Episode 8

1947 Words
Sina turun dari mobil Arsen saat sudah tiba di depan rumahnya. Seperti biasa, Sina turun begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan berterima kasih saja tidak karena Arsen sudah mengantarnya pulang. "Tunggu." Sina menghentikan langkahnya, "Kenapa?" "Kamu tidak mengucapkan terima kasih? Aku sudah mengantarkan kamu pulang." Alis Sina terangkat, "Kan lo yang maksa. Gue juga udah bilang, gue bisa pulang sendiri. Kenapa gue harus ngucapin terima kasih juga?" Sina menggeleng pelan dengan sudut bibir yang sedikit terangkat. "Apa kamu selalu seperti ini saat orang mengantar kamu pulang?" Sina mengendik, "Tergantung orangnya lah, kalo orang itu lo, udah jelas gue malas ngucapin terima kasih. Karena itu bukan kemauan gue, tapi karena lo yang maksa." Sina membalikkan badan melanjutkan langkahnya. "Tunggu." Sina menghela nafas berat, lalu berbalik, "Apa lagi, hah?" "Soal tadi, aku ingin kamu benar-benar memikirkannya lagi. Aku tidak mau membuat Nenek kecewa." Sina mendesah pelan, lalu menganggukkan kepalanya, "Iya, nanti gue pikirin. Sekarang gue bisa masuk kan?" Arsen sedikit mengangkat kepalanya dengan kedua alis yang terangkat pertanda Sina sudah bisa masuk ke rumahnya. Arsen melihat Sina sudah masuk, dia lalu menjalankan mobilnya meninggalkan pelataran rumah Sina. Sina membuka pintu rumahnya, dia tersentak kaget saat melihat Alma sedang duduk di sofa. "Astaga Al, lo masih disini ternyata?" Alma mengangguk, dia sengaja menunggu Sina di rumahnya, karena tadi saat Arsen membawa Sina pergi, rumah Sina tidak ada yang menjaga. Lagipula, Alma juga penasaran, sebenarnya apa yang sudah terjadi. Kenapa tiba-tiba Arsen membawa Sina pergi. "Na, gimana?" "Gimana apanya?" Sina menjatuhkan tubuhnya di sofa. "Gimana lo sama Kak Arsen?" "Ceritanya panjang, mending sekarang lo pulang dulu. Gue mau istirahat." Sina berdiri, lututnya serasa lemas. Dia ingin mengistirahatkan tubuhnya sekaligus pikirannya yang tiba-tiba stres. Alma menggeleng, dia menahan lengan Sina, "Na, lo cerita dulu sama gue. Gue udah nunggu lo lama-lama, tapi lo nggak mau cerita? Sumpah, lo buang-buang waktu gue tau nggak." Sina berdecak, menarik lengannya, "Siapa yang nyuruh lo nungguin gue? Lo nya aja yang kepo. Udah sana pergi." Sebenarnya Sina tidak bermaksud untuk mengusir Alma, tapi Sina benar-benar stres sekarang. Sina ingin sendirian, mungkin saja dia akan lebih baik ketika bangun nanti. "Oke, tapi nanti lo harus cerita sama gue, semuanya." "Iya." Alma keluar dan menutup namun baru beberapa detik Alam keluar, pintu kembali terbuka. Sina berdecak, "Apa lagi?" "Na?" Kedua mata Sina terbelalak, mulutnya sedikit terbuka. Itu suara laki-laki bukan perempuan. Sina lantas berbalik, dia melihat Samudera berada di belakangnya. "Sam?" "Iya gue, kenapa lo kaget gitu?" Sina tersenyum tipis, dia menggeleng-gelengkan kepalanya, "Nggak papa, gue kira tadi Alma." Samudera berjalan mendekat, "Tadi gue liat Alma di depan, terus dia udah pulang. Kalian kenapa? Gue tadi liat Alma kayak lagi kesel." "Nggak ada apa-apa. Oh ya, lo ngapain ke rumah gue?" "Gue mau lo nemenin gue pesen souvenir di tempat langganan keluarga gue." "Emang buat acara apa?" "Minggu depan, di rumah gue ada acara nikahan. Jadi, nyokap gue nyuruh gue pesen souvenir. Lo mau kan nemenin gue Na?" Pupil mata Sina membesar, kedua alisnya terangkat, mulutnya terbuka lebar. Ponsel yang sedari tadi di genggamannya terjatuh karena saking kagetnya. Kedua alis Samudera saling bertautan melihat Sina, "Na, lo kenapa?" "Nikah?" "Iya." Bahu Sina menurun, lutut kakinya melemas, seketika hatinya sakit. Sina bahkan tidak mampu untuk berdiri tegak. Samudera menikah? Laki-laki yang selama bertahun-tahun dia tunggu untuk menjadi kekasihnya, ternyata akan menikah minggu depan? Siapapun tolong Sina. Sina tidak sanggup lagi. Dia ingin pingsan sekarang juga. Hati Sina seakan berteriak, 'Kenapa lo harus nikahnya sama orang lain, bukan sama gue Samudera!!' "Na, lo nggak papa kan?" Samudera melambaikan tangannya di depan wajah Sina. "Gue.. nggak papa." Sina tersenyum simpul, kedua bibirnya menutup rapat membentuk garis lurus. Senyum untuk menutupi apa yang kini Sina alami. Menyembunyikan apa yang kini sedang Sina rasakan. Sakitnya, setengah mati.... "Kita berangkat sekarang?" Sina menganggukkan kepalanya, dia mengambil ponselnya yang sempat jatuh tadi. Mereka keluar bersama-sama. Mereka akhirnya sampai di sebuah toko souvenir. Berbagai macam souvenir terpajang disana. Samudera membawa Sina untuk melihat beberapa sample souvenir yang akan dia pilih. Sina menatap Samudera dalam diam. Laki-laki itu terlihat sibuk memilih beberapa souvenir. Sina juga melihat Samudera terlihat bersemangat. Berulang kali Samudera meminta agar pendapat Sina, Sina hanya mengatakan iya iya saja. Karena memang semua souvenir disini sangat cantik-cantik. Selain itu, Sina juga sedang patah hati, dia tidak sanggup memilihkan mana souvenir yang cantik untuk digunakan di acara pernikahan orang yang dia cintai. "Sam, gue tunggu di luar ya." Samudera mengangguk tanpa melihat Sina. Dia masih sibuk memilih-milih, Sina memutuskan untuk menunggu Samudera di luar saja. Ada kursi besi panjang di depan toko, Sina duduk di sana. Membuka ponselnya dan masuk ke aplikasi **. Sina membuka tombol berbentuk love untuk melihat siapa yang mem-follow nya. Dahinya mengernyit, pasalnya disana tertera nama akun **, Arsen Matteo Pahlevi mem-follow nya. "Kenapa ini orang follow ** gue?" Tanya Sina pada diri sendiri. Karena penasaran, Sina membuka akun ** Arsen. Stalking sedikit, tidak apa-apa kan? Sina menscroll ke bawah, melihat foto-foto di galeri ** Arsen. Hanya beberapa foto Arsen, tapi kebanyakan foto kakaknya, Nataya. Sina tersenyum saat melihat foto kakaknya. Sangat cantik dan anggun, "Sina kangen Kak Nataya." Sina mengusap foto kakaknya, tak terasa setetes air mata turun dari sudut matanya. Sina sangat merindukan kakaknya, sangat rindu. Sina mengusap air matanya, dia kembali menscroll ke bawah. Sina kemudian melihat foto kakaknya bersama Arsen. Di foto itu, Nataya terlihat tersenyum. Sedangkan Arsen, Sina bahkan ingin tertawa, karena disana Arsen foto dengan raut wajah datar. Sangat tidak cocok bersanding dengan kakaknya. "Ini orang nggak bisa senyum apa gimana si? Kaku amat." Sina bergumam, geleng-geleng kepala. Sina melihat kaki seseorang berdiri di depannya, dia mendongak, "Sam, lo udah selesai--?" "Arsen?" ****** Arsen?" Sina berdiri, kaget melihat Arsen tiba-tiba di depannya, "Lo ngapain disini? Ngikutin gue?" "Aku tidak mengikuti kamu. Aku kesini untuk membeli barang." Arsen tadinya mau membeli barang tapi dia melihat Sina duduk di depan toko. Kebetulan, toko yang Arsen datangi, bersebalahan dengan toko dimana Sina tengah duduk. Arsen lalu menghampiri Sina lebih dulu. "Terus ngapain lo disini? Ya udah sana pergi!" Usir Sina. Samudera kemudian keluar, dan melihat Sina bersama Arsen. Arsen merasa tidak asing dengan Samudera karena dia sudah pernah melihatnya di rumah Nataya. "Kak Arsen habis darimana?" "Aku mau membeli barang, tapi tidak sengaja bertemu dengan Sina disini." Sina mengalihkan pandangannya dari Arsen lalu menarik tangan Samudera, "Lebih baik kita pulang Sam." "Kak Arsen, kita duluan." Arsen tersenyum tipis, menatap kepergian Sina dan Samudera. ****** "Hah?! Lo sama Kak Arsen mau nikah?" "Gue bahkan belum mutusin mau atau nggak nya. Gue bingung." Sina yang malang. Laki-laki yang dia cintai selama bertahun-tahun akan menikah dengan perempuan lain, sedangkan Sina harus menikah dengan laki-laki yang sama sekali tidak dia cintai. Miris sekali hidupnya. "Tapi kenapa Nenek Kak Arsen maunya lo yang jadi istri Arsen?" Sina mengendik, selama ini Nenek Arsen sangat baik padanya dan juga Nataya. Nenek Arsen sangat menyayangi Nataya, bahkan sudah menganggap Nataya sebagai cucunya sendiri. Nenek Arsen sering datang kerumahnya, mengobrol banyak dengan Sina dan Nataya. Sina juga sangat menghormatinya, karena Nenek Arsen sudah banyak membantunya. Mungkin dari situ, Nenek Arsen menyukai Sina dan ingin Sina menjadi istri Arsen. "Gue juga masih nggak percaya. Padahal gue udah seneng karena hubungan Arsen sama Kak Nataya udah berakhir. Tapi sekarang, malah gue yang harus nikah sama dia. Parah banget kan?" "Kalo lo udah nikah sama Kak Arsen, lo dapat warisan nggak?" "Ya dapet si." "Ya udah si, lo terima aja. Jarang-jarang lo dapat kesempatan buat nikah sama cowok ganteng, tajir. Bukan cuma itu, lo juga dapat warisan. Enak banget nggak tuh?" Sina memukul meja, membuat Alma tersentak kaget, "Bukan masalah dapat warisan wey, tapi ini soal harga diri gue. Lo pikir harga diri gue bisa di jual dengan uang, hah?!" Alma memutar bola matanya, dia tau Sina sangat menunjung tinggi harga dirinya. Tapi menurut Alma sendiri, tidak ada salahnya Sina menyampingkan harga dirinya sementara dan menikah dengan Arsen yang tampan dan kaya. Jika itu Alma, dia pasti tidak akan menyia-nyiakannya kesempatan seperti ini. "Terus, apa yang akan lo lakukan selanjutnya?" Sina mengangkat bahu. Bola matanya terangkat pertanda tengah memikirkan sesuatu. Bola matanya kemudian bergerak menatap Alma saat dia teringat dengan sesuatu yang jauh lebih penting. "Al, lo udah tau kabar terbaru dari Samudera?" Alma menggelengkan kepalanya dengan alis saling bertautan, "Apa?" "Samudera, dia mau nikah Al." Ucap Sina dengan nada lemas, dan bibir mengerucut. Alma membulatkan mata, dia kemudian mengulum bibirnya menahan untuk tidak tertawa. Sina mengerutkan dahinya, "Lo nggak kaget?" "Lo dapat kabar dari siapa kalo Samudera mau nikah, hah?" "Sam sendiri yang bilang sama gue. Tadi aja gue temenin dia pesen souvenir." Alma menyipitkan matanya, apa mungkin yang di katakan Sina benar jika Samudera akan menikah? "Terus lo percaya?" "Yang gue tau, Samudera itu anak tunggal, dia nggak punya saudara. Terus kalo bukan dia? Siapa yang nikah coba?" Alma mengangguk-anggukkan kepalanya. Jika Samudera mempunyai saudara, dia dan Sina pasti sudah tau karena mereka berteman sudah lama. Samudera sekalipun tidak pernah memberitahu atau menunjukkan jika dia mempunyai saudara. "Terus kalo emang yang mau nikah itu Sam, kira-kira dia nikah sama siapa?" Sina memangku dagunya dengan telapak tangannya. Bola matanya terangkat ke atas tengah memikirkan sesuatu. Alma menjentikkan jarinya, mereka saling bertatapan, "Jangan-jangan..." "Aulia!" Ucap mereka bersamaan. ****** Minggu depan.... Sina sudah rapi dengan pakaian kebayanya, Alma sudah berada di sampingnya. Hari ini, adalah hari patah hati nasional untuk seorang Sina Diana. Resepsi pernikahan Samudera. Hari ini juga, Sina harus menyaksikan laki-laki yang dia cintai, bersanding di pelaminan. Mereka sudah sampai di depan rumah Samudera. Rumah yang sudah di dekor sedemikian rupa. Banyak tamu undangan yang berdatangan. Mereka masuk ke dalam. Berbagai macam makanan dan minuman tersaji di sana. Sina melihat keluarga Samudera berkumpul disana. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah, Samudera dan Aulia. Aulia mengalungkan tangannya pada lengan Samudera. Samudera terlihat sangat tampan, Aulia juga sangat cantik. Sina dan Alma mendekati mereka. Samudera melihatnya, "Na, kalian udah datang?" Sina tersenyum tipis. Aulia menyeringai padanya, mengeratkan rangkulannya pada lengan Samudera. Sina yakin, Aulia pasti sedang mengejeknya karena sekarang dia dan Samudera sudah menikah. Sina menatap ke sembarang arah, menahan air matanya agar tidak jatuh melihat kemesraan Samudera dan Aulia. "Gue, mau ke toilet dulu." Sina lalu membalikkan badannya dan pergi dari sana. Alma menghela nafas, dia tau kalau Sina sedang menghindar. Sina pasti tidak tahan melihat apa yang terjadi sekarang. Alma membiarkan Sina untuk menenangkan dirinya. Setelah acara selesai, Alma mencari Sina. Perempuan itu pamit ke toilet tapi sampai acara selesai, Sina belum kembali juga. Mata Alma berpencar, kemudian dia melihat seorang perempuan yang tengah duduk di ayunan. Ada dua ayunan disana, yang satunya masih kosong. Sina tersentak saat seseorang menyentuh bahunya. Dia menoleh, Alma tersenyum padanya, dia duduk di ayunan di samping Sina, "Ternyata lo disini, gue cari kemana-mana juga." Sina menatap lurus ke depan, "Lo tau kan, betapa sakitnya waktu gue liat Sam dan Aulia disana." "Gue tau kok, tapi kasihan tau Samudera. Dia tadi nungguin lo, tapi lo nggak datang-datang." Alma terkekeh, sengaja memanas-manasi Sina. Sina tersenyum sedih, dia seakan kehilangan harapannya, "Ternyata sakit banget ya. Gue bener-bener nggak nyangka, kisah cinta gue berakhir tragis kayak gini." Alma mengulum bibirnya, ada hal yang belum Sina ketahui. Sina pasti akan terkejut atau mungkin tidak percaya setelah Alma memberitahu semuanya. Alma mengusap bahu Sina, "Lo harus move on. Lo harus lupain Sam, lo lupain kalo lo pernah cinta sama dia." Sina mengangguk, menggoyang-goyangkan kakinya yang menggantung, "Mungkin, gue juga mau menerima tawaran Arsen, untuk nikah sama dia." Alma tertegun, dia bahkan tidak menyangka respon Sina akan seperti itu. "Na, sebenarnya.. yang nikah itu bukan Samudera, tapi sepupunya." Sina mengangguk, dia tidak sadar apa yang Alma katakan. Namun beberapa detik kemudian, kedua mata Sina membelalak kaget, menoleh menatap Alma "Hah, apa?!" Alma tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi-giginya menatap Sina. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD