Bab 1

3179 Words
Dua puluh tahun sebelumnya.. - Evan tersentak bangun ketika mendengar suara bel yang berbunyi keras. Jarum jam dinding telah menunjukkan pukul empat sore. Kemudian Evan menyapukan pandangannya ke sekitar, melewati rak-rak tinggi yang terisi penuh oleh buku-buku bersampul tebal, beralih pada jendela kusam yang tertutup rapat dan berhenti di meja persegi tempat dimana seorang petugas yang berjaga duduk di belakangnya sembari berkutat dengan tumpukan kertas. Don Franklin menatap Evan dari balik kaca mata tebalnya. Kedua matanya menyipit dan dahinya membentuk segaris kerutan yang dalam. Beberapa murid yang mengunjungi tempat itu baru saja pergi, meninggalkan Evan bersama Don di dalam ruangan besar dengan penerangan minim yang telah digunakan sebagai perpustakaan selama puluhan tahun lamanya. Keheningan selalu menyelimuti tempat itu. Karena tidak ada lampu yang meneranginya, ruangan itu hanya mengandalkan cahaya matahari yang menyusup masuk melewati kaca-kaca jendelanya, sehingga ketika matahari bergulung di atas awan, kegelapan akan menyelimuti setiap sudut tempat di dalam sana. Karpet birunya mulai kusam, debu menyelimuti sudut-sudut rak tinggi yang tidak terjangkau. Terkadang seorang petugas kebersihan akan datang untuk menyingkirkan debu dari sekat-sekat lorong, namun bagian dalam rak-nya nyaris tidak tersentuh sehingga debu menyelimuti tempat itu. Don sering menggunakan waktu senggangnya untuk membersihkan tempat itu. Terkadang ketika jam pelajaran berakhir lebih awal, Evan akan datang untuk membantu Don. Evan telah menjadi pengunjung tetap selama dua tahun terakhir. Ia menghabiskan waktunya disana untuk sekadar duduk dan menyelesaikan beberapa tugas, membaca buku, atau melewati pembicaraan ringan bersama Don. Belasan meja pesegi disusun berderet di ruangan itu. Deretan buku dipetakan dengan baik di dalam raknya. Setiap barang diletakkan di tempat yang sama selama dua tahun terakhir, semua tampak familier, bahkan hingga kedetail kecilnya seperti tumpukan barang tidak terpakai, kardus besar berisi buku-buku yang rusak, sejumlah alat peraga, teleskop kecil, rak arsip di sudut - tempat dimana Don meletakkan semua catatan inventaris barang, dan juga sebuah lukisan tua yang dipajang di samping rak arsip. Evan telah menyusuri setiap sudut lorong di dalam ruangan itu, mengingat deretan buku yang diletakkan di dalam rak-raknya. Seorang murid lain seusianya yang sering mengunjungi tempat itu bernama Hannah. Wanita itu sering terlihat duduk menempati bangku kosong di dekat jendela, terkadang ia berdiri di depan deretan buku sejarah yang terletak di sudut lorong paling pojok. Setelah melewati percakapan pertama mereka pada musim gugur tahun lalu, Evan segera mengetahui bahwa wanita itu meletakkan ketertarikan besar pada ilmu sejarah, mereka dapat duduk berjam-jam disana untuk membahasnya. Hari ini Hannah tidak terlihat berkeliaran di sekitar sana. Seisi ruangan benar-benar kosong, terutama karena matahari telah bergerak pergi dan kegelapan mulai menyelimuti lorong-lorongnya. Dari balik pintu, ia menyaksikan sejumlah murid mulai berbubaran meninggalkan kelas, mereka bergerak menuju gerbang utama di ujung lorong untuk meninggalkan kampus itu. “Kau tidak pulang?” tegur Don ketika laki-laki itu mendekatinya. Don menempati kursi kosong di sampingnya, duduk sembari menyandarkan punggung dan melipat kedua tangannya. Dari dekat Evan mengamati rambut ikal perak Don. Garis-garis kerutan tipis di bawah matanya menegaskan usia Don yang tidak lagi muda. Laki-laki itu sering menceritakan Evan tentang pengalamannya selama belasan tahun bekerja disana. Ada banyak hal yang ditemukan Don di dalam perpustakaan tua itu yang kemudian diakuinya sebagai ‘keajaiban’. Meskipun Evan tidak sepenuhnya memercayai kisah itu, seringnya ia menikmati percakapan yang dilewatinya bersama Don. Don berusia tiga puluh lima tahun ketika kali pertama ditugaskan disana. Laki-laki itu memiliki latar belakang yang buruk dengan tercatat sebagai salah seorang narapidana dalam kasus k*******n rumah tangga. Setelah lima tahun menghabiskan waktunya di balik jeruji, Don akhirnya dibebaskan secara bersyarat, dua bulan berikutnya laki-laki itu mengajukan diri untuk bekerja di universitas sebagai petugas kebersihan. Baru dua tahun setelah Don bekerja disana, ia dipindahtugaskan untuk menjaga perpustakaan. Kini setelah hampir dua puluh lima tahun berada di dalam perpustakaan tua yang jarang dikunjungi oleh kebanyakan orang, Don mengakui ada banyak perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Don suka bercerita dan Evan senang ketika mendengar laki-laki itu berbicara. Seringnya Don mengatakan percakapan ringan tentang bagaimana ia menjalani kesehariannya selama puluhan tahun dan mulai terbiasa dengan hal itu, namun tidak hanya sekali laki-laki itu menceritakan pengalamannya selama berada di penjara. “Aku bukan pria itu lagi,” katanya suatu hari ketika mereka duduk menempati kursi kosong sembari menatap keluar jendela, menyaksikan para mahasiswa berbubaran meninggalkan tempat itu. Seorang petugas baru saja membuka gerbang utama, alarm berdering keras dan keributan menggantung di sekitar lorong begitu seluruh mahasiswa berkeliaran disana. “Terkadang aku berpikir bahwa aku hanya membohongi diriku, hingga saat ini aku masih merasa bersalah tentang apa yang kulakukan. Terkadang aku berharap dapat memutar waktu sehingga aku bisa mencegah diriku sendiri, tapi.. jika begitu aku tidak akan berada disini, duduk dan berbicara denganmu, melibatkan diri dengan semua hal ini..” “Apa kau menyukai pekerjaanmu?” tanya Evan suatu saat. Laki-laki itu menanggapinya dengan tersenyum. Don menunduk menatap jari-jarinya seolah itu hal yang menarik, namun tatapannya kosong, pikirannya telah melayang ke tempat yang jauh dan satu-satunya jawaban ringan yang keluar dari mulutnya adalah: “Tentu saja.” Kini sepasang mata gelap Don mengamati Evan dari ujung sepatu hingga wajahnya. Setelah beringsut di atas kursinya, Don menegurnya dan berkata, “bagaimana artikelmu? Apa mereka membelinya?” Evan melipat buku bersampul coklat dalam genggamannya, meletakkannya di dalam tas bersama tumpukan buku catatan lainnya. Sementara itu, Don duduk disana, masih menunggu jawaban atas pertanyaannya tentang artikel yang dikirim Evan pada kantor surat kabar. Dua minggu yang lalu, Evan berharap bahwa perusahaan surat kabar itu akan membayar artikelnya yang membahas tentang sains dan ilmu pengetahuan, sehingga Evan dapat menggunakan penghasilan itu untuk membiayai kuliahnya. Namun baru dua hari yang lalu, Evan menghubungi perusahaan surat kabar itu untuk menanyakan artikelnya yang mana hal itu hanya menimbulkan kekecewaan besar karena mereka tidak menganggapi artikelnya dengan serius. “Semuanya baik,” sahut Evan akhirnya. Don mengernyitkan dahinya saat bertanya, “Apa maksudmu semuanya baik?” Setelah beberapa detik berusaha memikirkan jawaban yang tepat untuk menanggapi pertanyaan itu, Evan mengatakan, “Itu berarti.. aku harus mencobanya lain waktu.” Kedua bahu Don merosot. Evan telah bersiap bangkit dari kursinya. Ia mengayunkan tas hitamnya ke belakang bahu, merapikan seragamnya selagi Don berbicara. “Hei, itu tidak masalah. Kau akan mencobanya lagi. Apa yang dapat dilakukan orang-orang bodoh itu hanya tertawa, mereka tidak pandai dengan sains.” “Tidak apa-apa Don.. orang-orang tidak begitu tertarik pada sains, itu faktanya.” “Jangan berkecil hati, artikelmu sangat menarik, aku membacanya belasan kali.” Sembari menyeringai, Evan bangkit berdiri dari kursinya. Kini tatapannya tertuju pada Don. Ia mengamati bagaimana cara laki-laki itu menghiburnya. “Benarkah?” “Ya.” “Well, terima kasih banyak Don. Kuhargai itu.” “Kau akan mencobanya lagi, bukan? Jangan menyerah dengan itu!” Evan tidak menanggapinya, alih-alih berjalan menuju pintu keluar. Sebelum ia meninggalkan ruangan, ia mendengar Don menyerukan sesuatu di belakangnya, “apa kau akan datang lagi besok? Aku butuh bantuanmu untuk mengurutkan daftar panjang beberapa buku yang baru masuk.” “Kita lihat saja..” Keramaian dapat terlihat di sepanjang lorong. Evan bergabung di tengah kerumunan mahasiswa yang juga berkeliaran disana. Beberapa di antara mereka berdiri di depan rak penyimpanan barang untuk meletakkan buku atau tas sebelum meninggalkan tempat itu, beberapa yang lainnya sedang menikmati percakapan ringan dengan satu sama lain di sudut-sudut lorong. Sementara itu, tiga mahasiswa sedang berbaris mengantre giliran untuk menggunakan mesin telepon. Evan baru saja bergabung ke dalam barian antrean ketika ia menyaksikan Hannah berdiri di salah satu mesin telepon itu sembari mendekatkan gagang telepon ke teliganya dan berbicara dengan seseorang di seberang. Wanita berambut coklat gelap yang mengenakan jaket biru dan sepatu hitam itu kemudian menatapnya, wajahnya memerah selagi mengamati Evan. Evan baru saja memasukkan tiga koinnya ke dalam mesin telepon dan berbicara dengan seorang pria yang menjawab panggilannya, kemudian ia menyadari bahwa itu adalah koin terakhir yang dimilikinya. Namun sambungan telepon itu terputus bahkan sebelum ia menyelesaikan percakapannya. Dengan kesal, jari-jarinya menekan tombol untuk dapat terhubung kembali, namun layar pada mesin telepon itu memberitahunya bahwa ia harus memasukkan koin untuk dapat terhubung lagi. “Kau bisa menggunakan koinku.” Seseorang yang muncul di sampingnya adalah Hannah, wanita itu menatapnya sembari menjulurkan beberapa koin dalam genggamannya. “Tidak,” Evan menolak dengan cepat, namun seperti yang diketahuinya Hannah tidak akan menyerah dengan mudah. “Apa kau menghubungi perusahaan surat kabar?” “Ya.” “Maka itu pasti penting, kau bisa menggunakan koinku.” “Baiklah, aku berutang padamu.” “Terserah kau saja.” Hannah membantunya memasukkan koin itu ke dalam mesin, kemudian Evan melihatnya pergi meninggalkan lorong. Tatapannya mengikuti kemana wanita itu pergi. Sesuatu yang menarik tentang wanita itu adalah pengaruhnya. Tidak hanya sekali mereka bertemu di satu kelas yang sama, atau di perpustakaan. Pada hari minggu, Hannah bersama kedua orangtuanya akan mengunjungi gereja. Sama seperti kedua orangtua Evan, mereka adalah penganut katholik yang taat. Hannah mengenal Edith, kakak perempuan Evan, dan berteman baik dengannya. Evan sering melihat mereka mengobrol setelah acara misa usai. Ada banyak hal menarik yang dilihatnya dari Hannah, bukan hanya karena rambut coklat gelapnya yang bagus, atau sepasang mata cekung yang mencerminkan kepribadiannya yang tenang, namun juga keterbukaan wanita itu ketika berbicara dengannya. Obrolan mereka tidak lebih dari sekadar percakapan panjang tentang sains dan sejarah, namun setelah hampir dua tahun mengenalnya, Evan menolak untuk meyanggah ketertarikan khusus yang dirasakannya terhadap Hannah. Sore setelah menyelesaikan panggilan telepon itu, ia mencatat sejumlah daftar yang akan dilakukannya pada akhir pekan, rutinitas untuk bekerja di lumbung dan menghadiri misa bersama kedua orangtuanya telah masuk dalam daftar teratas, kemudian ia menambahkan catatan kecil untuk menemui Hannah dan mengajaknya berbicara dalam kesempatan apapun yang dimilikinya. Pemikiran itu membuatnya bersemangat. Ia melangkah meninggalkan mesin telepon untuk meletakkan beberapa barangnya di lemari penyimpanan. Sebelum meninggalkan tempat itu, sebuah brosur yang dipajang di papan pengumuman menarik perhatiannya. Satu atau dua mahasiswa ikut berdiri di sana untuk membaca program kompetisi itu. Evan membaca tulisan yang tercetak besar di brosur itu dengan hari-hati: WUJUDKAN MIMPIMU UNTUK BERGABUNG BERSAMA KAMI!! Sebuah perusahaan penerbangan yang memsponsori program itu membuka kesempatan bagi dua mahasiswa terbaik yang akan mendapatkan fasilitas gratis untuk mengikuti program sekolah penerbangan dan menjamin siapapun yang terpilih untuk dapat bekerja bersama mereka sebagai pilot penerbangan antariksa. Kompetisi akan dimulai dalam hitungan hari dan siapapun dapat mendaftarkan dirinya untuk kompetisi terbuka itu. Nantinya, akan ada beberapa anak yang terlipilih untuk mendapatkan pelatihan penerbangan khusus, yang terbaik di antara mereka akan mendapatkan tiket untuk masuk ke sekolah penerbangan di Chicago. Evan berdiri lama disana untuk membaca seluruh detail program, kemudian mencatat beberapa poin penting ke dalam buku catatannya hingga tanpa sadar ia telah menghabiskan tiga puluh menit untuk mengulang bacaan itu. Ketika berbalik, seisi lorong telah kosong. Mahasiswa terakhir yang dilihatnya baru saja meninggalkan gerbang utama dan ia harus berlari tergesa-gesa keluar menelwati gerbang sebelum seorang petugas menguncinya disana. Evan mengayuh sepedanya dengan cepat melewati jalanan kosong dan bukit tinggi menuju ladangnya. Tatapannya terarah lurus ke depan. Ia membiarkan angin lembut menyapu wajahnya, menerbangkan sejumlah helai ikal rambutnya yang mulai memanjang. Cahaya matahari telah bergulung, menyisakan siluet jingga di ufuk langit. Deretan pohon berbaris memanjang menuju bukit, dahannya melambai ketika teriup angin. Dengan perasaan meletup-letup, Evan mengayuh sepedanya lebih cepat, bergerak mengikuti arah angin, melewati jembatan panjang dengan anak sungai di bawahnya, kemudian berhenti sejenak di pinggir rel kereta untuk menyaksikan matahari tenggelam. Suara mesin kereta berderu kencang di telinganya. Evan menyaksikan roda kereta itu menggilas rel besi di bawahnya dan bergerak cepat. Puluhan tatapan kosong di dalam gerbong itu menyorot keluar jendela, orang-orang disana ikut menyaksikan ketika cahaya terakhir mentari bergulung di atas langit hingga tidak tersisa. Hanya dalam hitungan detik, kereta berlalu dengan cepat. Kemudian ia menyaksikan seekor elang bergerak bebas melompati pohon-pohon tinggi dan membentangkan sayapnya kemudian terbang mencakar langit. Dengan terburu-buru, Evan kembali mengayuh sepedanya, mengikuti kemana elang itu bergerak sebelum ia kehilangan jejaknya di atas bukit. Dari atas sana ia menyaksikan seisi kota berkumpul dalam satu bingkai padat. Orang-orang berkeliaran mengelilingi gedung-gedung tinggi, tempat-tempat umum, restoran, toko-toko yang menjajankan makanan siap saji atau menjual peralatan, gedung teater tempat dimana puluhan orang rela mengantre demi mendapatkan hiburan, atau puluhan kendaraan yang bergerak cepat melintasi jembatan panjang. Kota tampak padat seperti biasanya, dan sejauh itu ia hanya dapat mengamatinya dari satu wilayah terpencil, di kawasan yang jauh dari kebisingan, persis di atas bukit. Ketika langitnya mulai gelap, pemandangan di bawah sana akan tampak lebih memukau. Lampu-lampu yang dinyalakan di sudut-sudut jalanan kota, atau di sepanjang jejeran toko-tokonya akan terlihat seperti titik keemasan kecil yang berbaris secara tidak beraturan, terkadang titik-titik cahaya itu membentuk sebuah pola dan pola itu dapat berubah setiap menitnya. Evan suka berdiri disana dan mengamatinya. Ia tidak akan melewatkan kesempatan untuk menyaksikan keindahan kota dan mulai membayangkan dirinya berada di sana, persis di tengah keramaian orang yang berjalan dengan tergesa-gesa untuk sampai di tempat tujuan mereka. Orang-orang itu tampak tidak mengacuhkan satu sama lain, mereka tidak saling menatap atau berhenti untuk menyapa siapapun yang ada disana. Deretan bangunan membuka pintu bagi siapapun yang ingin memasukinya. Tidak ada privasi di tengah keramaian seperti itu, dan bagaimana jadinya jika ia benar-benar berada disana, menghadapi situasi yang baru dan bertemu dengan orang-orang baru. Evan membayangkan hal itu di sepanjang perjalanan untuk kembali ke lumbung. Langit sepenuhnya gelap ketika ia sampai disana. Ibu dan kakak perempuannya, Edith, terlihat berkeliaran di teras rumah. Evan tidak berhenti untuk menyapa mereka, alih-alih terburu-buru ketika meninggalkan sepedanya di halaman belakang dan berlari menuju lumbung untuk menemui ayahnya. Laki-laki itu sedang menumpuk jerami ketika Evan datang untuk membantunya mengisi ember kosong dengan air. “Kau terlambat!” katanya. Suaranya serak, dan tubuhnya berkeringat. Peluh membasahi dahi dan wajahnya yang memerah, helai ikal rambutnya yang berwarna perak mengintip dari balik topi coklat tua yang selalu dikenakannya. Tanah dan lumpur menyelimuti bot hitamnya yang besar. Pakaiannya juga kotor oleh bekas tanah dan noda yang menempel di permukaannya. Ayahnya hanya memiliki dua kemeja yang akan dikenakannya untuk bekerja di lumbung: yaitu kemeja hijau yang terbuat dari sutra, dan kemeja dengan lengan panjang berwarna biru cerah yang lebih sering digunakannya. Ibunya yang menjahit semua pakaian mereka. Wanita itu juga membuatkan Evan satu pakaian khusus yang akan digunakannya untuk bekerja di lumbung. Malam itu, Evan tidak mengenakannya. Ia nyaris melupakan kebiasaan untuk menggantung seragamnya dan berganti pakaian sebelum menyelesaikan pekerjaan di lumbung. Dengan bersemangat, Evan menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat sehingga ia dapat menghabiskan lebih banyak waktu untuk memikirkan sebuah pembahasan menarik yang akan dibawakannya sebagai partisipan dalam kompetisi itu. Ayahnya adalah orang pertama yang menyadari antusiasmenya saat berkata, “kau akan mengotori seragammu.” Mengganti pakaiannya adalah hal terakhir yang dapat dipikirkannya saat itu. Satu jam setelah menyelesaikan pekerjaannya di lumbung, mereka akhirnya mendapatkan waktu istirahat untuk duduk di teras dan mengobrol. Momen itu hanya terjadi sesekali, seringnya Evan menghabiskan waktu untuk mengurung diri di dalam kamar, berkutat dengan sejumlah tugas sekolah yang harus diselesaikan, terkadang pergi menyendiri ke sebuah kabin di dekat danau dimana ia mendapatkan kelongaran untuk menyendiri dengan pikirannya atau sekadar duduk bersantai disana. Ia menginginkan semua hal berjalan sesuai rencananya: belajar dengan giat, mendapatkan nilai yang bagus, lulus sebagai sarjana terbaik, pergi ke kota untuk memulai kehidupan barunya disana dan jika cukup beruntung ia akan mewujudkan mimpi kecilnya untuk dapat menerbangkan pesawat. Berada di tengah keluarga dengan penghasilan kecil, menjalani rutinitas hariannya dengan bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu, tampaknya seperti puluhan pintu yang menghalanginya untuk sampai pada tempat yang ia tuju: di ruang angkasa – di antara bintang-bintang, menyaksikan ledakan bintang dalam jarak yang lebih dekat, menemukan planet dengan penompang kehidupan layak, pergi meninggalkan bumi dan menemukan tempatnya di ruang kosong antar bintang. Seperti yang dikatakan orang-orang, mimpi itu tampaknya terlalu besar, terlalu jauh untuk dapat diraih, terlalu mustahil untuk dapat terwujud. Namun sejauh ini, ia menjaga segalanya berjalan sesuai kendali, ia tidak melakukan tindakan ceroboh atau mengacaukan apa yang dijaganya selama bertahun-tahun. Evan bersekolah dengan baik, ia menyelesaikan studi lebih cepat dibanding anak-anak lain seusianya. Ia meletakkan ketertarikan besar pada ilmu fisika dan selama bertahun-tahun ia menekuni bidang itu. Nyaris selama sembilan belas tahun dalam hidupnya, Evan menolak untuk gagal atau mengecewakan orang-orang di sekitarnya. Orangtuanya merasa bangga karena mereka dapat mengandalkannya. Selama bertahun-tahun Evan menjauhkan dirinya dari pengaruh negatif di sekelilingnya, menolak untuk terseret ke dalam pergaulan yang salah seperti teman-temannya. Mengecewakan orang-orang terdekatnya adalah hal terakhir yang ingin ia lakukan dan memenangkan kompetisi ini akan menjadi tiket awal untuk mewujudkan mimpinya. Evan tidak menyimpan antusiasme itu sendirian. Ia memutuskan untuk membaginya malam itu melalui percakapan panjang bersama ayahnya. “Aku akan mengikuti kompetisi itu, bagaimana menurutmu?” Alih-alih menjawab pertanyaan itu, laki-laki paruh baya itu memutar wajah untuk menatapnya dan bertanya, “bagaimana denganmu, apa kau benar-benar menginginkannya?” “Ya, aku sangat menginginkannya.” “Maka tidak akan ada yang bisa menghentikanmu. Aku sepenuhnya berada di pihakmu.” Evan menatap lurus ke depan, menyaksikan cahaya kecil yang berasal dari segerombolan kumbang, melompat-lompat melewati semak-semak di pekarangan rumahnya. Kemudian, dahan pohonnya bergerak ketika tertiup angin, pagar kayunya berderit ketika mengayun terbuka, dan suara dengungan hewan liar yang berkeliaran disana terdengar di antara petak-petak rumput setinggi mata kaki. Sementara itu, langit gelap di atasnya memperlihatkan kilau cahaya kecil bintang di kejauhan, cahayanya berkedip sesekali. Ia mengamatinya dengan serius, satu titik cahaya dapat terlihat lebih bersinar dari yang lainnya. Kini tatapannya telah jatuh pada satu titik kecil di atas langit dengan cahaya yang paling redup, menyendiri di tempat tergelap sekaligus terjauh di antara titik cahaya lainnya yang tersebar di atas sana. “Bagaimana jika aku gagal?” tanya Evan setelah keheningan panjang yang menyelimuti mereka. Laki-laki itu mengangkat kedua bahunya, kemudian mengatakan sesuatu yang menenangkan, “itu bukan masalah besar. Setidaknya, kau sudah mencoba.” Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat hingga Evan mendengar suara kursi yang berderit di atas lantai kayu ketika ayahnya menggeser tubuh lebih dekat ke arahnya dan menatapnya sembari berkata, “kau seperti kakak laki-lakimu. Aku ingat dia pernah menanyakan hal yang sama ‘bagaimana jika aku kalah?’ Dia suka bermain halya seperti anak-anak lain seusianya, dia suka berburu, dan bermain football – dia sangat pandai bermain football. Suatu hari, dia mengikuti kompetisi football bersama anak-anak lain seusianya, dan ketika dia mengetahui ada hadiah besar yang dipertaruhkan dalam pertandingan itu, dia menjadi gelisah dan bertanya-tanya bagaimana jika dia tidak berhasil memenangkan pertandingannya? Tapi aku mengajaknya berbicara – seperti yang kita lakukan saat ini: kau dan aku berbicara disini – dan kukatakan padanya.. ‘kau tidak perlu takut untuk kalah karena bagaimanapun itu tidak akan terjadi.’ Bermain untuk menang, itu maksudku. Dan.. dia hanya bertanding untuk itu, dia bermain untuk menang, dia bersenang-senang, dan kemenangan itu datang dengan sendirinya. Dia membawa piala pertamanya untuk rumah ini.” Sepasang mata coklat itu menatapnya lekat-lekat, pria itu menusukkan satu jarinya di pundak Evan dan mencondongkan tubuhnya saat berkata, “kau tidak perlu khawatir gagal untuk memenangkan pertandingan, apa yang perlu kau lakukan adalah memainkan peranmu dan biarkan alam yang menentukan. Alam mengatur semua yang terjadi di tempat ini, kau hanya perlu meyakininya.” Evan membawa kalimat itu bersamanya sebelum tertidur. Ia dapat tertegun untuk merenunginya selama berjam-jam dan bahkan ketika hari menjadi semakin larut, Evan masih tetap terjaga. Tatapannya bergerak keluar melewati kaca jendela di kamarnya yang terbuka, kemudian jatuh persis ke atas langit – ternggelam dalam kegelapan yang kosong hingga membawanya hanyut dalam tidur nyenyak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD