Evan terbangun pagi itu dan segalanya tampak buram. Ia menatap ke sekitarnya saat berusaha mengenali tempat itu. Ada banyak benda kayu yang mengelilinginya di dalam ruangan sempit itu: meja kayu berbentuk persegi dengan sebuah kursi kayu di belakangnya, lemari kayu di sudut ruangan, nakas kecil, dan ranjang sempit dengan rangka kayu yang ditempatinya. Pintu dan jendelanya mengayun terbuka, namun tirai berwarna biru gelap menghalangi cahaya matahari menembus masuk ke dalam ruangan. Ketika pandangannya menjadi semakin jelas, ia menyaksikan sejumlah barang bertebaran di atas lantai: sepatu dan jaketnya, sebuah topi hijau yang bahkan tidak ia ingat dimilikinya. Sebuah kalender yang menggantung di dinding memberitahunya bahwa pagi itu adalah hari minggu dimana mataharinya tanpak bersinar cerah dan ia dapat mendengar suara bising kendaraan di antara puluhan bangunan-bangunan tinggi yang mengelilinginya.
Evan melirik ke arah jarum jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas. Ia tidak pernah bangun sesiang itu sebelumnya. Sembari menyeret tubuhnya dari atas kasur, Evan berusaha mengingat kejadian yang dialaminya semalam, kemudian rasa mual muncul secara tiba-tiba, disusul oleh rasa pening yang membuat kepalanya berdenyut-denyut. Sebelum memuntahkan seisi perutnya di atas lantai kayu itu, dengan tergesa-gesa, Evan beranjak menuju toilet. Pinto toilet tidak sepenuhnya tertutup sehingga ia dapat masuk dengan mudah dan memuntahkan seisi perutnya di atas wastafel.
Wajahnya memerah seketika. Saat rasa sakit itu menrangkulnya erat, tubuhnya merosot di atas lantai. Tangan dan bibirnya bergetar namun yang terburuk dari semua itu adalah fakta bahwa ia mengalami kesulitan untuk menggerakkan kakinya dari atas lantai. Kemudian, cermin di sudut ruangan memantulkan bayangan wajahnya. Evan menyaksikan sejumlah memar yang membiru di atas wajahnya. Luka berdarah di sudut bibirnya terasa berdenyut-denyut. Keningnya juga mengalami luka parah dan ada bekas baretan di sepanjang lengannya.
Hawa panas mengalir ke sekujur tubuhnya begitu saja. Untuk sejenak, Evan tidak dapat berpikir jernih dan mengingat kejadian apa yang dilewatinya semalam hingga menyebabkan luka-luka itu dan rasa frustrasi yang dialaminya ketika berusaha mengingat kejadian demi kejadian itu hanya menekan luka di kepalanya, membuatnya meraung dan berteriak kesakitan.
Dua jam berikutnya Evan duduk di tepi kasur sembari menatap ke sekitar. Setiap sudut tempat di ruangan itu adalah suatu bentuk kekacauan yang tidak bertanggungjawab. Dalam keheningan, indra-indranya terjaga. Telinganya mendengar suara jarum jam yang berdetak setiap detiknya, menyaksikan angin dari luar jendela menyentuh lembut tirai di dalam ruangan dan menggerakkannya. Evan telah memungut pakaiannya dari atas lantai, mengenakan semua pakaian itu kemudian menatap wajahnya melalui pantulan bayangan di cermin. Ada luka memar di bawah matanya. Jari-jarinya berusaha menyentuh luka itu dan tindakannya berhasil membuatnya mendesis kesakitan. Tiba-tiba ingatan tentang kejadian semalam muncul begitu saja dan membanjiri kepalanya. Evan mengingat sebuah bar, orang-orang yang berkerumun di dalam tempat gelap dengan musik yang bising itu, suara percakapan dan permainan poker. Teman-temannya bertaruh untuk bermain poker, Evan duduk untuk menyaksikan mereka, tubuhnya terasa limbung akibat pil yang ditelannya. Dalam hitungan menit pil itu bereaksi begitu saja. Dalam kondisi setengah sadar, Evan masih dapat mendengar suara tawa yang keras, kemudian suara keributan. Kemudian ia menyadarinya, keributan itu benar-benar terjadi disana. Salah seorang dari anggota kelompoknya menarik Evan untuk meninggalkan tempat itu dan berlari untuk menghindari masalah apapun yang terjadi di dalam, Evan tidak dapat mengingat dengan jelas, namun ia cukup yakin remaja yang menariknya ke tengah jalanan adalah Richie.
Evan mengingat gambaran tentang jalanan di bawah kakinya. Permukaan rata jalanan beraspal itu tampak berbayang, Evan terheran-heran saat menyaksikan jalanan itu seolah-olah bergerak menghampirinya.
“Lihat ini! Lihat ini!” katanya sembari menarik-narik lengan Richie. “Apa kau tidak melihat jalanannya bergerak?”
“Apa kau bercanda?! Ayo, cepatlah!”
Richie menariknya berlari menyusuri jalanan itu, membawanya terus bergerak sampai ke ujung jalan. Evan melihat sebuah tempat yang gelap dan sempit, tempat itu berbau busuk, dan genangan air mengisi lubang-lubang di jalanan. Richie kemudian menggerutu ketika mereka menemukan jalan buntu. Evan hanya menatap lurus ke depan, menyaksikan tibing setinggi tiga meter menutupi jalanan. Tidak ada jalan keluar lain di g**g itu kecuali mereka kembali berputar di jalanan awal.
Dengan tergesa-gesa, Richie berusaha menemukan cara untuk dapat keluar dari sana, Evan hanya menyaksikannya sembari menyandarkan tubuhnya di permukaan dinding. Rasa pening masih membuat seisi kepalanya berputar-putar, pandangannya berbayang dan tubuhnya limbung. Pada detik berikutnya seseorang dari ujung g**g berlari menghampiri mereka. Laki-laki bertubuh besar ini menyerang Richie, memukuli wajahnya dan ketika Evan berusaha menghentikannya, pria itu menyikutnya hingga Evan terhuyung jatuh dan pada detik berikutnya sebuah pukulan keras melayang di atas wajahnya.
Evan ingat ketika pria itu meninggalkan mereka di ujung g**g dalam keadaan babak belur. Richie berbaring di atas apal dengan luka berdarah pada rahang dan wajahnya. Pecahan keramik bertebaran di atas aspal, kemudian Evan melihat genangan air berwarna merah gelap menutupi jalanan. Dengan susah payah, ia menyeret tubuhnya untuk bangkit berdiri, terguncang saat menyaksikan darah mengalir keluar dari luka di belakang kepala Richie. Pria itu tidak hanya menghajar mereka, tapi juga melukai Richie menggunakan pecahan keramik itu.
Karena panik, Evan menatap ke sekitarnya. Ia mengguncangkan tubuh Richie untuk membangunkannya, namun Richie nyaris tidak menunjukkan pergerakan apapun. Pikirannya buyar, hawa dingin di luar sana membuat Evan nyaris tidak dapat merasakan jari-jari kakinya. Ia ingat ketika ia berjalan mendekati mesin telepon untuk menghubungi polisi, Evan tidak ingat apa saja yang dikatakannya namun ia ingat ketika ia berjalan tergopoh-gopoh untuk sampai di penginapan yang disewa mereka kemudian membaringkan tubuhnya di atas kasur saat rasa sakit yang hebat menyerang kepalanya.
Ingatan itu berhasil membuat Evan menyentak tubuhnya untuk bangkit dari atas kasur dan menyambar pintu. Namun ia baru saja melangkah keluar melewati lorong untuk menemui Richie ketika seorang petugas kepolisian muncul di ujung tangga. Wajahnya memerah persis ketika petugas polisi bersama pemilik tempat penyewaan itu mendekatinya dan bertanya, “kau teman Richie Nelson?”
