"Berarti ntar pulang sekolah kalian juga bareng, dong, ya?"
Resky tersenyum. Ini sudah entah yang keberapa kalinya Raysa bertanya dengan pertanyaan yang sama. Terhitung sudah lima kali sejak ketua kelas mereka mengumumkan kalau guru yang mengajar di jam pelajaran ini tidak masuk. Beliau sedang ada urusan penting bersama keluarga, kelas mereka jam kosong. Raysa memanfaatkan dengan bertanya perihal Rora yang berangkat ke sekolah bersamanya. Terdengar sangat menggelikan memang. Mereka hanya berteman, bersahabat, tetapi Raysa sangat sering menunjukkan kecemburuan terhadap Rora seolah mereka memiliki hubungan khusus selain pertemanan
Dari kabar burung yang tersebar, Raysa menyukainya. Namun, ia hanya menganggap gadis itu sebagai sahabat saja, tidak lebih. Sifat lembut dan keibuan Raysa masih belum bisa membuatnya terpesona. Ia tetap lebih merasa nyaman bersama Rora yang kekanakkan. Meskipun terkadang sifat manja Rora padanya membuatnya seperti seseorang yang lebih dewasa dari usia sebenarnya, tapi ia tidak pernah keberatan dengan itu. Ia menikmati saat-saat menjadi dewasa.
"Iya, bareng lagi, Sa," jawab Resky. "Masa aku tinggalin gitu aja, kasian. Pergi sama aku masa pulang sendiri?"
Ini membuat Raysa menyukai Resky. Usia baru tujuh belas tahun tapi Resky penuh dengan tanggung jawab. Seseorang yang dia butuhkan di hidupnya. Tidak seperti Papa yang meninggalkannya bersama Mama hanya untuk seorang w*************a.
"Kali aja dia mau nebeng sama siapa gitu pas pulang ntar." Raysa mengerucutkan bibirnya. Sungguh, diantidak terlalu suka Resky terlalu dekat dengan Rora. Melihat gadis itu, dia seperti melihat w*************a yang sudah membuat Papa pergi darinya dan Mama.
Resky tertawa pelan. Raysa seperti tidak mengenalnya saja padahal sudah lama mereka menjadi sahabat. Selalu satu kelas sejak kelas X membuat mereka akrab, tapi tak lebih akrab dari seorang sahabat. Setidaknya itu yang dirasakan Resky sampai sekarang. Tak ada perasaan berdebar atau gugup yang dirasakannya saat berdua saja dengan Raysa seperti sekarang ini, perasaan yang ia rasakan saat bersama Rora. Perasaannya pada Raysa sama seperti yang dirasakannya pada gadis lainnya. Tidak ada rasa lain selain persahabatan.
"Kamu kenapa, sih, Ky, kok, mau-mau aja diminta Rora buat jemput dia?" Lagi-lagi Raysa menanyakan pertanyaan yang sama. Dia tidak akan puas sebelum tahu Resky tidak pulang bersama Rora. "Coba kalo aku yang minta jemput, belum tentu kamu mau!" Bibir Raysa meruncing. Astaga! Dia benar-benar tidak bisa menyembunyikan kecemburuannya pada Rora ataupun gadis lain yang mendekati Resky.
"Hush, nggak boleh bilang gitu!" Resky menggeleng. "Aku juga bakalan jemput kamu kalo kamu emang lagi perlu tumpangan"
"Beneran?" tanya Raysa dengan mata berbinar.
Resky mengangguk.
"Kalo gitu besok jemput aku, ya, Ky?" pinta Raysa manja. Tangannya menarik-narik ujung lengan seragam Resky. "Papa lagi keluar kota udah dari kemaren. Aku nggak terlalu suka diantar sama sopir, rasanya beda pas diantar Papa."
"Tapi, aku naik motor, Sa, nggak naik mobil kayak kamu," potong Resky lembut. Bukannya ia tak ingin menjemput Raysa, ia sama sekali tidak masalah dengan semua itu, ia justru senang bisa membantu. Hanya saja ia takut kalau Raysa yang selalu menggunakan mobil ke mana pun dia pergi, tak terbiasa dan tak nyaman mengendarai motor.
"Nggak apa-apa!" Raysa menggeleng. "Sekali-sekali aku mau nyoba naik motor. Kok, rasanya kayak seru gitu, ya?" tanyanya seolah pada dirinya sendiri. Aku pengen nyoba!"
