Alam terasa sangat indah jika kita sedang bahagia. Ah, bukan. Tak hanya alam, tapi semuanya akan terlihat jauh lebih indah dari biasanya jika hati kita sedang merasakan bahagia. Itulah yang dirasakan Rora saat ini. Semua tampak indah dalam pandangan matanya, termasuk tempat pembakaran sampah yang berwarna hitam karena belas terbakar, dan ditumbuhi lumut tebal kehitaman Langkahnya riang menuju kelasnya yang terletak di ujung lorong. Tak ada beban saat dia melangkah, semuanya seolah terangkat, semua kesedihan yang tadi pagi langsung sirna setelah mendengar perkataan Resky tadi. Tak ada hubungan apa-apa antara Resky dan Raysa. Semuanya hanya bualan Raysa saja yang ingin memanas-manasinya. Untung saja dia mendengar langsung dari Resky sehingga hatinya tak lagi dilanda kecemasan luar biasa
Rora mengerjapkan mata beberapa kali. Menatap heran ke arah Hilda yang menatapnya seperti tengah menatap orang gila saja. "Kenapa, Da?" tanyanya bingung. "Ada yang aneh sama aku?" Dia celingukan mencari, mungkin saja ada sesuatu yang tidak biasa di bajunya. Siapa tahu ada yang menempelkan tulisan yang tidak-tidak di punggungnya tanpa sepengetahuannya.
"Nggak ada, sih, sebenarnya," jawab Hilda. Dia menggelengkan kepala dengan alis yang masih saja bertaut. "Aneh aja gue liat lo. Tadi pagi aja lo lemes banget, nggak bersemangat, layak orang yang mau mati. Sekarang udah ketawa ketiwi aja."
Senyum lebar menghiasi wajah cantik Rora. Pipinya yang memang sidah chubby semakin terlihat membesar. "Mau tau, apa mau tau banget?" tanyanya sok rahasia.
Hilda berdecak. "Dih, nggak banget!" ketusnya. Dia melipat tangan di depan d**a, mengangkat dagunya angkuh. "Ya, udah, nggak perlu lo kasih tau gue, gue bakalan nyari detektif terbaik buat lo."
"Buat aku?" tanya Rora menunjuk hidungnya. Mata bulatnya mengerjap beberapa kali dengan lucu.
Hilda mengangguk. "Buat nyari tau apa yang lo sembunyikan dari gue." Dia mengangkat sebelah alisnya.
Bibir mungil Rora mengerucut, pipinya menggembung. "Ngapain juga, buang-buang duit aja!" omelnya, "Mending duitnya kamu buat traktir aku makan di kantin ntar istirahat siang." Dia menaik-turunkan alisnya dengan cepat, menggoda sahabatnya yang meliput tangan di depan d**a.
"Suka-suka gue, dong, Ra, 'kan, tu duit punya bokap gue!" Hilda sengaja meninggiikan nada suaranya. Rora yang tengah bahagia tidak akan peduli walau dia berteriak sekalipun. Sebenarnya, dia hanya berpura-pura saja belum tahu, tapi juga tidak mengetahui. Namun, semua sudah dapat ditebak, kebahagiaan Rora pasti ada hubungannya dengan Resky. Bukannya dia tidak mendengar gosip yang beredar tadi pagi tentang kedekatan Resky dan Raysa, yang membuat wajah Rora menekuk sepagian ini. Sekarang, wajah itu sudah kembali ceria. Pasti Rora sudah mendengar berita yang lebih menggembirakan. Seperti klarifikasi langsung dari Resky, mungkin. "Lagian, daripada gue pakai buat traktir lo yang makannya sekebon, mending gue kasih ke detektif biar tau semua rahasia yang lo simpan dari gue."
Mata bulat Rora yang berwarna cokelat gelap kembali mengerjap beberapa kali. Dia tersenyum madu. "Nggak usah kepo, ntar juga kamu bakalan tau." Dia mengikik geli, menutupi mulutnya yang terbuka dengan tangan kanan. Lantas segera memasuki kelas begitu bel tanda masuk berbunyi.
***
Setiap kantin selalu tumpah ruah, dibanjiri oleh lautan siswa, pada jam istirahat seperti sekarang. Rora memasuki kantin dengan santai, di sampingnya, Hilda celingukan mencari meja kosong yang bisa mereka duduki. Sayangnya, Hilda tidak menemukannya. Setiap kursi yang mengelilingi meja sudah terisi semua, tak ada satu pun lagi yang kosong. Meskipun ada kursi kosong, pasti sedang ditinggal oleh pemiliknya mengantre membeli makanan. Di bagian kanan kantin, di samping meja-meja yang terisi, beberapa siswa sudah berdiri di sana. Mereka sedang menunggu meja di depannya kosong untuk kemudian segera di tempati.
"Kita mau duduk di mana ini, Ra?" tanya Hilda tanpa menatap gadis yang diajaknya bicara. Dia sibuk memankang-manjangkan leher, berharap masih ada kursi kosong untuk tempat duduk mereka berdua. Tak sadar jika lawan bicaranya tak lagi berada di sampingnya.
Rora sedang mengantre untuk memesan makanan. Sesekali dia memutar lehernya untuk memastikan gilirannya tinggal sedikit lagi. Namun, sayangnya hitungannya tetap sama, tak berubah satu pun karena pengantre di depan masih belum bergerak. Siswa perempuan yang dia tidak tahu namanya itu masih memesan. Entah seberapa banyak pesanannya sehingga dia masih belum beranjak padahal sudah lima menit berlalu.
Tepukan yang cukup kuat di bahunya membuat Rora urung untuk berjingkat. Dia menoleh ke samping, mengerutkan kening melihat Hilda yang menatapnya sambil berkacak pinggang.
"Gue ngomong sama lo ternyata lo nya di sini. Gue jadi layak orang gila jadinya ngomong sendiri!" Mata Hilda membelalak lebar menatap Rora.
"Kok, gitu?" tanya Rora memprotes. "Emangnya nggak denger, ya, pas aku bilang mau antre dulu?"
Hilda mendengkus kasar. "Rora sayang, kalo gue denger, ya, nggak mungkinlah gue ngomong sendiri!" katanya penuh penekanan. "Lo tu emang dasar, ya, Ra, kayak jelangkung aja. Suka ngilang sesuka hati lo." Dua cemberut, pipinya menggembung.
"Rora, 'kan,.emang bangsa demit. Lu nya aja yang mau temenan sama dia."
Celetukan itu membuat Rora dan Hilda menoleh ke arah kanan mereka secara bersamaan. Wajah Ilham yang sok polos membuat keduanya cepat memalingkan muka, tak ingin tertipu seperti para adik kelas mereka.
"Muka polos lo nggak mempan sama gue, Ham!" Hilda mendorong bahu Ilham gemas.
"Eh, dedek gemes gue, kok, ada di sini?" Arif datang-datang langsung memeluk bahu Rora, tanpa peduli keadaan sekitar yang penuh sesak.
Rora membelalak gemas. Tangannya terangkat menoyor kepala Arif. "Nggak tau malu banget, sih!" protesnya menjauhkan tangan Arif yang berada di bahunya.
"Lu, 'kan, adek gue, Cebol. Terus salah gitu Abang meluk adeknya?" tanya Arif berusaha kembali menekuk Rora.
"Tangan dikondisikan, ya, Rif!"
Tanpa melihat pun mereka sudah tahu siapa pemilik suara itu. Arif cepat-cepat menjauhkan tangannya dari bahu Rora, cengengesan menatap Resky yang kini sudah berdiri tepat di belakang Rora.
"Pawangnya datang!" Ilham tertawa. "Ngalah dah lu, Rif. Lu cuman Abang, lah si Resky pawang."
"Dih, apaan, sih!" Rora mengerucutkan bibirnya, pura-pura kesal dengan kehadiran Resky. Dia menjauh satu langkah, padahal di dalam hati bersorak karena pemuda itu tetap menghampirinya. Berarti yang dikatakannya di kelasnya tadi pagi memang benar, dia tidak memiliki hubungan dengan Raysa. Buktinya, Resky lebih untuk bergabung bersamanya, dan membiarkan Raysa hanya berdua dengan Imelda, sahabatnya.
"Lah, kok?" Arif menaikkan sepasang alisnya melihat tingkah Rora. "Kalian berantem?" tanyanya heran. Ditatapnya Ilham untuk meminta penjelasan, tapi tidak mendapatkan apa-apa. Ilham juga mengedikkan bahu.
"Tau, ah!" Rora makin menjauhi Resky. Dia maju satu langkah lagi karena siswa di depannya juga maju. Mereka nasih berada di dalam antrean.
"Ada masalah apa, Ky?" tanya Ilham berbisik. Ia berdiri di samping Resky yang tak bergerak sedikit pun dari posisinya.
Ini adalah pertama kali Rita menjauhinya. Selama ini, mereka selaku bersama saat jam istirahat. Meskipun berbeda kelas, mereka akan bergantian untuk mengunjungi. Sikap Rora yang mendiamkannya hari ini membuatnya bingung. Apakah ada sesuatu yang salah yang sudah dilakukannya pada gadis itu?
"Lu ngapain bengong aja?" tanya Arif mendorong bahu Resky gemas. "Samperin sana!" katanya mendorong punggung Resky lebih kuat sehingga pemuda itu terdorong ke depan tepat di samping Rora.
"Maaf, Ra!" pinta Resky serba salah. Ia masih memikirkan apa kesalahannya pada Rora, tapi Arif sudah bertindak saja. Ia membelalak gemas pada Arif, mengancamnya melalui tatapan mata. "Arif, nih, apaan, sih?"
"Gue nggak ngapa-ngapain, ya, Nyet!" Arif membela diri. "Bukan gue tadi pagi yang datang barengan Raysa." Ia sengaja mengeraskan suara agar Raysa yang duduk di meja yang berada tengah-tengah kantin juga mendengar perkataannya. "Terus pake peluk-pelukan segala lagi. Nggak sadar lu kalo gosip lu pacaran sama Raysa udah nyebar ke seantero sekolah?"
"Hah? Maksud kamu apaan, Rif?" tanya Resky bingung. Matanya mengerjap beberapa kali, menatap sahabatnya meminta jawaban. Ia dan Raysa tidak memiliki hubungan apa-apa selain pertemanan. Menjemput gadis itu tadi pagi pun karena Raysa yang memaksanya.
"Hilih! Masih aja nggak sadar." Arif memutar bola mata. "Jangan mau dideketin Resky lagi, Ra. Ntar lu dikatain tukang rebut cowok orang!" Ia makin mengompori Rora.
Resky mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya. Apa-apaan gosip seperti itu, siapa yang menyebarkan? Resky melihat Rora menjauh dari antrean, gadis itu sudah selesai memesan. Dia membawa pesanannya dan Hilda dengan Arif dan Ilham yang mengekori keduanya di belakang. Mereka semua meninggalkannya sendirian mengantre makanan.
***
Rasanya memang sangat tidak bertanggung jawab meminta Raysa untuk pulang ikut dengan Ilham atau Arif, tapi ia tak punya pilihan lain. Ia tak ingin gosip tentang hubungan mereka semakin merebak. Bukannya tak punya hati sehingga seolah ia melemparkan tanggung jawab pada orang lain, tapi sekali pagi ia harus meredam.gosip antara mereka. Tak ingin Rora semakin salah paham adalah alasan utama Resky melalukannya. Baiklah, katakan saja ia egois, ia tidak akan menyangkal. Namun, apa salah sekali-sekali bertindak egois untuk kepentingan dirinya sendiri. Benar kata Arif dan Ilham, selama ini ia terlalu baik, selalu mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri.
"Sorry, Sa, tapi aku nggak bisa."
Raysa cemberut. Wajah cantiknya memerah menahan tangis. Dia tidak mau pulang bersama Arif, apalagi bersama Ilham. Bukan karena kedua pemuda itu tidak tampan, melainkan karena tak ingin ada gosip baru yang tersebar. Dia tak ingin gosipnya bersama Resky digantikan dengan gosip tak jelas bersama Ilham atau Arif.
"Aku nggak mau ada gosip nggak jelas soal kita," kata Resky melanjutkan. "Aku nggak mau ada yang salah paham."
"Siapa?" tanya Raysa setengah berteriak. Suaranya serak. "Nggak ada yang salah paham, Ky."
Resky mengembuskan napas pelan malalui mulut. Raysa memang sangat keras kepala, mungkin karena dia anak tunggal dan semua keinginannya selalu dituruti sehingga pada orang lain pun dia juga memaksakan keinginannya. Namun, dia benar-benar tidak bisa, dan Raysa harus menerima keputusannya.
"Paling cuman cewek manja itu aja yang salah paham." Raysa mencibir. Tak Sudi dia menyebut nama Rora.
"Siapa yang maksud kamu cewek manja, Sa?" tanya Resky. Ia sudah tahu jika yang dimaksud Raysa adalah Rora, dan jujur saja ia keberatan dengan itu Ia mengenai Rora dengan baik, dan tahu gadis itu tidak seperti yang disebutkan Raysa. "Rora nggak kayak gitu."
Raysa mengepalkan kedua tangan yang tersimpan di kedua sisi tubuhnya. "Kenapa, sih, kamu selalu belain dia, Ky?" tanyanya dengan nada yang masih tinggi. "Apa bagusnya dia dibanding aku? Asal kamu tau, aku juga bisa kayak dia!"
Resky menggeleng. Raysa lagi-lagi salah paham. "Kamu nggak perlu jadi orang lain, Sa," katanya sabar. "Cukup jadi diri kamu sendiri aja tanpa harus bohong sama orang lain."
Raysa menggeleng, mengakibatkan dua bulir bening menuruni pipinya yang mulus. Dia kalah, sudah berusaha setengah mati menhan diri agar tidak menangis, tapi air matanya tetap saja tumpah. Tak dihiraukannya beberapa siswa yang mengambil kendaraan mereka, memperhatikannya. Sekarang sudah waktunya pulang, jam pelajaran sudah berakhir beberapa menit yang lalu. Bel penanda waktu belajar mengajar usai sudah berbunyi beberapa saat yang lalu. Sebenarnya sidah dari kelas tadi Resky memberi tahu tidak bisa mengantarkannya pulang, tapi dia bersikeras mengikutinya sampai ke tempat parkir roda dua di mana Resky memarkirkan motor matiknya.
Di tempat parkir ini Resky kembali mengatakan bahwa dia lebih baik ikut Arif atau Ilham saja karena pemuda itu tidak.bisa mengantarkannya pulang. Alasan konyol Resky tidak dapat diterimanya. Dia yakin, pasti gadis kecentilan itu yang memaksa Resky untuk tidak pulang bersamanya.
"Pasti dia, 'kan, yang ngelarang kamu buat nganterin aku pulang?" Raysa melancarkan tuduhannya. Kemarahannya memuncak karena Resky tetap bersikeras tidak mau mengantarkannya pulang. "Kenapa, sih, dia sirik banget sama aku?" Dia mengacak rambutnya frustasi. Beberapa helai rambutnya yang diikat ekor kuda terlihat menjuntai lepas dari ikatannya.
"Rora nggak ngomong hari ini sama aku, Sa. Please, kamu berhenti nyalahin dia." Resky menggeleng. "Lagian ini bukan soal Rora. Nggak cuman dia yang bakalan salah paham, tapi juga orang lain yang liat kita."
"Coba kalo dia yang minta, pasti kamu nggak masalah, 'kan, nganterin pulang?" Raysa masih saja memprotes. Dia tetap tidak bisa terima Resky yang menolak mengantarkannya pulang. Dia tidak mau pulang diantar yang lain, kecuali Resky. Tadi pagi pemuda itu yang menjemputnya maka Resky juga yang harus mengantarkannya pulang ke rumah.
"Sebab nggak ada gosip macam-macam tentang aku sama Rora!" Resky meninggikan suaranya. Padahal ia tidak pernah menginginkan seperti ini, tapi Raysa sangat keras kepala, tidak bisa diberi tahu secara baik-baik. "Aku nggak mau ada berita yang nggak-nggak soal aku selama aku sekolah, Sa!"
Ilham dan Arif yang mendengarnya segera mendekat. Mereka tak ingin sahabat mereka yang selama ini terkenal kalem dan selalu mengalah, menjadi lepas kendali.
"Jadi, berhenti nyalahin orang lain karena nggak ada satu pun yang salah. Kamu ngerti?" tanya Resky penuh penekanan di setiap suku katanya. Wajahnya memerah, mengeras pertanda ia menahan amarah. Apalagi saat dilihatnya Rora meninggalkan pelataran parkir khusus roda dua bersama Hilda. Gadis itu benar-benar mengabaikannya seharian ini. "Liat diri kamu sendiri. Aku nggak mau tau pokoknya besok nggak boleh ada lagi berita-berita nggak benar soal kita, atau aku nggak mau temenan lagi sama kamu!"
Resky naik ke motornya, melajukannya dengan kencang meninggalkan tempat parkir. Tak memedulikan Raysa yang menangisi memanggilnya. Ia sudah bosan terhadap sikap Raysa yang sellau seenaknya. Ia yakin, pasti gadis itu yang menyebarkan gosip tentang hubungan mereka agar Rora menjauhinya, dan sepertinya dia berhasil.
Astaga! Ini sangat menyebalkan..Ia harus menjelaskan duanya pada Rora, bahwa hubungannya dengan Raysa tidak seperti yang tersebar. Rora harus mendengarkannya, dan harus percaya padanya.