Dering telepon yang berbunyi tidak mampu menutupi desahan, raungan dan kata – kata kotor yang berhamburan dalam ruangan. Seorang wanita dengan rok tersingkap utuh, sedang setengah berbaring di atas meja. Sementara pria yang sedang bergumul bersamanya, menolak untuk menjawab panggilan dari entah siapa yang tampaknya gigih sekali menghubungi sang pemilik ruangan.
Wanita itu tidak lagi mampu bicara, ketika sepasang buah dadanya yang terekspos kini dalam kuasa Lucky, pria yang tengah bercinta dengannya.
“Jangan keluar dulu, Ya!” Perintah Lucky yang terus menggerakan pinggulnya menghantam bagian inti milik Daya, wanita yang tengah mendesah pasrah di atas meja kerjanya.
“Ss—saya—aahh.” Daya melenguh panjang, tanda bahwa pelepasannya sedang berlangsung.
Lucky tersenyum penuh kemenangan ketika melihat perempuan yang tak lain adalah sekretarisnya itu kini sedang merasakan puncak yang dia berikan. Tidak ada yang lebih membanggakan bagi seorang pria yang mampu memuaskan pasangannya ketika bercinta.
Dengan mata terpejam, Daya merasakan semburan hangat dalam rahimnya ketika Lucky turut mengejar pelepasan yang telah dia rasakan.
Telepon di meja Lucky berhenti, membuat dirinya tersenyum kecil meremehkan pada siapapun yang kini menyerah menghubungi.
Daya kepayahan, bahkan ketika Lucky sudah memisahkan diri darinya. Bos muda itu membereskan kekacauan yang mereka buat. Meraup celana dalam renda berwarna putih dan meletakkannya di atas d**a Daya yang masih terbuka.
Suara orang – orang berbicara di depan ruangan Lucky, membuat Daya kembali pada realitas dan segera merapikan pakaiannya. Baru saja Lucky memerintahkan untuk membereskan meja kerja, pintu itu diketuk dengan sangat keras. Seolah yang mengetuk tidak memiliki waktu untuk menunggu.
Dengan gusar, Lucky berlari menuju pintu untuk mencari tahu, siapa yang ingin membuatnya kesal.
Pintu menjeblak terbuka tepat ketika Lucky memutar handle. Monika, wanita yang berstatus tunangannya tengah menatap dengan wajah geram. Terlebih, ketika dilihatnya Daya sedang menunduk dengan penampilan kacau di belakang Lucky.
“Dasar p*****r!” Monika berlari menyerang Daya.
Di belakangnya, beberapa pria berjas hitam memegang tangan Lucky yang hendak melindungi Daya.
Tamparan, jambakan dan caci maki dirasakan Daya yang kini pasrah mendapatkan amarah Monika.
“GUE PERCAYA SAMA ELO YA! INI YANG LO LAKUKAN KE GUE? LO RAYU JUGA CALON SUAMI GUE!” Monika yang berang, terus menampar Daya dan memojokannya ke sudut ruangan.
“Ampun, Bu!” Rintih Daya yang kini merasakan asin darah di bibirnya yang tergigit.
“Kurang ajar! p*****r miskin rendahan!” Caci maki terus Monika layangkan, hingga Daya terduduk tak berdaya di dinding.
Monika bahkan menendang kaki dan pinggulnya dengan membabi buta. Beberapa karyawan yang mendengar keributan ikut mengintip dari pintu ruangan Lucky. Sementara pria itu kehabisan tenaga setelah berontak mati – matian dari empat bodyguard yang dibawa Monika.
“Pergi lo! Jangan pernah tampakkin muka hina lo di depan gue dan Lucky!” Monika pergi setelah puas melampiaskan marah, menampar wajah Lucky sekali dan meminta salah satu bodyguard yang dibawanya untuk mengusir Daya keluar dari gedung ini.
Daya melangkah pergi dari gedung itu setelah ditarik paksa oleh pria berbadan tegap dari ruangan bosnya, dengan setengah menyeret kedua kakinya yang tak beralas. Tatapan orang – orang yang melihatnya iba, penuh tanya hingga prasangka tak mampu membuat Daya menahan bendungan air mata. Ia menangis. Bukan hanya karena sakit di tubuhnya, namun hinaan yang dilayangkan Monika dan penyesalan tak terkira karena telah merayu Lucky. Salah satu pria baik yang dikenalnya.
Kalau saja ia bisa menolak bisikan setan berwujud manusia yang tinggal dengannya. Kalau saja ia mampu mengatakan tidak untuk permintaan tidak masuk akal yang merusak nurani juga harga dirinya. Dan kalau saja – kalau saja yang lain, yang membuat dadanya sesak tak terkira. Kehilangan pekerjaan, mudah bagi Daya untuk mencari ganti. Namun, kehilangan nama baik serta kepercayaan orang – orang itulah yang membuatnya tidak bisa berhenti menyesali diri.
Dan Monica bukanlah seorang wanita biasa. Ia lahir dalam kalangan pebisnis dan memiliki relasi di mana – mana. Dengan skandal yang menerpa dirinya, Daya dapat menebak bahwa pintu karirnya tengah menutup perlahan tapi pasti. Kini ia merasa tidak memiliki harapan lagi.
Pikirannya buntu, Daya tidak dapat menemukan solusi untuk melanjutkan hidupnya bahkan untuk satu hari lagi. Ia melangkahkan kaki tanpa arah, mengikuti gerak lambat kemanapun kakinya menuju. Hingga ia tiba di sisi jalan pintu kereta yang menutup perlahan. Menahan ratusan kendaraan yang hendak menyebrang ke jalanan di depan sana.
Jika dengan mati semua perasaan menyiksa ini menghilang, itu lebih baik bagiku.
Pelan – pelan, Daya berjalan maju melewati orang – orang yang tengah menunggu kereta lewat. Beberapa orang melihatnya dengan tatapan bingung. Hingga dirinya berada di balik palang, Daya membungkukkan badan untuk melewati palang yang menghalangi kendaraan untuk melanjutkan perjalanan.
Seorang pria berusaha memperingatkannya.
“Mbaaakkk, itu keretanya mau lewat Mbaakkk. Tahan , woy itu tahan!” Riuh suara orang – orang di sekitarnya membuat Daya memejamkan mata, namun tidak berhenti melangkah maju.
Hingga seseorang menyambar tubuhnya dan menarik Daya menjauhi badan kereta yang melintas dengan cepat, tersadar ia akan realita. Seorang petugas penjaga palang pintu kereta tengah menahan sakit karena menyelamatkannya dari tersambar kereta yang baru saja lewat.
Beberapa orang bergerak untuk membantu mereka berdua. Tangis Daya kembali pecah, membuat orang – orang menatap iba dan berusaha menenangkannya. Hingga suara seseorang yang memanggil namanya membuat Daya tersadar.
“Daya? Misi, misi Bu. Itu temen saya. Daya? Dayaaaa!” Ia terperanjat dan mencoba mencari sumber suara ke segala arah. “Dayaaaa? Ya ampun Dayaaaa. Elo kenapaaa?”
Seorang perempuan cantik berambut cokelat merangsek maju melewati kerumunan, Daya melihat wajahnya dan seketika airmatanya kembali mengembang.
“Siska?”
Isaknya pecah, tatkala Siska meraih bahu dan memeluknya erat.
•••