Resky menatapnya dengan alis berkerut. Sedikit aneh melihat Raysa menginginkan sesuatu yang ditakutinya. Ia tahu rahasia gadis itu yang takut pada kendaraan roda dua termasuk motor dan sepeda. Raysa dulu –kurang lebih setahun yang lalu– pernah bercerita padanya kalau dua pernah jatuh dari sepeda. Tubuhnya luka-luka sehingga dua takut dan sedikit trauma pada kendaraan roda dua. Lalu, kenapa sekarang sekarang Raysa justru ingin menaikinya?
"Beneran, Sa?" tanya Resky ragu. Sungguh, ia masih belum percaya Raysa ingin naik motor. Bagaimana kalau Raysa kembali trauma saat diboncengnya nanti? Apa yang harus ia lakukan? Ia bukan seorang dokter ahli, ia hanyalah seorang siswa SMA berusia tujuh belas tahun. "Kamu nggak apa-apa naik motor?"
Raysa mengangguk. Dia tersenyum manis. Padahal dalam hati ragu apakah bisa atau tidak, dia hanya berharap akan dapat mengatasi traumanya. Kesempatan berdua saja naik motor Resky tidak boleh disiakan, kapan lagi mereka bisa sedekat itu. Satu yang pasti, dia akan menjauhkan Rora dari Resky.
"Ya, udah kalo gitu, besok aku jemput!" Resky tersenyum. "Tapi, beneran, 'kan, kamu udah nggak apay naik motor?" Sekali lagi ia bertanya, untuk meyakinkan dirinya dan gadis di sampingnya.
Raysa kembali mengangguk. "Udah nggak apa-apa, kok, Ky," jawabnya tersenyum manis.
Senyum Raysa selalu manis, ditambah dengan dua buah lubang di pipinya, semakin menambah senyum gadis itu. Namun, tetap saja tidak ada perasaan lebih terhadap Raysa. Hanya Rora yang mampu membuatnya berdebar.
***
"Anak teladan beda emang, ya? Ke kantinnya cuman pas istirahat doang."
Resky tahu siapa yang dimaksud Ilham, pasti dirinya. Sejak awal jam kosong,kedua sahabatnya –Arif dan Ilham– memilih untuk menghabiskan waktu ke kantin seperti sebagian besar siswa lain di kelas mereka. Sementara dirinya lebih memilih untuk tetap berada di kelas dan menyusul ke kantin setelah bel istirahat berbunyi.
"Iya lah!" seru Arif. Matanya melirik Raysa yang ikut bersama Resky. Tumben gadis itu mau bergabung bersama mereka, biasanya saat istirahat Raysa lebih memilih untuk bersama sahabat-sahabat perempuannya. "Tumben lu mau gabung kita, Sa!" tegurnya, mendorong sebuah kursi untuk diduduki Raysa.
"Lagi nunggu Santi, sampe sekarang belum keluar," jawab Raysa. Dia menolak untuk duduk di kursi yang disodorkan Arif, dan lebih memilih untuk berdiri.
Sebagai teman satu kelas dalam dua tahun terakhir, tentu mereka akrab. Namun, Raysa kadang menjauh, dia kurang merasa nyaman berdekatan dengan pemuda lain selain Resky. Dia juga memiliki seorang sahabat perempuan dan lebih sering bersama sahabat perempuannya itu. Dia dan Santi tidak satu kelas, mereka bersahabat sejak masih di Sekolah Dasar, rumah mereka juga berdekatan sehingga persahabatan tetap terjalin meskipun setelah di SMA kelas mereka berbeda.
Arif mengangguk, tak menanggapi lagi setelah itu. Ia lebih memilih melempari Ilham dengan bola-bola tisu. Pemuda yang satu itu sedang menggoda adik kelas yang lewat. Arif tertawa karena salah satu bila tisu ada yang masuk ke dalam mulut Ilham. Ia melemparnya bertepatan dengan Ilham yang membuka mulut untuk melemparkan rayuan pulau kelapa pada adik kelas yang duduk di meja sebelahnya.
"Anak basket jangan dilawan!" Arif menyapu hidung dengan ibu jari. "Arif gitu, lho! Nyetak dua poin, 'kan, gue!"
Arif tertawa lagi, kali ini lebih keras dari tadi mendengar gerutuan Ilham. Tak peduli mereka menjadi perhatian sebagian besar anak-anak yang berada di kantin. Ia baru berhenti tertawa setelah Resky datang membawa pesanan mereka. Pemuda itu tadi pergi ke depan untuk memesan makanan, ia dan Ilham yang malas bangkit menitipkan pesanan saja. Resky yang baik hati dan tidak sombong serta rajin menabung tentu tidak keberatan untuk menolong. Meskipun harus membawa nampan besar untuk makan siang mereka bertiga. Jangan tanyakan Raysa, gadis itu tidak ikut memesan. Raysa tetap menunggu kedatangan Santi dan tidak akan memesan sebelum sahabatnya itu datang. Dia juga tetap berdiri seperti beberapa menit yang lalu.
"Kamu nggak duduk, Sa?" tanya Resky. Sepasang alis tebalnya berkerut melihat Raysa yang masih berdiri. Apakah Raysa tetap berdiri sejak mereka tiba tadi Entah kenapa hati ini Raysa selalu menempelinya. Rasanya sangat tidak nyaman memang, tapi mau bagaimana lagi. Ia bukan orang yang tega untuk mengusir seseorang menjauh, apalagi seorang perempuan. Bagaimana kalau perempuan itu tersinggung kemudian menangis? Tentu tidak mudah menghentikan tangisan seorang perempuan, kaum mereka terlalu perasa, dan ia tak ingin menjadi penyebab runtuhnya bulir-bulir air mata itu. Jadi, ia membiarkan saja Raysa untuk mengikuti ke mana pun ia pergi.
"Aku lagi nunggu Santi, Ky," jawab Raysa sambil memanjangkan leher mencari keberadaan sahabatnya di kantin. Tadi saat bel istirahat berbunyi dia sudah mengirimi pesan pada Santi, dan mengatakan akan menunggu di kantin. Namun, sudah lebih dari lima menit berlalu sahabatnya belum juga muncul. Tidak biasanya Santi terlambat seperti ini. Sungguh, ini sangat menyebalkan baginya. Rasanya kurang menyenangkan berada di antara laki-laki ini. Kalau di dalam kelas dia tidak masalah, berbeda lagi ceritanya kalau mereka sedang di kantin.
"Oh, ya, udah!" Resky mengangguk. Mengambil teh botol dan memberikannya pada Raysa. "Sambil nunggu kamu minum dulu," ucapnya tersenyum.
Resky benar-benar seorang laki-laki idaman bagi Raysa, tak membiarkan perempuan kehausan. Bagaimana dia tidak jatuh cinta pada pemuda yang duduk di depannya ini? Namun, kebahagiaan Raysa hanya bertahan beberapa detik, sampai gadis yang paling tidak disukainya duduk tanpa permisi di kursi yang tadi diberikan Arif padanya. Dengan tidak tahu malunya gadis itu mengambil teh botol milik Resky yang sudah diminum seperempat botol oleh pemiliknya, dan meminumnya. Seandainya saja mereka tidak di tengah keramaian pasti akan diteriaki ya gadis itu. Sungguh, Carora Maharani tidak memiliki etika sebagai seorang perempuan.
"Astaga! Lu haus, Ra?" tanya Ilham yang melihat Rora meminum lebih dari separuh bagian teh botol milik Resky. Sekarang sisa teh di botol itu hanya tinggal beberapa jari. "Sadis amat minumnya."
Ilham tertawa, tak sadar Raisa menatapnya tajam. Seandainya laser bisa keluar dari mata itu, Ilham pasti sudah menjadi potongan-potongan kecil. Kehadiran Rora sangat mengganggu baginya. Seharusnya dia yang duduk di kursi itu, bukan Rora. Seharusnya dia yang sekarang sedang disuapi Resky, bukan Rora. Disuapi? Iya! Dasar tidak tahu malu, bisa-bisanya Rora meminta Resky menyuapinya di tengah umum seperti ini? Menyebalkan! Lalu, Resky, mengapa pemuda itu mau saja menyuapi gadis manja menyebalkan seperti Rora? Kesal karena dirinya seolah tak dianggap, Raysa memilih meninggalkan meja itu setelah menghadiahkan tatapan sengit pada Rora. Dia menghampiri Santi yang baru memasuki kantin.
Rora tertawa kecil. Dalam hati puas sudah bisa mengerjai Raysa. Siapa suruh terlalu jual mahal, mentang-mentang orang kaya dipikir bisa berbuat seenaknya. Dia sengaja tadi minum teh botol milik Resky, hanya untuk menjauhkan Raysa saja dari Resky. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan siswa perempuan kalau Raysa menyukai Resky, dan mencoba untuk memonopoli Resky. Entah itu hanya perasaannya saja yang merasa Raysa bersikap demikian, tapi hampir semua siswa perempuan juga beranggapan seperti itu.
Rora mengangguk menanggapi pertanyaan Ilham. "Haus banget!" sahutnya sambil tertawa. "Lapar juga, Ham."
"Nggak sarapan di rumah?" tanya Arif. Alisnya berkerut.
Rora menggeleng. "Sarapan, kok. Cuman lapar lagi." Dia meringis. "Mau pesan, tapi masih antre. Malas."
Wajah cantik dengan pipi chubby itu cemberut, membuat Ilham yang duduk di sebelahnya menjadi gemas. Rora memekik tertahan, Ilham mencubit pipinya kuat.
"Sakit!" Mata cokelat milik Rora membelalak. Tangannya terangkat memukul Ilham kuat. "Coba pipi kamu sendiri aja sana, atau mau dicubit Hilda?"
Ilham menggeleng cepat. Jangan sampai induk ayam turun tangan. Cubitan Hilda bukan hanya sakit, tapi juga meninggalkan rasa perih berkepanjangan. Baiklah, lupakan. Ia hanya terlalu mengada-ada. Namun, apa yang dikatakannya itu fakta. Setiap kali dicubit Hilda kulitnya pasti akan membiru saking kuat dan kecilnya cubitan itu. Nenek sihir memang Hilda!
Arif tertawa. "Aduin aja, Ra, biar mampus!" Ia melirik ke sampingnya di mana Raysa tadi berada. Mengembuskan napas lega sudah tak melihat bayangannya lagi. Jujur saja, meskipun satu kelas, ia kurang menyukai Raysa. Gadis itu terlaku pendiam baginya, tidak bisa diajak bercanda. Lebih menyenangkan menjahili Rora.
"Kalian bisa diam nggak, sih?" tanya Resky menegur ketiga orang temannya yang terus saja membuat keributan. Kalau Rora sudah bergabung biasanya mereka akan saling menjahili satu sana lain, tidak akan berhenti kalau tidak ia yang menegur. "Kita di kantin, lho, ini."
Rora langsung diam, kembali mengambil botol teh Resky, dan meminumnya –lagi. Kali ini sampai habis tak bersisa. Sementara Arif dan Ilham hanya tersenyum saja. Sungguh, mereka ingin tertawa lagi melihat tingkah Rora, tapi mereka menahannya setengah mati. Mereka tak ingin memancing kemarahan Resky. Pemuda itu kalau marah tidak akan bersuara, dan akan tetap mendiamkan kalau tidak meminta maaf dengan alasan yang tepat. Sudah beberapa kali seperti itu. Marahnya orang pintar ternyata berbeda dengan yang memiliki otak biasa-biasa saja seperti mereka.
"Kamu masih mau lagi, Ra?" tanya Resky. Ia mengembuskan napas melihat teh botolnya yang hanya tertinggal botol kosong tanpa isi. Semua isi di botol itu yang tersisa sudah berpindah ke perut Rora.
Rora tersenyum lebar, kemudian mengangguk. "Kamu mau pesan lagi?" tanyanya dengan wajah polos tak berdosa. "Aku nitip, sama kayak punya kamu "
Tawa Ilham pecah lagi. Rora seperti seorang psikopat saja, dia seolah tak merasa bersalah sudah menghabiskan minuman Resky. Malah dengan wajah polos bertanya.
"Keren amat, sih, lu, Ra;" seru Ilham disela tawanya. "Ntar gue juga kayak gitu sama Resky. Kali aja gue ditraktir."
"Yang minta traktir siapa?" tanya Rora galak. Matanya kembali membelalak. "Orang aku nitip sekalian sama duitnya." Rora menjulurkan lidah pada kedua pemuda itu sebelum menyusul Resky mengantre di depan meja pantry.