“Ya.”
“Siapa namamu?”
“Evan.”
“Evan, kau akan ikut bersamaku ke kantor polisi untuk memberi keterangan.”
Laki-laki itu berbalik menuju tangga dan berjalan meninggalkan motel. Begitu sampai di dekat lobi, Evan menghentikannya untuk bertanya, “tunggu, dimana Richie? Apa dia baik-baik saja?”
Petugas itu tidak menjawabnya hingga mereka sampai di depan mobil. Matanya menatap ke sekitar, kemudian ia menghela nafas dan berkata, “tidak. Dia tewas.”
Evan merasakan tubuhnya seketika membeku. Ia duduk dengan kaku di dalam sedan hitam yang membawanya menuju kantor polisi dan ketika sampai disana, belasan orang yang berpapasan dengannya langsung menatapnya. Mereka memintanya untuk menunggu di ruangan kosong dengan sebuah meja persegi dan dua kursi kayu yang mengelilinginya. Tidak ada jendela di dalam sana, kecuali jendela yang mengarah langsung ke ruang kerja, namun Evan nyaris tidak dapat melihat apapun di balik jendela itu, mereka menutupnya rapat-rapat sehingga ia merasa dinding-dinding dalam ruangan itu mengintimidasinya. Matanya menatap lurus ke arah jam dinding yang menggantung persis di atas pintu. Jarum jamnya mengarah ke angka satu. Evan menghitung setidaknya ia sudah berada satu jam di dalam sana, menunggu hingga seorang petugas wanita berusia sekitar akhir tiga puluhan, datang dengan membawa tumpukan berkas dalam genggamannya kemudian menarik kursi di seberang dan duduk berhadap-hadapan dengannya. Wanita itu juga membawa sebuah alat perekam kecil yang kemudian ia letakkan di atas permukaan meja, persis di tengah-tengah mereka. Suaranya terdengar tegas ketika berbicara, dan tatapannya yang tajam memaku Evan di atas kursinya, membuatnya merasa sulit bahkan untuk sekadar mengembuskan nafas.
“Percakapan ini akan direkam jadi aku mau kau menjawab semua pertanyaan dengan benar. Apa kau siap?”
Evan menganggukkan kepala sebelum wanita itu berkata,
“Tolong sampaikan tanggapanmu dengan kata-kata sehingga semuanya terekam. Apa sudah jelas?”
“Ya.”
Wanita itu menekan tombol merah pada alat perekam hingga lampu hijaunya berkedip dan mesin mulai bekerja untuk merekam semua isi percakapan mereka.
“Sebutkan namamu!”
“Evan.”
“Apa hubunganmu dengan Richie Nelson?”
“Aku temannya.”
“Kau orang yang menghubungi kantor polisi melalui mesin telepon umum?”
“Ya.”
“Pada pukul dua dini hari kau memberi laporan bahwa seseorang memukuli temanmu dan melukainya menggunakan pecahan keramik, kemudian panggilan terputus begitu saja. Seorang warga setempat kemudian menemukan jasad Richie pagi pada pukul enam di belakang pabrik roti, tapi kau tidak ada disana. Apa kau bisa menjelaskan detail kejadiannya lebih jelas?”
“Ya. Kami pergi ke bar malam kemarin..” Evan menelan liurnya ketika ingatannya harus mengulang kejadian itu. Fakta bahwa Richie tewas dalam perkelahian yang terjadi semalam, membuatnya gentar. Kedua matanya terasa menyengat dan kesedihan itu menyergapnya begitu erat sehingga ia memberi jeda sejenak agar suaranya tidak terdengar bergetar.
“.. kami mabuk,” lanjut Evan. “Aku duduk disana bersamanya ketika dia bertaruh dalam permainan poker..”
“Apa yang terjadi sebelum itu? Apa kalian mengonsumsi n*****a?”
“Tidak, tidak.. itu hanya.. pil.”
“Pil jenis apa?”
“Aku tidak tahu.. dia memberikannya padaku.”
“Apa kau menelan pil itu?”
“Ya,” Wajahnya menunduk, kali ini ia menatap jari-jarinya yang kaku.
“Berapa banyak? Berapa banyak yang kau telan?”
“Satu.”
“Apa dia menelannya juga?”
“Sebelum malam itu? Ya.”
“Bagaimana denganmu? Apa kau menelannya juga sebelum malam kemarin?”
“Tidak.”
“Apa yang terjadi setelah itu?”
“Aku merasa mabuk.. aku tidak bisa melihat dengan jelas, jadi aku bersadar di kursi, tapi aku masih bisa mendengar suaranya, kemudian suara keributan. Aku mendengar seseorang berteriak, tapi aku tidak dapat memastikan siapa orang itu. Seseorang menarikku – itu Richie, dia membawaku keluar dari tempat itu. Aku ingat kami berlari di jalanan sempit, dia membawaku ke g**g itu.. kemudian kami kehilangan arah, itu jalan buntu. Richie berusaha keluar dari sana, tapi seseorang telah mengejar kami. Pria ini.. dia memukui Richie. Aku berusaha menghentikannya, kemudian dia memukulku juga. Aku terlalu mabuk, aku tidak dapat berpikir dengan sehat, aku kesulitan menggerakan tubuhku, dan ketika pria ini pergi aku melihat Richie terbaring di jalanan dengan luka di kepalanya. Aku berusaha menghubungi polisi melalui telepon umum, tapi kepalaku terasa sakit. Kupikir aku dapat kembali ke motel kami untuk menghubungi yang lain..”
“Yang lain?” potong wanita itu dengan cepat.
“Ya, Antoni dan Luke, tapi mereka tidak ada disana. Aku terlalu lelah, seluruh tubuhku sakit, jadi aku bebaring. Kupikir aku dapat melakukan sesuatu – setidaknya aku berpikir telah melakukan sesuatu untuk memanggil bantuan, tapi aku tertidur. Aku tidak bisa mengingat apa-apa lagi.”
“Bagaimana dengan Luke dan Antoni? Dimana mereka?”
“Aku tidak tahu, mereka tidak ada di motel pagi ini.”
“Berapa lama kalian menempati motel itu?”
“Satu pekan? Mungkin lebih – aku tidak yakin.”
“Aku baru saja mendapat laporan dari keamanan setempat bahwa orangtuamu telah melaporkan mereka kehilangan anaknya. Kau kabur dari rumahmu dan menginap di motel itu bersama Richie, Luke, dan Antoni?”
“Ya.”
“Untuk apa?”
Evan menggeleng, tatapannya tampak kosong. Ia pikir ia akan menemukan sebuah kata untuk menjelaskan situasinya, namun ia justru menyerah pada kalimat, “aku tidak tahu..”
“Kau pergi meninggalkan keluargamu untuk sebuah ‘aku tidak tahu’?” wanita itu menghela nafas kemudian menyandarkan tubuhnya di atas kursi. Matanya menatap lurus ke arah Evan dan dengan kedua tangan terlipat ia kembali bertanya, “jadi apa lagi yang kau tahu? Apa kau mengingat wajah pria yang memukuli Richie?”
“Dia memiliki tato di dahinya, ada luka di bawah matanya, dan.. rambutnya berwarna merah, kulitnya pucat.”
Wanita itu sibuk membolak balik kertas catatan di dalam map sebelum menarik sebuah foto dari dalam sana dan mendorongnya ke arah Evan. Foto itu memperlihatkan gambar wajah pria yang dimaksudkannya hingga Evan merasa gentar saat menatapnya.
“Ini yang kau maksud?”
“Ya.”
Setelah menekan tombol off pada alat perekam, wanita itu mendorong kursinya ke belakang dan mengatakan, “baiklah, aku sudah selesai. Kau boleh pergi meninggalkan tempat ini karena orangtuamu sudah menunggu di luar.”
“Tunggu! Apa?”
“Orangtuamu sudah menunggu di luar. Dalam situasi ini, kusarankan agar kau tidak bertindak bodoh.”
Evan hendak membuka mulut untuk menyanggahnya, namun sang petugas telah bangkit berdiri dari kursinya dan berjalan menuju pintu. Setelah membukakan pintu dengan lebar untuknya, Evan bergerak keluar. Disatu sisi ia merasa gentar, disisi lain ia berharap semua itu segera berakhir. Namun Evan sudah menduga bahwa segalanya tidak akan berakhir dengan mudah terutama ketika ia harus menghadapi wajah kedua orangtuanya di depan. Mereka menariknya menjauhi kantor polisi, berhenti persis di sebuah lahan kosong di dekat sana sehingga mereka dapat berbicara dengannya.
Evan tidak benar-benar penasaran tentang apa yang dikatakan mereka – ia sudah dapat menebaknya. Kekecewaan adalah hal pertama yang dilihatnya terlukis dalam raut wajah mereka. Ayahnya, seperti biasa akan selalu menjadi orang pertama yang menghakimi Evan atas kebodohannya. Sementara ibunya bersandar di bumper mobil mereka dengan wajah memerah dan kedua mata yang basah akibat tidak dapat menahan tangisnya.
Kekacauan yang terjadi hari itu tidak akan berakhir disana. Evan punya firasat hal buruk akan terjadi. Ayahnya tidak akan bersedia mendengar alasan apapun yang diberikannya, alih-alih berusaha meredakan keributan, Evan merasakan emosinya terpancing begitu kuat sehingga berteriak rasanya menjadi sesuatu yang memuaskan. Meskipun tahu bahwa ia tidak memiliki pilihan untuk menghindari situasi itu, Evan menolak untuk duduk diam alih-alih terus membela dirinya saat ayahnya mulai hilang kendali dan berteriak kencang di depan wajahnya.
Ibunya mungkin menjadi satu-satunya orang yang dapat berpikir waras dalam situasi itu karena wanita itu segera menengahi mereka. Namun bukannya mereda, situasinya justru memburuk saat tiba-tiba serangan jantung yang dialami ayahnya membuat pria itu terhuyung ke belakang. Wajahnya seketika memucat dan sebelum laki-laki itu ambruk di atas tanah karena tidak sanggup menopang tubuhnya, ibunya berlari untuk menahannya. Wanita itu berteriak agar Evan membantunya. Mereka berkerja sama untuk membawa ayahnya masuk ke dalam truk kemudian ibunya meminta agar Evan mengendarai mobil itu menuju rumah sakit.
“Tidak!” sanggah ayahnya dengan cepat. Dengan nafas tersengal ia bersikeras mengatakan, “kita kembali ke rumah!”
“Kau harus pergi ke rumah sakit!”
“Kubilang, rumah! Aku hanya ingin kembali ke rumah!”
Jadi Evan mengendarai truk itu menyusuri jalanan kota menuju ke kawasan terbuka di kaki bukit. Ia mengendara hingga langitnya berubah gelap. Kabut tebal menutupi jalanan di depannya. Angin mengamuk kencang di luar sana, badai besar mungkin akan tiba. Sementara itu, jalanan di kaki bukit terasa licin setelah turun hujan, kawasan hutan ditutup karena cuaca yang ekstrem sehingga jalanan terbuka lebar di hadapannya.
Evan mengendarai truk itu dengan cepat, sesekali menatap orangtuanya yang duduk di kursi penumpang melalui kaca spion dalam mobil, berharap bahwa ia tidak harus menghadapi situasi itu. Namun seperti yang ia duga bahwa semua tidak berakhir begitu saja, segera setelah truknya masuk ke kawasan perbukitan yang hanya berjarak beberapa mil dari rumahnya, ia mendengar ayahnya mengatakan,
“kau menyakitiku, Evan! Kau menyakiti kami..”
