Bab 3

1823 Words
Evan mendapati paginya lebih buruk dari yang ia duga, terutama karena memar di wajahnya kian membiru dan orangtuanya menyadari hal itu. Akibatnya, ia mendapat ocehan di sepanjang hari dan sejumlah pertanyaan yang ia harap tidak harus dijawabnya. Saudarinya, Edith, duduk di seberang meja dan memandanginya dengan simpati. Ayahnya memilih untuk menghabiskan sarapannya dengan cepat, meskipun begitu Evan mendapat teguran persis setelah ia akhirnya berhasil membebaskan diri dari meja makan dan beranjak masuk ke dalam kamar. Karena itu adalah akhir pekan, Evan tidak terburu-buru. Ia berniat untuk menghabiskan waktunya di dalam kamar, melakukan sesuatu yang disenanginya atau duduk untuk menyusun makalahnya, setidaknya sampai seseorang mengetuk pintu dan masuk untuk menemuinya. Orang yang muncul di balik pintu adalah ayahnya. Pria itu mendorong pintu hingga tertutup sebelum berjalan ke tengah ruangan dan memandang ke sekitarnya, menyaksikan kekacauan di dalam sana. “Kau terlalu sibuk untuk membersihkan semua ini, bukan?” Evan melipat kedua tangannya di depan d**a, punggungnya bersandar di birai jendela sedangkan matanya memandang lurus ke luar sana. Selama sejenak keheningan mengisi ruang kosong di dalam sana. Meskipun kamarnya tidak cukup luas untuk menampung semua barang-barangnya, Evan masih mendapat cukup udara segar disana karena jendelanya yang selalu dibiarkan terbuka. Tidak seperti Edith, Evan tidak begitu pandai mengurus kamar itu dan menata barang-barangnya dengan rapi. Kamarnya akan selalu terlihat sesak dan padat, terutama karena ia telah menempelkan belasan kertas berisi catatan di atas dindingnya, membiarkan sejumlah buku bertebaran di atas meja belajarnya, dan mengisi lemarinya dengan kotak musik kesukaannya. Namun ayahnya tidak berniat datang untuk mengomentari semua kekacauan yang terjadi disana, alih-alih duduk di tepi ranjang dan memandanginya saat berkata, “kau tidak datang semalam.” Evan mengetahui dengan pasti bahwa laki-laki itu bermaksud mempertanyakan ketidakhadirannya di lumbung. Pada akhirnya ia akan menghadapi momen itu: menghadapi kedua orangtuanya dan memberi penjelasan sempurna, hanya saja Evan tidak menemukan penjelasan yang tidak akan begitu mengecewakan mereka sehingga ia memutuskan bahwa diam adalah pilihan terbaik. Ayahnya menghela nafas dan bangkit berdiri. “Well, jika kau tidak mau berbicara denganku, aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan untuk menolongmu, jadi..” Evan tidak berbalik untuk sekadar menatapnya hingga pria itu berjalan mendekati pintu. Tangannya telah memutar kenop pintu, ia bersiap untuk pergi kemudian menatap Evan dari atas bahunya dan berkata, “ini akhir pekan, ayo keluar dari sini dan pergi ke gereja!” - Selama belasan tahun dalam hidupnya, menghadiri misa dan memanjatkan doa bersama para jemaat gereja adalah pertanyaan terbesar dalam hidupnya. Evan dapat menyaksikan sejumlah orang berbondong-bondong untuk dapat hadir disana dan memanjatkan doa. Ia mengamati bagaimana puluhan orang yang mengisi kursi-kursi panjang itu mengatupkan kedua tangan mereka sembari memejamkan mata dan mulai memanjatkan doa. Hingga detik itu ia masih bertanya-tanya tentang kekuatan yang lebih besar yang mengatur seisi alam dan menentukan segala hal yang terjadi di dunia. Jelas bahwa Evan tidak menghadiri misa untuk berdoa melainkan karena orangtuanya memintanya untuk hadir disana dan Evan tidak berniat mengecewakan mereka. Namun segala aspek yang hadir disana muncul seperti kombinasi aneh antara perasaan lega dan kenyamanan yang menenangkan. Evan bisa saja duduk berjam-jam untuk mendengarkan khotbah kemudian mempertanyakan hal itu ketika melangkah keluar dari sana. Hal yang menarik tentang semua itu adalah bagaimana keyakinan akan sebuah kekuatan yang lebih besar dapat muncul dalam diri seseorang. Bagaimana seseorang dapat menyakini semua itu tanpa mempertanyakannya? Kedua orangtuanya adalah penganut katholik yang religius. Mereka menyisihkan tabungannya setiap minggu untuk disumbangkan ke gereja. Tidak hanya sekali mereka mengambil peran besar untuk berpartisipasi dalam kegiatan amal. Bagi Evan, mereka melakukan itu untuk sesuatu yang tidak dapat diukur dengan nilai, sesuatu yang mungkin tidak ada dalam dunianya, namun bagi orangtuanya, mereka melakukan itu untuk sebuah kekuatan yang disebut sebagai iman. Iman yang mengatur segalanya dalam hidup - Evan lebih suka menyebutkan keyakinan. Seorang pendeta yang berdiri di atas mimbar tampaknya memiliki pendapat yang sama. Selama dua atau tiga puluh menit ia memberi khotbah tentang bagaimana keyakinan mampu membimbing seseorang menuju sebuah tempat yang lebih baik - tempat yang bahkan tidak diketahui eksistensinya, dan Evan hanya mengamati itu hingga seluruh jemaat yang hadir mulai berdiri untuk memanjatkan doa. Kumpulan suara yang berdengung di bawah atap gereja bergabung menjadi irama lembut yang menyusup masuk ke telinganya, sejenak membuatnya terpaku, berdengung di kepalanya kemudian menjelma sebagai pertanyaan-pertanyaan aneh yang tidak terjawab. Evan menyaksikan setiap orang yang hadir disana memejamkan mata dengan khidmat, setidaknya hingga doa itu berakhir dan orang-orang mulai berbubaran meninggalkan gereja. Persis seperti dugaannya, Hannah hadir disana bersama kedua orangtuanya. Wajah mereka tampak tidak asing. Mereka menempati sebuah bangku panjang di barisan pertama. Pandangannya terhalang oleh belasan jemaat yang ikut berdiri di barisan terdepan, baru ketika orang-orang mulai meninggalkan tempat mereka, Evan dapat melihatnya lebih jelas. Wanita itu mengenakan jaket sutra berwarna biru, rambut gelapnya tergerai memanjang di belakang bahu, sebuah pita kecil berwarna merah menggantung di atasnya. Hannah masih mengenakan pakaian formal. Sepatunya disikat bersih, sebuah rok berwarna gelap sepanjang lutut tampak pas dikakinya. Sementara orangtuanya sibuk bercengkrama dengan jemaat gereja, Evan menyingkir dari sana dan duduk menempati bangku panjang, persis di bawah pohon oak besar yang berdiri kokoh di seberang gereja. Dahannya yang besar dan kokoh menggantung di atasnya, dedaunannya yang rindang menyerap cahaya matahari dan menghalanginya jatuh ke permukaan tanah yang tandus di bawah kakinya. Evan sedang asyik memandangi belasan jemaat yang berkeliaran di depan pintu gereja, beberapa di antara mereka terburu-buru ketika meninggalkan tempat itu, beberapa yang lain sibuk bercengkrama. Hannah berdiri di dekat tangga besi yang mengarah ke lantai dua, pada detik berikutnya Evan mendapati wanita itu berjalan mendekatinya. Senyum tipis muncul di wajahnya kemudian menjadi semakin jelas begitu wanita itu sampai di hadapannya. Namun Evan sudah dapat menebak, persis ketika senyum itu menghilang dari wajah, tentang apa yang mungkin sedang dipikirkannya. Hannah tidak repot-repot bertanya untuk duduk dan menempati bagian kosong di sampingnya. Kedua matanya terpaku pada bekas luka di wajah Evan. “Aku tahu apa yang kau pikirkan,” ucap Evan sebelum Hannah membuka mulut untuk mengungkapkan pertanyaannya. Satu jari Evan terangkat untuk menunjuk lukanya. “Ini..” katanya tanpa ragu-ragu. “Adalah fenomena yang jarang terjadi, seperti peristiwa kejatuhan komet halley.” Evan mencoba bergurau tentang memar di wajahnya. Ia menyaksikan senyum lebar muncul di wajah Hannah, namun hanya sekilas - rasa penasarannya unggul. “Apa kau bertengkar?” “Semacam itu.” “Aku tidak tahu kau akan bertengkar?” “Itu bukan sesuatu yang kurencanakan.” Rahang Hannah tertarik ketika wanita itu tersenyum lebar, kedua matanya berkilat. “Aku tahu.” Keheningan sejenak menggantung di sekitar mereka dan dalam kesunyian itu suara percakapan di sekitarnya terdengar semakin jelas. Suara lain yang muncul adalah kicauan burung gereja, gemuruh mesin kendaraan yang sesekali bergerak melewati kawasan itu atau suara gemerisik rumput yang saling bergesekan ketika tertiup angin. Semua itu tampak familier. Evan mendapati dirinya merasa akrab dengan apa yang terjadi disana. Tidak seperti dulu, ia tidak akan bertanya-tanya lagi tentang kebiasaan para jemaat untuk berkeliaran dan mengobrol selepas misa usai. Wajah-wajah yang tak asing muncul di depan gerbang, sesekali mereka menegurnya dan Evan melambai atau menganggukkan kepala untuk menyapa. Beberapa di antara mereka adalah tetangganya yang cukup akrab, sisanya adalah para para pelanggan yang terbiasa memesan surat kabar dari kios tempatnya bekerja. Pada hari rabu dan kamis, Evan akan menyisihkan waktu satu atau dua jam untuk mengantar semua pesanan surat kabar ke setiap pemilik rumah yang menempati blok D. Ia menemui banyak orang, berbicara dengan mereka selagi ia mengantar belasan surat kabar ke depan pintu mereka dan semua itu telah berlangsung selama enam bulan lamanya. Kios tempatnya bekerja akan memberinya upah setiap akhir pekan untuk pekerjaan itu dan biasanya Evan menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung. Selain membantunya meringankan biaya untuk membayar studinya, perkerjaan itu sekaligus membuatnya bertemu banyak orang, mengenal dan berinteraksi dengan mereka. Kini, wajah-wajah itu tidak lagi asing untuknya, mereka hanya akan mengenali Evan sebagai remaja berusia sembilan belas tahun yang bekerja paruh waktu untuk mengantar surat kabar sampai di depan pintu mereka. Orang-orang itu juga mengenal ayahnya sebagai seorang peternak yang bekerja selama puluhan tahun di lumbung untuk menghidupi keluarganya. Hannah sama sekali tidak terganggu dengan semua itu, alih-alih merasa tertarik pada kehidupan yang dijalaninya. Meskipun wanita itu dapat mewujudkan apapun yang diinginkannya dengan uang dan status sosial yang dimiliki kedua orangtuanya, Evan nyaris tidak pernah melihat Hannah memanfaatkan keuntungan itu sedikitpun. Wanita itu mungkin bersedia menghadapi badai meskipun ia punya pilihan untuk menghindarinya dan Hannah yang dikenalinya akan selalu terlihat berjalan di antara sekat-sekat rak tinggi di perpustakaan, berdiri di lorong-lorongnya yang sempit dengan sebuah buku tebal dalam genggamannya, atau berjalan sendirian di tengah-tengah keramaian. Hannah tersenyum selagi Evan memikirkannya. Begitu teringat akan utangnya, Evan merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan sejumlah uang koin dari dalam sana kemudian menjulurkannya pada wanita itu sembari berkata, “ini dia. Aku berutang padamu.” Hannah memandangi koin di tangannya kemudian tersenyum saat berkata, “sebenarnya kau tidak perlu membayarnya. Aku memberikan koin itu padamu.” Sembari mengangguk-anggukan kepalanya, Evan bertanya, “apa itu sama artinya dengan pemberian Tuhan seperti apa yang disampaikan pada khotbah tadi?” Hannah menggindikkan kedua bahunya dan berkata, “semacam itu.” “Aku tidak percaya sesuatu datang begitu saja,” aku Evan. “Jika kau ingin mendapatkan sesuatu, kau harus berusaha untuk itu.” “Tapi terkadang seseorang hanya ingin menolongmu tanpa mengaharapkan sesuatu.” “Kenapa orang itu ingin menolong orang lain? Apa itu karena simpati?” “.. atau dia hanya mendapat bisikan dalam dirinya yang memintanya untuk melakukan hal itu. Kebaikan tidak membutuhkan usaha atau alasan, mereka hanya datang begitu saja.. karena hal itu sudah ada dalam diri kita.” Kalimat terakhir itu berhasil membuahkan seringai lebar di wajah Evan. “Aku tidak percaya kau akan berpikir begitu,” ucapnya. “Hanya sebuah pemikiran.” Evan mengangguk menyetujui, kemudian keheningan kembali menguasai suasana hingga Hannah memutar tubuh menghadapnya saat mengatakan, “kudengar kau ikut kompetisi itu?” “Ya.” “Tema apa yang akan kau bawakan?” “Sebenarnya aku baru memikirkan idenya saja. Aku belum benar-benar menuliskannya.” “Aku tahu kau tertarik pada astronomi. Ayahku punya teleskop besar di ruangannya, mungkin kau ingin melihatnya? Aku pernah mencobanya sekali. Itu sangat bagus, itu seperti memetakan seisi galaksi dalam satu lensa kecil.” “Apa dia tidak keberatan?” “Mungkin dia akan keberatan karena dia tidak pernah mengizinkanku masuk ke ruangannya lagi, tapi.. tidak jika dia tidak mengetahuinya.” “Maksudmu kita masuk diam-diam dan mengacaukan ruangannya?” “Kita tidak mengacaukannya, kita hanya meminjam teleskopnya sebentar. Dia akan melakukan perjalanan dinas sore ini dan kembali besok, jika kau mau..” Evan tidak menunggu Hannah menyelesaikan kalimatnya saat berkata, “aku mau. Apa rencanamu?” “Malam ini – aku tidak tahu apa sebutan untuk tempat ini, tapi ada pohon oak besar dan rumah kayu kecil, disana ada jembatan dan letaknya di dekat terowongan..” “Aku tahu tempat itu,” potong Evan dengan cepat. “Bagus! Aku akan membawa senter dan ketika kau melihat cahaya yang berkedip tiga kali, maka itu aku.” “Mengerti.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD