Wangi semerbak hutan pinus menyerbu indra penciuman Vena ketika Nick membuka pintu kamar yang akan mereka tempati. Jika kau berpikir mereka menginap di satu kamar yang sama, kau benar. Nick adalah tamu VVIP di hotel tempat mereka menginap, dia memilih presidential suite untuk kamar mereka. Nick menempati kamar tidur yang langsung berhadapan dengan ruang tamu, sementara Vena menempati kamar tidur ketiga yang berdekatan dengan dapur. Vena yang memilih sendiri, dia selalu merasa aman bila dekat dengan dapur. Maksudnya, perutnya yang aman, sangat aman.
Vena mengamati sekeliling kamar tidurnya. Ini adalah kali pertama dia menginap di hotel, dan langsung di kamar paling mewah. Hidungnya menghidu, menyimpan aroma kamar di memori otaknya. Senyum mengembang di bibirnya yang tanpa polesan mendapati sebuah televisi terletak beberapa meter di depan tempat tidur berukuran king size. Kamar ini juga sangat luas, ada kamar mandi pribadi di setiap kamar tidur –itu yang dikatakan Nick tadi.
Vena melangkah ke arah sofa, meletakkan tas tangannya di atas meja sebelum duduk di salah satu single sofa. Punggungnya menempel pada sandaran sofa saat mata birunya kembali mengamati keadaan kamar. Selain memiliki kamar mandi pribadi, setiap kamar tidur juga dilengkapi dengan satu set sofa. Kamar ini benar-benar keren menurut Vena, sudah memiliki ruang tamu dan dapur berbeda ditambah dengan saru set sofa di dalam setiap kamar tidurnya. Kamar ini lebih lengkap dan mewah dari apartemennya.
Decakan keluar dari mulut mungil Vena. Dia salah membandingkan presidential suite room di hotel berbintang ini dengan apartemennya yang biasa-biasa saja. Apartemennya bukanlah apartemen mewah, tapi juga bukan apartemen bobrok apalagi kumuh. Apartemennya adalah jenis apartemen standard dengan fasilitas yang lumayan lengkap. Dua buah kamar tidur dengan kamar mandi pribadi di setiap kamar, dilengkapi bathub dan keran shower itu sudah lebih dari cukup baginya. Yang lebih penting lagi, apartemen itu adalah miliknya. Dia membelinya dengan gaji yang diterimanya dari Nick. Sangat keren, bukan? Di saat wanita lain seusianya masih belum memiliki apartemen sendiri –kebanyakan mengontrak– dia justru sudah memilikinya.
Vena memejamkan mata, mendongak, dan meletakkan kepala di atas kepala sofa. Hanya beberapa detik, mata birunya kembali terbuka. Vena menarik napas, mengagumi interior langit-langit kamar yang mewah. Warnanya paduan dari warna putih dan kuning keemasan. Warna putih itu bisa diibaratkan awan, sementara kuning keemasan adalah sinar matahari yang bersinar lembut dan hangat. Dia tak merasa terganggu sama sekali saat memandang langit-langit.
Vena mengalihkan tatapan pada ponselnya yang diletakkan di atas meja setelah mendengar benda itu berbunyi sekali. Dia meraihnya, memeriksa pesan yang masuk. Pesan yang dikirim oleh Nick.
Tidurlah sekarang, Miss Curly. Kau bisa memeriksa semua berkas penting yang kita perlukan untuk pertemuan saat bangun nanti.
Pertemuan akan dilangsungkan setelah makan siang.
Lagi-lagi Nick mengingatkannya jadwal pertemuan mereka besok. Vena tersenyum. Di balik sifatnya yang dingin dan acuh, ternyata Nick perhatian juga. Pipinya terasa memanas ketika pikiran itu singgah di benaknya. Nick memperhatikannya! Astaga, apakah dia bermimpi?
"Wake up, Vena! Too early to dream."
Vena meringis. Terlalu dini dia menyimpulkan. Untuk seorang perempuan seperti dirinya yang tidak terlihat menarik sama sekali, sangat bodoh jika dia berpikir Nick melakukan itu –mengingatkannya tentang jadwal mereka besok– karena memiliki perasaan lain yang lebih padanya. Sejak awal dia sudah tahu dan menyadari, dirinya tidak termasuk dalam kriteria wanita yang akan dikencani oleh Nicholas Craig.
Aku tidak ingin menggedor pintumu besok pagi hanya untuk membangunkanmu karena aku tidak akan sesabar Joseph.
Vena menelan ludah kasar. Pipinya kembali terasa terbakar. Nick mengingatkannya pada kejadian tadi sore yang sangat memalukan. Dia sudah berusaha untuk tidak mengingatnya, dan pesan Nick yang baru saja memasuki ponselnya membuat usahanya untuk melupakan kejadian itu gagal total. Selain malu, dia juga merasa bersalah pada Joseph karena sudah membuatnya menunggu di depan pintu entah untuk waktu berapa lama.
Baik, Pak. Saya akan tidur sekarang.
Selamat malam.
Vena menunggu beberapa saat sebelum bangun dan melangkah ke kamar mandi untuk mencuci muka dan kakinya. Wangi khas kamar mandi mewah tak bisa menahan Vena berlama-lama di dalam kamar mandi, dia segera keluar begitu rutinitas malamnya selesai. Sekali lagi Vena memeriksa ponsel. Duduk di sisi tempat tidur sebelah kiri dan mengambil ponsel yang tadi diletakkannya di atas nakas. Vena meringis, merasa sangat bodoh karena berharap Nick akan membalas pesannya, mengucapkan selamat malam juga.
"Berhenti bermimpi, Vena! Kau bukan tipe perempuan idaman Nicholas Craig. Jangan mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin."
Vena menggeleng beberapa kali, mengembalikan ponsel ke atas nakas, kemudian membongkar isi koper bawaannya. Di koper yang lebih besar dia tidak menemukan sepotong pun piyama atau jenis pakaian lain yang biasa digunakan untuk tidur, hanya ada pakaian formal untuk bekerja saja. Vena baru ingat jika dia menyimpan pakaian tidur beserta lingerie tipis dan seksinya di koper yang lebih kecil. Pipinya terasa memanas ketika membuka koper yang berukiran lebih kecil dan menemukan apa yang dia cari.
Dengan tangan gemetar Vena mengambil lingerie kemudian membawanya ke depan cermin. Vena mematut dirinya di depan cermin besar, berkali-kali berputar dengan sebuah lingerie berwarna hitam ditempelkan ke tubuhnya. Vena tersenyum dengan pipi yang kembali terasa terbakar, dia dapat melihatnya di dalam cermin jika pipinya merah sampai ke telinga. Membayangkan dirinya dalam balutan lingerie super tipis berduaan di dalam kamar Nick, di atas ranjangnya. Kemudian Nick merobek gaun tidur super tipisnya, dan mereka mendesah bersama.
Vena menggeleng kuat sambil menggigit bibir. Astaga! Khayalannya terlalu tinggi dan liar, sampai-sampai bagian bawahnya terasa basah. Vena mengerang, kesal karena hanya dengan membayangkan itu saja dia bisa terhempas. Sialan! Buru-buru dia kembali ke kamar mandi, lingerie berwarna hitam transparan dilempar begitu saja.
Kamar mandi di malam hari tentu bukan solusi yang tepat. Suhunya lebih dingin dan tanpa pemanas. Meskipun musim semi, Vena tetap tidak akan mau jika disuruh untuk mandi di malam hari seperti ini. Sekarang pun demikian. Dia hanya membersihkan diri beberapa detik setelah itu kembali ke dalam kamar. Meskipun wangi kamar mandi membuat siapa pun yang menghidunya menjadi betah, dia lebih memilih tempat tidur sebagai tempat beristirahat ternyaman.
Sepasang piyama berwarna ungu lembut sekarang melekat di tubuh Vena. Dia duduk di atas tempat tidur, punggungnya melekat pada kepala ranjang dengan kepala mendongak. Di otaknya masih berputar kejadian beberapa saat yang lalu saat dia bercermin bersama si nakal lingerie. Well, dia benar-benar harus menggunakan lingerie itu sebagaimana fungsinya. Tidak malam ini, mungkin besok malam atau malam berikutnya. Masih ada kesempatan beberapa malam untuknya, dan dia benar-benar akan melakukannya –menggoda Nick dengan lingerienya.
***
Kasur yang empuk dan nyaman akan membuat tidur kita lebih nyenyak. Itu juga yang terjadi pada Vena. Dia bangun sedikit lebih siang dari biasanya. Bukan hanya karena tidurnya yang lebih malam dari biasanya, tetapi juga karena kasur yang sangat empuk. Berbeda dengan kasur di apartemennya yang agak lebih keras dibandingkan kasur yang sekarang dia tiduri. Seandainya ponselnya tidak berbunyi juga ketukan di pintu kamarnya, mungkin Vena masih menempel pada tempat tidurnya yang super nyaman.
Nicholas Craig membangunnya pukul setengah tujuh pagi, tiga puluh menit lebih lama dari waktu biasa dia bangun di pagi hari. Tak ingin menyalahkan tempat tidur hotel, Vena bergegas bangun, dan menuju kamar mandi dengan setengah berlari. Sebelumnya dia berseru menjawab ketukan di pintunya yang siapa lagi melakukan jika bukan Nick.
"Aku sudah bangun, Pak!"
Vena langsung menutup kamar mandi dan melepas semua yang melekat di tubuhnya. Lima menit kemudian dia sudah keluar dari kamar mandi dengan mengenakan jubah mandi dan handuk yang membungkus rambut pirangnya. Vena menuju nakas, memeriksa ponsel seperti kebiasaannya selama ini, bahkan biasanya dia akan langsung memeriksa ponsel begitu membuka mata. Jantungnya berdegup dua kali lipat lebih cepat. Nick kembali mengiriminya pesan dengan kata-kata penuh perhatian.
Penuh perhatian?
Vena meringis dengan kata-kata itu. Semua yang dilakukan Nick selalu diartikan ya sebagai perhatian pria itu, padahal –sekali lagi– dia sungguh mengetahui jika dia bukanlah tipe perempuan yang akan diberikan Nick perhatian itu. Satu lagi, Nick bukan pria seperti itu. Dia pria dingin n dan tidak peduli pada perempuan mana pun. Itu kesimpulan dari yang selama ini dilihatnya. Bekerja selama satu tahun lebih sebagai sekretaris pribadi seorang Nicholas Craig membuatnya mengetahui sedikit banyak sifat pria itu. Vena sering memergoki Nick sedang ditunggangi oleh seorang wanita yang nyaris telanjang. Well, dia melakukan itu tanpa sengaja. Seandainya tahu jika bosnya sedang saling berbagi kepuasan, tak akan dia memasuki ruangannya. Untuk apa melihat sesuatu yang menyakitkan? Tidak da perempuan yang ingin melihat pria yang disukainya bercinta dengan perempuan lain.
Jika kau sudah selesai mandi, cepatlah sarapan.
Koki di hotel ini sangat hebat, masakannya enak.
Ada sekelompok pemain orkestra yang sedang memainkan musik di dalam hatinya. Vena menyentuh dadanya yang semakin berdentum keras. Menahannya agar jantungnya tidak melompat keluar. Dengan pakaian formal khas seorang wanita pekerja kantoran seperti biasanya, Vena keluar kamar. Tujuan utamanya adalah dapur, tempat di mana Nick sudah menunggunya.
"Selamat pagi, Miss Curly," sapa Nick tanpa intonasi –datar. 'Kupikir kau tidak akan keluar dari kamarmu pagi ini."
Vena berdehem sekali sebelum mengambil tempat –duduk– di depan Nick. "Ma-maafkan aku, Pak. A-aku kesiangan." Dia menundukkan kepala dalam. Rambut pirangnya yang masih basah terjuntai, jatuh dari bahunya. Vena merasakan dingin di bahunya, kelembapan rambutnya dapat menembus blouse yang dia kenakan –rambutnya belum sepenuhnya kering.
Nick tidak menyahut. Ia menyesap kopi yang masih mengepulkan uap sebelum menggigit sepotong sosis goreng, dan mengunyahnya. Mata biru yang tajam itu mengamati sekretarisnya yang pagi ini tampak berantakan. Outfit yang dikenakan Vena memang tapi seperti biasa, tapi rambut dan wajahnya tidak. Sepertinya Vena tidak menyisir rambutnya dengan benar, itu pun jika menyisirnya. Masih terlihat ada bagian rambut yang kusut di beberapa bagian. Lalu wajahnya, wajah dibingkai kacamata tebal itu tampak pucat. Entah dia terbiasa dengan tampilannya yang seperti itu atau mungkin lupa, tapi baginya yang terbiasa bersama wanita cantik dan berpenampilan terbuka, penampilan Vena pagi ini terlihat sedikit mengerikan.
"Apa kau tidak suka berdandan, Miss Curly?" tanya Nick membuka percakapan lagi. Padahal ia tidak suka bicara, tetapi melihat keadaan Vena memaksanya untuk bersuara. "Maksudku, merias wajah." Nick menggerakkan tangan mengelilingi wajahnya.
Vena menggigit bibir. Kepalanya masih tertunduk, dia belum berani untuk mengangkatnya. Ini adalah acara makan pertamanya bersama Nick. Selama menjabat sebagai sekertaris Nick, tak pernah sekalipun mereka makan bersama. Wajar jika dia gugup, detak jantungnya pun tidak bisa dikendalikan. Memompa dengan cepat sehingga dia merasakan seluruh tubuhnya memanas. Seandainya terus seperti ini, bisa-bisa dia pingsan.
Tadi dia buru-buru, tak ingin membuat Nick lebih lama menunggu. Vena sadar, menunggu adalah sesuatu yang sangat tidak menyenangkan, apalagi untuk seorang Nicholas Craig yang notabene adalah CEO di perusahaannya sendiri, dan harus menunggu sekretarisnya yang bangun tidur kesiangan. Bukan hanya memalukan bagi Vena, tapi ini sudah keterlaluan.
Vena mengangguk, tapi sedetik kemudian dia menggeleng. "A-aku tadi ingin cepat-cepat, jadi tidak sempat," jawabnya terbata. Vena mengerang kesal dalam hati, memaki dirinya yang selalu saja gugup bila di depan Nick.
Nick hanya menggumam. Ia lebih memilih untuk menghabiskan sarapannya ketimbang harus menanggapi jawaban Vena yang sangat membosankan. Jujur saja, ia kurang nyaman dengan Vena sebagai sekretarisnya. Penampilannya yang tidak menarik selalu dipandang sebelah mata oleh para pesaing perusahaannya. Meskipun Vena selalu berhasil mematahkan argumen mereka dan memenangkan tender, tetap saja rasanya ada yang kurang. Ia memang bangga pada Vena, tapi penampilannya sangat mengganggu.
Tangan Vena gemetar menusuk bakon dan membawanya ke mulut. Dia mengunyah perlahan, bukan untuk meresapi daging asap yang terasa meleleh di mulutnya, melainkan karena takut jika Nick memarahinya. Memang kedengarannya seperti sesuatu yang mustahil, setahun lebih bekerja di perusahaannya, Vena tak pernah dimarahi. Nick selalu puas dengan hasil kerjanya, dia.selalu mendapatkan pujian. Namun, siapa tahu seandainya Nick berubah pikiran, atau mungkin ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, dan Nick melampiaskan padanya.
Vena menggeleng. Ketakutannya terlalu berlebihan. Dia tidak memiliki alasan untuk menuduh Nick seperti itu. Lihatlah, betapa tenangnya dia menyantap sarapannya. Nick terlihat seperti seseorang yang sangat menikmati hidangan di depannya. Vena urung memasukkan sepotong sosis goreng ke mulutnya, dia lebih memilih untuk menikmati wajah tampan Nick yang tampak segar di pagi hari. Rambut pirang yang terlihat lembap dan begitu lembut bila disentuh. Aroma shampo manly menguar dari rambut itu, begitu kuat sampai-sampai tercium dari jarak satu meter. Ataukah hanya penciumannya saja yang menajam setiap berada di dekat Nick?
Suara deheman Nick menyadarkan Vena jika dia sudah benar-benar berhenti dari kegiatan sarapannya. Kedua tangannya tidak lagi memegang garpu dan pisau, tetapi menopang dagu dengan siku bertumpu pada meja, tatapan lurus ke depan mengarah pada Nick.
"Sebaiknya kau habiskan sarapanmu, Miss Curly, karena kau tidak akan kenyang hanya dengan menatapku."