Evan berharap ia tidak harus mendengar kalimat itu – atau menyaksikan kekecewaan sekali lagi terlukis dalam wajah pucat laki-laki yang membesarkannya selama belasan tahun. Namun setiap kalimat yang keluar dari mulutnya terasa seperti s*****a yang menyakitinya bertubi-tubi, disatu sisi membuatnya merasa pilu, disisi lain memancing amarahnya. Naluri alaminya berpikir secara spontan untuk menyanggah. Nyatanya emosi lebih mendominasi pikirannya ketimbang akal sehat sehingga sulit bagi Evan untuk mengabaikannya begitu saja.
“Kau pikir aku ingin berada dalam situasi ini?!” ucap Evan dengan suara keras.
“Tapi kau melakukannya.. kau meninggalkan rumah dan memutuskan untuk bergaul dengan para remaja itu. Kau menyerah pada dirimu karena kau tidak bisa menerimanya. Itu yang kau lakukan. Kau menghukum kami atas kesalahan yang tidak kami perbuat – padahal kau tidak harus!”
“Aku tidak memintamu untuk datang!” teriak Evan dari kursinya. Perhatiannya tidak lagi terpusat pada jalanan di hadapannya alih-alih pada pria yang duduk di kursi seberang dan menatapnya dengan marah.
“Kau putraku! Apa yang kulakukan adalah mencoba menyelamatkan hidupmu, dan seperti ini caramu berterima kasih?”
“Kumohon.. berhenti!” dari kursinya, Evan mendengar ibunya berusaha menghentikan perdebatan yang terjadi disana. Alih-alih mengacuhkan wanita itu, Evan menatap ayahnya dengan nanar, kemudian mengatakan,
“Aku tidak memintamu untuk melakukannya. Aku pergi karena keputusanku, kau tidak harus datang untuk menjemputku, aku bisa mengurus diriku sendiri, kau tidak harus memedulikannya karena aku tidak akan berada disana untuk merepotkanmu!”
“Evan!” Evan mendengar ibunya berteriak. Namun teriakan itu teredam oleh perdebatan sengit yang terjadi di dalam mobil.
Kejadian berikutnya terjadi begitu cepat, Evan tersentak saat melihat seekor anjing liar melintas di depan jalan. Seketika ia memutar kemudi dan jalanan yang licin mengakibatkan truknya tergelincir keluar dari jalanan hingga menabrak pembatas jalan. Kejadiannya hanya beberapa detik setelah Evan hilang kendali dan truknya terperosok jatuh di atas tanah yang melandai ke arah sungai. Ia melihat sebuah kilatan cepat persis ketika truk-nya terjun jatuh mendekati sebuah pohon besar. Evan mendengar ibunya meneriakkan sebuah kata, “pohon!” sebelum bumper mobilnya membentur batang pohon dengan keras hingga menyebabkan kerusakan parah pada kaca depan dan sampingnya, namun tanah yang melandai membuat truk itu berguling jatuh dan berhenti persis di dekat sungai.
Darah menetes keluar dari luka di wajahnya. Evan merasakan sengatan rasa sakit akibat pecahan keramik yang menusuk kulitnya. Di balik kaca jendela yang hancur, ia menyaksikan asap tebal menguap keluar dari mesin truk itu. Lampu sennya menyorot persis ke permukaan sungai. Dalam rasa sakit yang membuat sekujur tubuhnya mati rasa, Evan menatap kosong ke arah sungai, kemudian mengangkat wajahnya untuk menatap sebuah cahaya di atas langit gelap yang berkedip. Dalam keheningan dan rasa sakit yang berpadu menjadi satu, seisi pikirannya menguap. Pandangannya mulai kabur dan hal terakhir yang dilihatnya adalah titik-titik cahaya kecil yang menari-nari di depan wajahnya sebelum cahaya itu benar-benar menghilang dan menyisakan kegelapan yang pekat.