makanan masing masing habis, keduanya disibukkan dengan bercakap cakap hal lain diluar kasus. Setidaknya untuk mendinginkan otak mereka yang dirasanya panas akibat kejadian aneh yang menimpa mereka secara berturut turut. Hingga sampailah pandangan Britta menuju truk truk besar berisikan ayam hidup yang membuat keduanya sontak menyesal memilih untuk makan di teras karena bau nya membuat Britta langsung tidak nafsu makan. “What a terrible day to have nose” ujarnya mengeluh sembari menghantamkan wajahnya ke meja. Dylan pun tak berbeda jauh. Ia langsung menggaruk asal pucuk hidungnya karena asap dan bau menyengat yang tiba tiba muncul membuat hidungnya gatal tak karuan. Tapi di titik itulah, kedua menyadari bahwa mereka memiliki opsi pilihan lain dibanding stuck disini dan terus kebingungan tanpa henti. “truk...” gumam gadis itu pelan yang langsung diangguki oleh pemuda di hadapannya. Sepertinya apa yang ada di otak mereka adalah hal yang sama. Bergegas bangun dan menuju tempat penjualan –tentu saja mereka tak melanjutkan makan, toh mereka tak yakin makanannya higienis setelah dilewati truk penuh asap hitam dan bau dari ayam-, keduanya langsung menghampiri salah satu ibu dari salah satu stand makanan yang terlihat tengah merapihkan bahan makanannya di tempat yang diharuskan. “Permisi” ucap keduanya berbarengan yang membuat suara keduanya bersatu di nada yang kencang sehingga perempuan paruh baya itu sedikit terhenyak kaget. “Ya? Ada apa anak muda?” Bingung ingin memulai dari mana, Dylan menggaruk pipinya dengan canggung, hingga akhirnya Britta lah yang langsung mengungkapkan isi pikirannya meskipun mungkin entar akan dianggap aneh karena bertanya hal yang sangat jarang ditanyai pelanggan pada biasanya. “Kalau boleh tahu, apakah bahan baku yang ibu pakai untuk berjualan, diantar kemari??” “Bagaimana???” jawab ibunya ikut kebingungan. “kalau boleh tahu, ada apa ya??” “Ah, ada hal yang harus kami ketahui” ujar Dylan sembari mengeluarkan lencana dan tanda pengenal kepolisiannya, yang langsung saja dimengerti oleh wanita tersebut. “Ya. Diantar kemari” “Pukul berapa?” “Pukul setengah satu malam” ujar ibu itu yang kembali memunculkan rasa putus asa dari dua anak muda dihadapannya. ......Atau tidak? “itu untuk toko ku” “Bagaimana maksudnya, bu?” “Foodcourt ini kan diatur oleh yayasan. Kami boleh berdagang disini, asal sesuai dengan ketentuan yayasan. Maka dari itu, foodcourt ini buka selama dua puluh empat jam. Pun begitu pula dengan bahan baku makanan, diatur oleh yayasan harus mengambil bahan dari mana. Toh karena bahan bakunya pun sama murahnya dengan yang lain, namun kualitas bagus, kami jadi setuju setuju saja untuk mengambil bahan baku dari supplier yang ditentukan. Karena disini ada puluhan stand, dan semua stand memesan di supplier yang sama, maka kami bergantian mendapat kiriman bahan bakunya. Stand ku mendapat kiriman pukul setengah satu malam” jelasnya panjang lebar. “Jadi maksud ibu, supplier tersebut akan terus bolak balik untuk mengantar pesanan semua orang yang ada disini?” “Iya” “Supplier tersebut menggunakan truk, kan?” “??? Iya” Berbekal nomor ponsel truk yang biasanya mengirip supply bahan baku tersebut, keduanya kini menjejakkan sepasang kaki masing masing di sebuah lahan gudang besar yang memang sepertinya berisikan supply untuk bahan makanan, baik basah maupun kering. Menyampaikan apa maksud dan tujuannya datang kemari, kini keduanya tiba disebuah truk yang katanya dikhususkan untuk membawa supply barang ke foodcourt yang sekitar satu jam lalu mereka datangi. Puji Tuhn. Terima kasih kepadanya dan kepada truk ayam bau tadi, kini keduanya menghela nafas lega ketika menyadari bahwa blackbox yang ada di truk tersebut masih menayangkan rekaman satu bulan yang lalu, dan adegan Syden dan gadis yang dimaksud terekam dengan jelas di blackbox tersebut. Persis dengan apa yang dikatakan oleh pemuda tinggi itu, bahwa dirinya memang terlihat hanya mengantarkan gadis tadi masuk kedalam hotel tanpa ada paksaan, lalu sekitar lima sampai sepuluh menit kemudian, Syden sudah terlihat memasuki mobilnya kembali dan berlalu dari sana. “Meskipun kita tidak berhasil menemukan identitas gadis tersebut, sepertinya ini bisa cukup membuktikan bahwa video video yang di upload saat itu adalah video palsu” gumam Britta dengan senyum yang tak hilang dari bibirnya. “Ya, akan lebih baik jika anonim berinisial Ghost itu ditemukan” Dylan pun bergumam sembari akhirnya kedua anak muda itu berlalu dari sana. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD