Ketika aku jatuh tertidur, aku memimpikan sebuah tempat: tempat tanpa penyesalan dan amarah – tempat yang begitu indah. Pohon-pohonnya menggantung rendah sehingga aku dapat memetik buahnya dengan mudah. Air sungai mengalir di bawah kakiku, airnya begitu jernih sehingga aku dapat minum dari sana. Langitnya akan selalu tampak cerah, dan ketika malam tiba, aku bisa melihat ribuan bintang di langit, rasanya seperti seisi galaksi membentang di atas kepalaku. Terkadang kupikir bintang-bintang itu sedang menatapku dan seseorang dikejauhan sana membisikkan sesuatu ke telingaku. Terkadang aku dapat mendengar suaranya menggema begitu keras di kepalaku, terkadang aku merasa ia mengggenggam tanganku begitu erat – untuk alasan yang tidak kuketahui. Dia berkata:
“Tolong, kembalilah padaku! Tolong.. kembalilah padaku!”
Aku tidak tahu apa yang dia katakan - aku tidak tahu siapa orang ini, aku tidak dapat membedakan apa yang nyata dan bagian mana yang hanya merupakan ilusi, jadi aku hanya berdiri diam dan menatap ke sekeliling. Ada ladang rumput seluas berhektar-hektar di sekelilingku, kabut gelap mulai bergerak di ufuk langit dan menghalangi cahaya sang surya. Suara itu menggema keras di kepalaku tapi aku tidak melihat siapapun - hanya ada hamparan rumput-rumput tinggi, desauan angin - dan aku. Aku memutuskan untuk berlari, aku berlari tanpa tujuan, kemudian aku melihat sebuah lubang besar yang terbuka di depan sana. Kegelapan berputar di dalamnya dan dengan harapan bahwa aku akan menemukan sebuah tempat yang baru, aku mendekatinya - membiarkan diriku terhisap oleh pusaran gravitasinya dan melayang entah kemana.
Evan tersentak bangun pagi itu dengan nafas tersengal. Ia sempat berpikir bahwa ia akhirnya terbebas dari mimpi aneh yang memerangkapnya di suatu tempat yang berada di tengah-tengah hutan, bersama lima orang asing yang entah bagaimana terasa begitu akrab. Namun rangka jendela yang terbuka di hadapannya memperlihatkan pemandangan indah dari pekarangan di belakang rumah dan kesadaran segera memukulnya.
Dua malam telah berlalu di dalam rumah yang sama dan rutinitas yang bergerak disana mulai terlihat familier: Barbara yang memasak di dapur sembari menikmati musik pop lawas kesukaannya, kesibukan Danny di pondoknya, Jake yang selalu menghilang setiap pagi keabsenan Ed yang misterius dan rutinitas Susan untuk bekerja di kebun. Diantara semua itu, Evan memilih untuk pergi menuju anak sungai dan melanjutkan pekerjaannya.
Ia memulainya dengan mengumpulkan sejumlah kayu yang bisa didapatkan dengan mudah dari dalam hutan. Setelah mendapatkanya. Evan mengambil beberapa perkakas dari dalam peti dan mulai mengerjakan teleskopnya. Evan menuliskan penghitungan sederhana di atas permukaan kayunya, selama berjam-jam bekerja untuk memperbaiki penghitungan itu hingga ia mendapatkan hasil yang tepat. Barbara menyimpan beberapa peralatan tak terpakai di dalam gudang yang bisa ia gunakan untuk memulai rancangan teleskopnya. Evan mengambil sebuah cermin, alat tulis, gunting pemotong, pisau, alumunium berbentuk lingkaran, papan kayu, dan beberapa kaleng besi. Ia memulainya pekerjaannya dengan sesuatu yang mudah seperti mendaur ulang peralatan besi itu dan menjadikannya seperti bentuk yang diinginkan. Karena ia tidak memiliki besi panjang untuk menopang teleskopnya, Evan memutuskan untuk menggantinya dengan kayu. Mulanya rancangan itu terlihat sederhana seperti yang tertulis di atas papan kayu, nyatanya ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk menyelesaikannya. Bahkan hingga langitnya berubah gelap, rancangan teleskop itu belum sepenuhnya usai. Namun sebuah cahaya yang berkedip di luar sana berhasil mengalihkan perhatiannya. Evan beranjak keluar dari kabin untuk menyaksikannya lebih jelas. Ia mendapati dua cahaya yang bergerak di atas langit itu saling mengitari satu sama lain. Cahayanya terus bergerak ke arah yang sama dan dalam tempo yang bersamaan. Evan berpikir bahwa cahaya itu mungkin berasal dari dua bintang neutron, namun ia mendapati suatu kejanggalan saat berusaha memetakan langitnya.
Dengan tergesa-gesa, Evan meraih kompas dan mengamati jarumnya bergerak seirama dengan cahaya yang saling berputar. Pergerakkannya membentuk sebuah pola yang sama selama belasan kali sebelum membentuk pola baru pada gerakan berikutnya. Evan memusatkan seluruh perhatiannya untuk mengamati pergerakan jarum kompas itu kemudian menengadah ke atas langit dan menghitung dalam diam. Pikirannya menyelami kedalaman sejumlah pertanyaan yang berusaha dipecahkannya selama belasan tahun silam. Ingatannya kini berpusar pada isi catatan yang digantungnya pada dinding kabin di dekat danau, sementara bagian lain dalam otaknya berusaha mengodekan setiap pergerakan jarum kompas, mengenali setiap polanya kemudian menghubungkannya dengan puluhan kemungkinan yang ada.
Kau tidak akan menemukan jawabannya.. ia mendengar suara itu muncul di kepalanya sebagai bisikan yang selalu disampaikan oleh dirinya yang masih remaja. Evan mengingat puluhan catatan terhampar di depan matanya, setiap dari kertas catatan itu berisi kesimpulan yang kemudian menjadi ‘kemungkinan yang ada’. Setiap kali ia berusaha memecahkan masalahnya, ia akan mendengar dirinya mengatakan kalimat yang sama: kau tidak akan menemukan jawabannya. Teori ini mustahil! Alih-alih mengacuhkannya, Evan mengabaikan pernyataan itu dan terus mengali lebih dalam. Setelah belasan tahun berlalu, ia mungkin telah membentuk suatu lubang besar yang dalam dan jawaban tampaknya selalu terletak di tempat terjauh. Pencarian akan jawaban itu terasa seperti sesuatu yang mustahil, terutama ketika pengetahuannya dibatasi oleh hukum-hukum yang ada. Hukum alam akan selalu sama dimana saja – tapi tidak di tempat ini.
Evan merasakan aliran darannya menyebarkan sensai panas ke sekujur tubuhnya. Setiap kali ia semakin dekat pada kesimpulan akhir, jantungnya akan terpacu lebih cepat. Pikirannya terpusat pada satu tempat yang jauh disana, tempat yang menyimpan jawabannya. Kemudian suara gemerisik yang muncul dari semak-semak berhasil mengalihkan perhatiannya. Suara itu disusul oleh suara berderak dedaunan kering yang terinjak. Sekujur tubuhnya menegang. Ketika Evan bergerak mendekati semak-semak itu, kemunculan Jake di dekat sana berhasil mengejutkannya.
“s**l!” gerutu Evan sebelum berusaha mengatur nafasnya. Alih-alih menanggapi reaksi kejut itu, Jake menyeringai lebar dan berkata,
“Aku sudah mencarimu sepanjang hari. Apa kau ingin menangkap kumbang?”
“Kumbang?” kedua alisnya terangkat dan ketika Jake mengangguk, Evan mendengus keras. “Kau pasti bercanda.”
“Tidak. Ayo pergi denganku dan menangkap kumbang.”
Reaksi alaminya adalah menggeleng dan menolak ajakan itu dengan cepat. “Tidak, terima kasih. Aku harus mengenyelesaikan pekerjaanku.”
“Pekerjaan apa?”
“Aku membuat teleskop.”
“Bisa kulihat?”
“Tidak, aku masih mengerjakannya. Benda itu masih belum dapat difungsikan.”
“Mengapa kau membuat teleskop?”
Setelah beberapa detik tertegun untuk menemukan jawaban yang tepat, Evan menyerah pada kalimat yang sama yang pernah diucapkannya untuk menjawab pertanyaan Melissa. “Untuk memetakan langit.”
“Bagaimana kau melakukannya?” Jake mendekat saat mengatakannya. Rasa penasaran muncul dalam raut wajahnya. Evan kemudian menyadari bahwa tidak akan mudah menjelaskan pekerjaannya secara sederhana pada Jake, jadi ia membiarkan Jake masuk ke kabin kecilnya dan menunjukkan semua yang sedang dikerjakannya disana. Jake mengangguk-anggukan kepalanya saat Evan menjelaskan bagaimana teleskop itu bekerja. Jake tidak berkomentar banyak karena pemahamannya yang terbatas, namun laki-laki itu segera memahaminya ketika Evan menunjukkan ilustrasi yang menggambarkan titik-titik kecil bintang yang membentuk rasi orion di atas langit.
“Aku mengenali yang satu ini,” sahut Jake. “Aku tahu sebuah tempat dimana kau bisa melihatnya lebih dekat.”
“Benarkah?”
“Ya. Jadi kau akan ikut denganku?”
“Baiklah, aku ikut.”
Sesuatu menyadarinya bahwa seberapa keraspun ia menolak, langkah kakinya akan selalu membayangi Jake kemanapun pria itu pergi. Evan meninggalkan pekerjaannya disana, dengan langkah mantap, mengikuti Jake kemanapun ia pergi.
Di sepanjang perjalanan menuju – sebuah tempat entah dimana – Evan menyaksikan kerlap-kerlip cahaya di atas semak-semak tinggi. Tanaman hias setinggi lutut berbaris memanjang di kedua sisi jalur setapak yang terbuka untuk mereka. Bunga-bunganya entah bagaimana tampak bercahaya di bawah langit gelap malam yang menyelimutinya. Evan juga dapat menyaksikan cahaya keemasan merambat di setiap sudut pohonnya, serangga berkeliaran dengan bebas. Sesekali ia menjumpai satu atau dua ekor mamalia yang diam-diam mengintip di balik dahan-dahan pohon besar, menyaksikan kepergiannya dan Jake, seolah-olah para hewan itu hendak memberinya sambutan.
“Siapa yang memasang lampu di pohon itu?” tanya Evan di tengah perjalanan mereka.
Jake tertawa saat mendengarnya. “Apa maksudmu?”
Setelah mengedipkan matanya berkali-kali untuk memastikan bahwa apa yang dilihatnya bukanlah bagian dari halusinasinya tentang pohon dan tanaman hias yang bersinar di tengah hutan yang gelap. Satu bagian dalam dirinya hendak menertawai ilusi itu, satu bagian yang lain berusaha menegaskan bahwa apa yang disaksikannya benar-benar nyata.
“Apa pohon itu benar-benar bercahaya?”
Jake mengangkat kedua bahunya, tanpa menghentikan langkahnya ia berkata, “aku tidak tahu, bagaimana menurutmu?”
“Aku pasti sudah gila, tapi pohon itu benar-benar menyala.”
“Bukankah itu bagus?”
“Tidak,” Evan menggeleng, kemudian melanjutkan langkahnya mengekor Jake dan menaiki undakan tangga yang tersusun dari bebatuan besar. “.. itu aneh.”
Mereka berhenti di puncak lereng. Ketika menunduk, Evan dapat melihat jalur panjang yang telah dilalui mereka untuk sampai disana. Anak sungai terletak jauh di ujung sana, namun anehnya Evan tidak merasa bahwa mereka telah melakukan perjalanan sepanjang itu hanya dalam hitungan menit.
“Ini tidak mungkin!” bisiknya sembari mengamati kabin kecilnya di kejauhan. Jake menyerukan namanya di kejauhan, laki-laki itu meminta Evan untuk mengikutinya menyusuri puncak lereng dimana mereka dapat menyaksikan ribuan bintang tersebar di atas langitnya yang tampak begitu rendah. Evan mengamati langit itu sembari terheran-heran. Matanya menelunsuri setiap titik bintang yang tersebar disana. Ia kemudian mendapati pola aneh dari rasi bintang yang seharusnya ia saksikan. Pola itu tidak terlihat seperti biasanya, satu titik terang tidak berada di tempat yang seharusnya, namun masih menunjukkan bidang yang sama. Jake kemudian menjulurkan tangannya dan menunjuk pada rasi orion.
“Lihat! Itu persis seperti yang kau petakan.”
Evan menggeleng, kemudian mengamati lebih jelas. Dalam keheningan, ia mendengar suara desauan angin yang bertiup kencang di sekitarnya. Meskipun begitu pikirannya terpusat pada titik cahaya yang terhubung di ekuator langit itu.
“Itu berbeda,” bisiknya dengan pelan. “Titik-titik itu tidak berada di tempatnya.”
“Apa maksudmu? Itu persis seperti yang kau petakan.”
“Sudutnya sama, hanya saja..” rahangnya mengatup erat, kedua matanya berkedip saat pandangannya mulai kabur. Titik-titik cahaya di atas langit itu seakan berputar dengan cara yang aneh. Ia memiringkan wajahnya untuk kemudian menyadari bahwa pola itu tampak berbeda karena terbalik. Sudut yang seharusnya berada di utara kini terlihat di langit selatan, begitupun dengan sudut di bagian timur dan barat. Evan merasakan darah mengalir deras ke sekujur tubuhnya ketika ia menyadari hal itu. Detik demi detik bergerak lambat saat sebuah pemahaman muncul di kepalanya.
“Mustahil!” Evan berusaha menyangkal apa yang disaksikannya, namun setiap kali ia membuka matanya, ia akan menyaksikan pemandangan yang sama di atas langit.
Sementara itu, Jake di sampingnya tersenyum. Matanya menatap lurus ke arah langit seolah-olah mampu menerawang jauh ke sana. Seluruh alam tiba-tiba berbalik dengan cara yang aneh. Evan pernah memikirkan dunia seperti itu: dunia lain yang mungkin hadir dengan cara yang berlawanan. Timur adalah barat, utara adalah selatan. Siang dan malam terasa lebih panjang, namun waktu bergerak cepat. Bahkan malam itu ketika ia mendapati rasi bintang berada dalam posisi terbalik, ia mulai bertanya-tanya dunia apa yang mengelilinginya. Bagaimana mungkin langitnya terlihat begitu rendah, pohon-pohon besar tampak bercahaya dan seisi hutan tampak seperti surganya para mamalia yang bebas berkeliaran tanpa kekhawatiran untuk dimangsa?
Dengan terburu-buru, Evan bergerak ke sisi lereng lainnya hanya untuk memastikan bahwa ia tidak membaca rasi yang salah. Kedua matanya seakan menari bersama ribuan titik cahaya di atas langit. Satu cahaya dapat terlihat lebih terang dari yang lainnya. Yang tampak redup adalah cahaya yang cukup jauh untuk dijangkau. Ia kemudian memetakannya, diam-diam menghitung garis persamaannya dan bergumam sementara seisi kepalanya berusaha mencahkan perbandingan jarak antara satu bintang dengan bintang lainnya. Tak lama kemudian, seruan seseorang membuyarkan lamunannya.
“Disini!”
Seruan itu berasal dari sebuah celah sempit di bawah lereng. Jake telah menghilang dan pergi ke bawah sana. Evan kemudian memutuskan untuk mengikutinya. Sembari berpegangan pada dinding lereng, ia menuruni undakan batu yang membawanya sampai ke bawah sana. Permukaan tanah di bawah kakinya basah. Terdapat sebuah terowongan sempit di bawah sana/ Evan melihat Jake berjalan menyusuri terowongan itu perlahan kemudian berhenti dan bersembunyi di belakang batu besar. Ketika Evan sampai di sampingnya, Jake mengarahkan jarinya dan menunjuk ke seberang, tepat dimana mereka dapat menyaksikan puluhan - mungkin ratusan kumbang berkeliaran mengelilingi tanaman di sekitarnya. Tidak hanya itu, tempat itu juga dipenuhi oleh ratusan kunang-kunang yang memancarkan cahaya kecilnya ke setiap tanaman yang tumbuh disana. Titik-titik kecil yang berkeliaran itu menari-nari di atas tanaman yang memancarkan warna biru memukau. Sulur-sulur pohon tingginya jatuh mengelilingi setiap sudut tempat.
Evan masih terpukau menyaksikan pemandangan di hadapannya ketika Jake telah mengambil langkah menghampiri para kumbang itu. Laki-laki itu membawa sebuah jaring kecil di tangannya, kemudian dengan berhati-hati menggunakannya untuk menangkap sejumlah kumbang. Laki-laki itu sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk menangkap serangga itu dan memasukkannya ke dalam botol kecil yang telah disediakannya di dalam tas. Jake kemudian bergerak untuk menunjukkan hasil tangkapannya.
Serangga itu tampak berbeda, ukurannya lebih besar dari yang dikenalinya. Evan mengingat petualangan kecilnya untuk menangkap kumbang bersama Melissa, pada malam hari di pekarangan rumah mereka. Ia memasukkan serangga itu ke dalam botol hanya untuk menyenangkan putrinya. Namun jenis kumbang yang ditangkap Jake malam ini benar-benar berbeda, sekilas Evan melihat cahaya biru kecil berkedip ketika serangga itu menggepakkan sayapnya dan hinggap di permukaan botol. Seolah mampu membaca kebingungannya, Jake menjawab semua pertanyaan itu dengan berkata,
“Kami menyebutnya spesial karena cahaya birunya,” ujar Jake. “Lihat! Tidak semua kumbang disini memilikinya. Hanya ada beberapa yang spesial. Kau hanya akan menemukannya di tempat ini. Mereka membuat sarang besar disini. Kau ingin melihatnya?”
“Tunjukkan padaku!”
Jake tersenyum kemudian berjalan melewati sulur-sulur pohon yang menggantung rendah di atas permukaan tanah untuk mendekati sebuah lubang seukuran kepalan tangan pada permukaan dinding batu di dekat sana.
“Lihatlah!”
Evan tertegun menyaksikan puluhan kumbang dengan jenis yang sama berkumpul di dalam sarangnya. Suara yang dikeluarkan oleh kumpulan serangga itu berdengung di telinganya. Ketika Evan hendak melangkah untuk mendekatinya, Jake menghentikannya dengan cepat dan berkata, “jangan bergerak lebih jauh atau mereka akan menyerangmu.”
“Menyerangku?”
“Ya, gigitannya lebih sakit dari lebah, terutama ketika mereka bergerombol.”
Evan menyeringai lebar. Untuk menanggapinya ia berkata, “kumbang tidak menyengat.”
“Benarkah?”
Merasa tertantang, Jake menjulurkan tangannya mendekati lubang itu. Dua kumbang terbang dan hinggap lengan mereka. Evan menyaksikan serangga itu bergerak di atas kulitnya dengan terheran-heran, kemudian pada detik berikutnya, sengatan kumbang itu berhasil menyentaknya.
“s**l!”
Jake menyeringai lebar saat menyaksikannya. Kemudian suara dengungan keras yang berasal dari lubang itu bergema di sekitar mereka. Evan menyaksikan bagaimana Jake membeliakkan kedua matanya kemudian meneriakan sebuah perintah dengan tergesa-gesa. “Tidak! Lari! Lari sekarang!”
Belum terlambat untuk menyadari bahawa puluhan kumbang yang membentuk gerombolan besar itu berduyun-duyun keluar dari lubang untuk mengejarnya. Pada detik berikutnya, Jake telah menghilang di kejauhan. Evan mengerakkan kakinya dengan cepat untuk menyusul kepergian Jake.
“Jake! Jake, tunggu!”
Sementara itu, dengungan dari puluhan kumbang di belakangnya masih terdengar jelas. Evan bergerak lebih cepat hingga suara dengungan di belakangnya terdengar semakin samar. Jake telah membawa pergi jauh meninggalkan sarang kumbang itu, dan kali ini mereka menghadapi danau yang terbuka lebar di depan sana.
Jake menghentikan langkahnya ketika mereka mencapai tepi danau. Evan kemudian menyusulnya beberapa detik kemudian. Nafasnya tersengal, wajahnya memerah. Sementara itu ia mendengar Jake tertawa keras.
“s****n kau!” gerutu Evan.
“Kau seharusnya melihat wajahmu!”
Masih berusaha mengatur nafasnya, Evan meletakkan kedua tangan pada kedua sisi pinggangnya dan bergerak mondar-mandir mengelilingi tempat itu sembari menggerutu kasar, “persetan denganmu!”
Alih-alih mengacuhkannya, Jake menunjuk ke arah danau dan berkata, “mau berenang?”
“Enyahlah!”
Namun Jake telah melempar tasnya kemudian berlari masuk ke dalam air, jauh sebelum Evan sempat menghentikannya.
“Tidak, tidak, jangan, Jake! Jake!”
Keheningan menyelimuti seisi danau. Jake menghilang di dalam air dan tidak muncul ke permukaan selama lima belas detik yang panjang. Lima belas detik kemudian menjadi tiga puluh detik, Evan menatap permukaan danau dengan resah. Tiga puluh detik menjadi satu menit yang terasa seperti berjam-jam. Permukaan danau itu masih bergerak tenang.
“Jake? Jake? Jake!”
Ketika Jake tidak kunjung muncul ke permukaan, Evan menanggalkan sepatunya kemudian bergerak masuk ke dalam air. Riak besar muncul di permukaan, kemudian disusul oleh suara gemuruh dan tawa yang keras begitu Jake muncul dari dalam air.
Dengan sekujur tubuh basah kuyup, Evan bergerak kembali ke permukaan sembari menggerutu.
“s****n kau, Jake!”
Jake meledeknya sembari tertawa keras. Di belakangnya, Evan mendengar laki-laki itu berseru, “hei! Cobalah untuk bersenang-senang.”
“Ya aku sangat senang sekarang, s****n kau Jake!”
“Ayolah!”
Mereka menghabiskan malam itu, duduk di bantaran danau sembari memandangi langit dengan mata t*******g. Angin yang bertiup lembut lambat laun mengeringkan pakaiannya. Ketika hawa dinginnya mulai terasa menusuk, Evan menekuk jari-jari kakinya dengan kaku. Di sampingnya, Jake berbaring di atas rumput sembari memandangi langit di atasnya. Evan mendengarnya bergumam sesekali, dan ketika keheningan menyelimuti mereka, ingatan akan kejadian beberapa jam lalu di sarang kumbang membuat tawa Evan lepas. Untuk kali pertama sejak terjebak di tempat itu, Evan benar-benar menertawai dirinya. Sekarang ia mulai khawatir jika semakin lama ia berada disana, ia akan semakin terikat pada semua hal yang mengelilinginya. Kehadiran Jake entah bagaimana terasa seperti pelupur luka. Laki-laki itu hadir entah dari mana dan bertingkah seolah-olah mereka telah mengenal begitu lama. Jake melakukan hal-hal konyol yang bisa saja membahayakan mereka, namun disisi lain juga melindunginya. Evan memiliki sebuah keyakinan yang tak berdasar bahwa Jake - entah bagaimana - tidak akan melukainya, bahwa berada di dekatnya adalah hal yang tepat dan dengan hubungan yang terasa seakrab itu, kehadiran Jake telah mengobati kerinduannya akan seorang saudara laki-laki yang didambakan Evan. Begitulah seharusnya hubungan itu terjalin. Evan dapat mendengar sebuah suara di kepalanya mengatakan: ya, beginilah seharusnya semuanya terjadi.
“Apa?” tanya Jake sembari membuka satu dari kedua matanya yang terpejam. Laki-laki itu menggunakan kedua telapak tangan untuk menopang kepalanya di atas rumput, kini perhatiannya tertuju pada Evan.
“Kau tertawa,” ucap Jake. “Apa yang begitu lucu?”
“Semua ini,” sahut Evan sembari menatap permukaan rumput di bawah tangannya dan berpikir. “.. sarang beruang, kemudian sarang kumbang, dan danau..”
Jake tersenyum kemudian menutup kembali kedua matanya. Laki-laki itu sedang menikmati desauan angin di sekitarnya ketika berkata, “kau pasti tidak pernah melakukan hal konyol dalam hidupmu, bukan?”
“Ya, aku bersyukur untuk itu.”
“Well, kau harus mencobanya sesekali. Tidak ada salahnya melakukan semua itu untuk bersenang-senang. Maksudku, kau bisa saja bersenang-senang dengan cara lain, tapi tidak semenyenangkan mengunjungi sarang kumbang dan membuat serangga itu marah.”
Evan tersenyum lebar untuk menanggapinya. Keheningan yang menggantung selama beberapa detik, memberi Evan kesempatan untuk memandang ke sekitarnya, menarik dan mengembuskan nafas untuk merasakan udaranya yang tercium segar. Sementara kedua matanya terus mengamati permukaan air danau yang nyaris tidak tercemar itu. Evan bertanya-tanya tentang bagaimana semua hal itu dapat terjadi hingga ia mendengar pertanyaan Jake berikutnya.
“Hei!” sapanya. “Bagaimana kehidupan berjalan?”
Evan tidak segera menjawab pertanyaan itu ketika mendengarnya, alih-alih tertegun untuk memikirkan kalimat itu. Ia hanya pernah mendengar suara di kepalanya mengucapkan kalimat yang sama sekali: hei, bagaimana kehidupan berjalan? Kemudian seperti yang sudah-sudah, Evan memilih untuk mengabaikan suara yang terus-menerus mencoba untuk berbicara dengannya selama tak terhitung lamanya. Ia hanya berpikir bahwa suara itu berasal dari sisi dalam dirinya yang tak terkubur begitu dalam – jauh didasar sisi yang tidak pernah tersentuh.
Kemudian Jake bangkit duduk, kali ini menopang tubuhnya dengan kedua telapak tangan yang terbuka di atas rumput. Perhatiannya sepenuhnya terpusat pada Evan. Butuh beberapa detik sebelum Evan menyadari bahwa laki-laki itu masih menunggu jawabannya.
“Apa yang terjadi?” tanya Jake kemudian.
Evan menggeleng sembari mengernyitkan dahinya. Ketika ia berpikir untuk mengungkapkan kebohongan dengan menganggap bahwa segalanya baik-baik saja, ia justru mengatakan yang sebaliknya.
“Buruk, kurasa..” jawabnya. “Aku selalu berpikir bahwa segalanya berjalan baik-baik saja. Aku menjalani kehidupan normal – tidak pernah merasa kesulitan untuk membeli makanan enak atau memilih pakaian yang bagus untuk keluargaku. Aku memiliki istri dan seorang putri yang cantik. Aku sudah memiliki segalanya – aku berusaha menjalani hidupku untuk semua itu, tapi.. setiap hari sejak kecelakaan itu, aku hanya membohongi diriku bahwa segalanya baik-baik saja. Kenyataannya adalah.. itu omong kosong. Aku tidak pernah merasa baik-baik saja sejak hari itu. Kemanapun aku pergi, awan gelap itu akan selalu mengikutiku. Aku bermimpi buruk, aku bekerja sepanjang hari hanya untuk memastikan bahwa aku dapat melupakannya, tapi setiap malam aku ketakutan. Aku tidak dapat tidur tanpa memikirkan bagaimana aku mengambil keputusan yang salah sepanjang hidupku dan aku hanya.. kacau. Aku berbohong pada istriku, aku berbohong pada Melissa hanya karena aku tidak ingin terlihat buruk di depan mereka, tapi aku tidak bisa membohongi diriku. Aku merasa malu, aku merasa seperti b******n yang bersembunyi di balik ketakutannya, menjalani kehidupan yang sibuk hanya untuk menghindari fakta bahwa aku adalah penyebab dari semua kekacauan yang terjadi dalam hidupku. Itu aku.. selalu aku.”
Jake duduk bergeming. Sepasang mata biru cerahnya memandangi Evan dengan serius. Keterbukaannya membuat Evan merasa nyaman untuk mengungkapkan semua yang ingin dikatakannya. Jake adalah seseorang yang dibutuhkannya: seseorang yang tidak akan menghakiminya bahkan ketika ia merasa pantas untuk itu, seseorang yang hanya akan duduk mendengarkan setiap ucapannya dan menatapnya dengan kepercayaan penuh – seorang saudara yang akan selalu berada disisinya dalam masa-masa sulitnya, dan seseorang yang akan memberikannya sebuah pengalaman hebat – menunjukkan cara-cara yang dapat dilakukan untuk menjadi bahagia. Untuk membuktikan itu, Evan melihat Jake tersenyum lembut kemudian bergerak untuk berbaring di atas rumput dan kembali menatap langit sembari mengatakan, “tidak apa-apa. Terkadang kita melakukannya: mengambil keputusan ceroboh, membuat kesalahan. Tapi dunia tidak berakhir disana. Itu hanya akan menjadi bagian dari kita, dan itu sama sekali bukan masalah besar. Sekarang aku tidak akan menjadi seseorang yang memberimu petuah – Susan atau Ed mungkin melakukannya, tapi itu bukan tugasku. Tugasku disini adalah memberimu sebuah petualangan hebat yang tidak akan kau lupakan, tapi mungkin aku bisa mengatakan ini: terima saja itu sebagai bagian dari dirimu, kemudian tentukan sisanya!”
Mungkin Jake benar – mungkin Evan hanya perlu menerima kesalahan itu sebagai bagian dari masa lalunya dan bergerak maju untuk melupakannya. Bagaimanapun, malam itu telah menjadi malam panjang dengan petualangan menarik lainnya bersama Jake. Mungkin suatu saat ketika ia akhirnya pergi meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumahnya, Evan akan merindukan momen dimana ia dan Jake duduk di bawah langit gelap malam dan membicarakan sesuatu yang bahkan tidak pernah ia pikir akan dibicarkannya pada orang asing. Namun jauh di lubuk hatinya Evan menyadari bahwa Jake tidak pernah menjadi asing sejak kali pertama mereka bertemu. Ada sesuatu yang terasa akrab dari Jake yang membuatnya memercayai laki-laki itu dengan mudah – atau mungkin seperti yang dikatakan Danny: ia hanya membutuhkan waktu untuk terasa terbiasa.