Chapter 31

1361 Words
Riuh pikuk suasana duka menyelimuti atmosfer yang mengudara saat ini. Orang orang berlalu lalang dengan pakaian hitamnya masing masing, membuat suana yang tadinya muram, menjadi semakin muram. Tertarik untuk menepi di sudut yang lain, seseorang disampingnya memberikan satu buah cup berisikan air mineral dingin. Tahu tak membantu banyak, namun mungkin saja lehernya tak lagi terasa kering karena harus tercekat secara terus menerus. Eric menatap sekelilingnya. Beberapa orang menutup mulutnya rapat rapat menghindari pembicaraan yang mungkin akan memancing tangis dan air mata meluncur dari keluarga yang dirasanya sedang berduka. Namun, banyak sosok ignorant lainnya yang mencoba mengorek informasi mengenai bagaimana caranya mendinag meninggal hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka yang dibaluti dengan ucapan berduka ala kadarnya. Pria itu pun tak mengerti, siapa pencetus awal yang membawa ide mengenai pakaian hitam di sebuah pemakaman. Suasanya seterik ini namun seakan akan mendung, menjadi semakin muram dengan kumpulan pakaian hitam yang lalu lalang di pandangannya. Padahal, pemuda itu sama sekali tak masalah jika orang lain ingin memakai baju apapun yang mereka inginkan. Toh, in the end of the day, yang mengerti apa perasaannya kini hanyalah ia dan ayahnya. Sebuah payung hitam tiba tiba muncul menghalangi sinar matahari dari kepala Eric dan Farren yang sedari tadi disisinya. Terlihat sesosok gadis memancarkan senyum manis, seakan tak ingin menambah kesedihan jika dirinya pun ikutan murung seperti rekannya itu. “Kau pasti lapar kan, karena belum sempat makan semenjak kemarin sore?” tanya Dylan yang tiba tiba muncul di belakang si gadis. Mereka tahu pasti bahwa kemarin sore, saat Eric tiba tiba mendapat panggilan mengenai ibunya yang tewas, pria yang hampir saja kesetanan menyetir itu –jika Farren tak menawarkan diri mengantar- langsung sibuk dengan duka mendalamnya. Belum lagi, segala keperluan yang harus dilakukan seperti mencari tempat untuk dikubur, berbagai macam informasi ke keluarga dan tetangga sekitar dan banyak lainnya akan membuat pria itu tak akan mengingat yang namanya lapar. Bahkan, mungkin tak mengingat bahwa ia sedang berduka. Pria itu butuh berduka. Perlu berduka. Ia hanyalah manusia pada biasanya yang harusnya menangis disaat saat orang yang disayanginya tewas seperti ini. Tapi, tak ada satupun tetes air mata yang terlihat di wajah pria itu semenjak kemarin, sesuai dengan kesaksian Zale dan Farren yang mendampinginya berjam jam. Matanya memandang kerah gerombolan manusia yang kini masih mengelilingi tanah basah yang menjadi tempat peristirahatan teakhir ibunya. Ia yang sudah ber jam jam lalu berada disana, memilih duduk ditanah kering dengan pohon rimbun tempatnya menyandar sekarang. “Mari pergi” ujarnya pada Britta yang seakan menunggu jawaban dari ajakkannya tadi. Keika si gadis melonjak kecil karena senang, dan tadinya berminat untuk mengajak ayah sang rekan untuk pergi bersama, Eric menahan tangannya dengan tatapan yang tak terbaca. Dengan lesu, pria itu menarik Britta untuk memasuki mobil Farren yang memang sudah ia bawa semenjak kemarin. “Ayahmu?” tanya Kael tak mengerti. “Tak masalah. Ada paman dan bibi yang menjaga. Aku akan pamit lewat ponsel saja” ujarnya kemudian memejamkan mata beratnya setelah punggung dan lehernya terasa nyaman ketika menyandar di dalam mobil. “Ingin makanan berat ala resturant, rumahan satau fasfood? Atau ingin jajan jajan saja? Ada festifal makanan tak jauh dari sini” ujar Zale yang kini kebagian bertugas untuk menyetir. Namun, jawaban dari pria yang sedang berduka itu membuat kening keenam orang yang ada disana mengerut. “Kerumah Syden saja” Dan kini, disinilah mereka bertujuh. Kembali berkumpul dirumah megah Syden, yang pemiliknya langsung menyambutnya dengan hangat ketika mereka sampai. Karena skandal yang lalu, Syden memang disarankan untuk tidak keluar rumah terlebih dahulu. Oleh karena itu, dengan sangat menyesal, pria itu tak bisa menemani rekannya ketika prosesi jumpa terakhir kali dengan sang ibunda. Kini, banyak pasang kaki itu melangkah menuju kamar Syden, yang bahkan mungkin ini pertama kali bagi pria itu untuk membawa masuk orang asing kedalam kamarnya. Ya, ini memang paksaan dari Eric. Gesture tubuhnya selalu memperlihatkan bahwa pria itu tak nyaman. Mungkin, kamar menjadi pilihan lain jika pria berduka itu memang sedang ingin memiliki privasi lebih. Beberapa menit berlalu, namun tak ada suara seorang pun yang terlontar. Semuanya masih menunggu Eric untuk membuka mulut terlebih dahulu dan membicarakan apa maksud dari gumaman yang ia lontarkan ketika mereka sedang ada di perjalanan menuju rumah Syden. “Kalian... tahu kan menurut dugaan polisi, ibuku mati karena bunuh diri??” ujarnya yang membuat rekannya yang lain sebenarnya sedikit menahan nafasnya refleks. Mereka tak menyangka bahwa pria itu akan langsung gamblang membicarakan hal menyakitkan itu kepada mereka. Eric mengeluarkan sesuatu dari dalam kantung jas hitamnya- “surat bunuh diri ini yang membuat semua orang percaya bahwa ibuku memang membunuh dirinya senidri. Tapi coba kalian perhatikan baik baik“ potongnya sembari menunjuk beberapa bagian yang ia rasa aneh dari kumpulan kalimat diatas kertas yang sudah cukup lusuh itu, membuat ketujuh orang lainnya menundukkan kepala mereka hampir bersamaan dan berdesakan untuk bisa melihat apa isi dari surat tersebut. ‘ Eric ku sayang. Maafkan ibu yang memilih berakhir seperti ini. Kalian, kau dan ayahmu akan selalu baik baik saja tanpa ibu. Kalian berdua lelaki hebat yang pastinya bisa menjaga diri sendiri- dan kau, Eric, carilah wanita yang bisa bersama mu sampai akhir hayatmu. Masih teringat jelas dalam benak ibu bagaimana saat ibu melahirkanmu dahulu. Tolong jangan lupakan ibu, ketika dirimu mungkin akan memiliki ibu yang lain. Mencari seseorang yang akan menemanimu sampai akhir hayat itu susah, ibu tahu itu. Maka hangan sia siakan seseorang yang benar benar ingin berada di sampingmu. Aku pikir, kalian berdua mungkin akan benar benar kehilangan ibu. Tapi ibu sudah tak kuat dengan kehidupan ini nak, selamat tinggal’ itulah kalimat yang terdapat di ‘surat bunuh diri’ yang kini sudah lusuh karena dipegang dan dibaca berulang ulang kali oleh sang anak. “Kalian lihat kalimat itu” ujarnya sembari menujuk kalimat yang ia maksud. “Ibuku tak pernah menyebut dirinya sendiri dengan sebutan ‘aku’ jika kepadaku. Sama sekali tidak pernah selama hidupku. Pun, ini memang terlihat seperti tulisan ibuku, namun disisi lain tulisan ini terasa asing. Seperti ditulis oleh orang yang berbeda” Eric berucap dengan tercekat. Nada suaranya kini bergetar, liquid bening mulai terlihat menumpuk di pelupuk matanya. “Aku merasa aneh. Ada sesuatu yang janggal, tapi aku tak bisa berpikir dengan kepala dingin. Tolong bantu aku” Pertahanannya semenjak kemarin pecah. Kini ia sudah menundukkan kepalanya semakin kebawah, bahunya bergetar sarat akan tangisan. Semua yang ada di sampingnya otomatis tergerak untuk memeluk tubuh rekannya itu. Rekan yang biasanya seperti kotak tertawa karena saking hobinya tertawa- mengelus pundaknya pelan. Detik demi detik berlalu, namun ketujuh orang itu masih menelisik kertas yang sejujurnya terlihat biasa saja itu. Eric sudah tertidur setelah dipaksa berbaring di kasur empuk milik Syden, mungkin karena membuka matanya semalaman ditambah beban yang menumpuk di pikiran, pria itu langsung tertidur dalam wkatu lima menit. “....aku takut jika ucapanku ini akan benar” ujar Eros yang sedari tadi terdiam, tiba tiba mulai membuka suaranya. “Sepertinya ini pelaku yang sama dengan pelaku yang ada di desa Asgardia” “Gimana gimana??” panik rekannya yang lain. “Lihat ini” ujarnya sembari menanda beberapa hal dengan jarinya. ‘ Eric ku sayang. Maafkan ibu yang memilih berakhir seperti ini. Kalian, kau dan ayahmu akan selalu baik baik saja tanpa ibu. Kalian berdua lelaki hebat yang pastinya bisa menjaga diri sendiri- dan kau, Eric, carilah wanita yang bisa bersama mu sampai akhir hayatmu. Masih teringat jelas dalam benak ibu bagaimana saat ibu melahirkanmu dahulu. Tolong jangan lupakan ibu, ketika dirimu mungkin akan memiliki ibu yang lain. Mencari seseorang yang akan menemanimu sampai akhir hayat itu susah, ibu tahu itu. Maka hangan sia siakan seseorang yang benar benar ingin berada di sampingmu. Aku pikir, kalian berdua mungkin akan benar benar kehilangan ibu. Tapi ibu sudah tak kuat dengan kehidupan ini nak, selamat tinggal’ “Ini polanya awal kata setelah dilewatin satu kalimat” ujarnya yang memancing desisan namun juga kebingungan yang pasti. Desis karena jika memang ini psikopat yang sama, mereka bahkan masih diteror meskipun sudah keluar dari desa. Namun, mereka tak memiliki hal untuk membuktikannya. “Jadi, ia seakan akan memberikan sinyal ‘kalian masih mencari aku?’ kesannya psikopat sialan itu tahu gerak gerik kita selama ini” “Jangan jangan, kasus Syden...”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD