Bab 7

2021 Words
Suara ketukan di pintu dan bunyi bel bersahutan terdengar samar di telinganya. Tubuh mungil yang hanya mengenakan jubah mandi sedikit bergerak, tapi tidak membuka mata. Tubuh itu bergerak hanya untuk menyamankan posisi, kemudian kembali bernapas teratur tanda seseorang yang sedang lelap. Beberapa saat tidak terdengar lagi suara gaduh tadi, sekarang suara ponsel yang berbunyi nyaring disertai getaran yang lumayan kuat. Tubuh itu kembali bergerak. Getaran dari ponsel yang diletakkan di sebelah bantal mengganggunya. Perlahan mata biru itu terbuka. Awalnya hanya sedikit, tapi segera melebar setelah tangannya meraih ponsel dan melihat nama yang tertera di layar. Nicholas Craig yang menghubunginya. Segera Vena duduk, menempelkan ponsel ke telinga setelah menggulir ikon berwarna hijau ke atas. "Aku tidak tahu apa yang kau lakukan, Miss Curly, sehingga Joseph kau biarkan menunggu dan mengetuk pintu apartemenmu selama lima belas menit tanpa kau membukakan pintunya." Suara besar dan dalam itu seketika membuat kantuk Vena lenyap. Mata birunya liar menyapu seluruh ruangan, mencari keberadaan jam dinding. Vena mengerang tanpa suara menyadari dia tidak memasang penunjuk waktu itu di dalam kamarnya. Dia sudah memiliki jam digital dan baginya itu sudah cukup sehingga tidak ada jam dinding di kamarnya. "Ma-maafkan aku, Pak," kata Vena gugup. "Aku ke-ketiduran. Aku tak sengaja melakukannya. Astaga, aku mohon maafkan aku." Vena terengah menjelaskan. Dia takut Nick akan memecatnya karena kelalaiannya ini. Terdengar embusan napas kuat dari seberang sana sebelum suara Nick kembali memasuki indra pendengaran Vena. "Kutunggu lima menit lagi, jika kau masih belum keluar maka aku akan meminta Joseph untuk pergi dari depan apartemenmu!" Vena menggeleng cepat mendengar ancaman Nick. "Bisakah Anda memberikan waktu sepuluh menit, Pak?" tanyanya berusaha menawar. "Aku sedang tidak mengenakan apa-apa selain jubah mandi. Aku perlu berpakaian dan kupikir ditambah dengan perjalanan ke kantor memerlukan waktu lebih dari lima menit." Nick berdecak di seberang sana. Vena dapat dengan jelas mendengarnya. Dia tidak tahu apakah kata-katanya diartikan sebagai godaan terhadapnya atau tidak, yang pasti dia tidak sengaja. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya, secara spontan. "Waktu sepuluh menitmu itu dimulai dari sekarang, Miss Curly!" Vena memekik saling gembiranya karena Nick mau memberikan waktu lebih banyak. "Terima kasih, Pak!" serunya. Lima menit yang berharga, bahkan Vena tidak sadar Nick sudah memutuskan sambungan setelah memberikannya tenggat waktu. Tergesa Vena turun dari tempat tidur sampai nyaris limbung. Dia terlalu antusias dan takut mendapatkan telepon dari pria yang disukainya, sampai-sampai tidak menyadari kepalanya yang sedikit berdenyut. Kebiasaan saat bangun tidurnya ternyata tetap berlaku meskipun dia sedang berada di bawah tekanan. Vena memijit pelipis sambil melangkah menuju lemari. Menanggalkan jubah mandi dan mengenakan pakaian dengan cepat. Dia memerlukan waktu satu menit untuk merias wajah, satu menit untuk memasukkan sisa pakaian –termasuk dia set baju tidur nakal yang dibelinya tadi siang– ke dalam koper yang lebih kecil. Vena meraih kacamata dan memasangnya sebelum menyeret koper keluar kamar. Apa yang dikatakan Nick benar, Joseph berdiri di depan pintu apartemennya. Entah sejak kapan, tapi sepertinya sudah lama. Joseph segera mengambil alih kedua kopernya saat dia mengunci pintu apartemen. "Terima kasih," kata Vena. Dia mengembangkan senyum manis untuk menambah ungkapan terima kasihnya. "Tidak masalah, Miss Curly. Ini sudah tugas saya," sahut Joseph. Ia menyeret kedua koper Vena menjauhi unitnya. Vena mengekor di belakangnya. "Maafkan aku sudah membuatmu menunggu, Josh," kata Vena lirih. Dia sungguh menyesalinya. "Aku tertidur sehingga tidak mendengar kau mengetuk pintu. Sungguh, aku tidak sengaja melakukannya." Joseph adalah sopir dari Nicholas Craig, dan bosnya tidak pernah meminta maaf meskipun sudah membuatnya menunggu berapa lama pun. Permintaan maaf Vena terdengar sedikit aneh di telinganya karena baru sekali ini ia mendengarnya. Nick sering memintanya menjemput wanita-wanita yang akan berkencan dengannya, dan mereka –wanita-wanita itu– juga sering terlambat, tapi tak ada satu pun dari mereka yang mengucapkan kata maaf. Permintaan maaf Vena adalah yang pertama baginya. "Tidak apa-apa, Miss Curly. Sungguh." Joseph merasa tidak enak. "Aku sudah terbiasa menunggu. Lagipula, ini memang pekerjaanku." "Memang pekerjaanmu, tapi aku tetap harus meminta maaf karena sudah membuatmu menunggu," sahut Vena. Dia berhenti sebentar untuk membenarkan tatanan rambutnya. Tadi dia mengikatnya asal saja, tanpa bercermin. Yang penting rambut pirangnya rapi dan tidak tergerai. "Aku yang bersalah, Josh." "Benarkah?" tanya Josh sambil memasukkan kedua koper Vena di bagasi mobil, kemudian membukakan pintu untuknya. "Terima kasih." Lagi-lagi ia mendengar dua kata itu. Dua kata yang nyaris tak pernah didengarnya lagi sejak ia bekerja pada Nicholas Craig. Nick seorang pria arogan, Joseph tahu hal itu. Bos tampannya tidak akan pernah mengucapkan terima kasih apalagi maaf, kecuali matahari terbit di sebelah barat –mungkin. Dua kata itu seolah terlarang dari mulut Nick. Begitu juga dengan para wanita teman kencannya. Mereka memperlakukannya –kadang– lebih buruk dari Nick. Bosnya tidak pernah membentak, hanya mengatakan sesuatu yang penting dan tanpa pengulangan. Sementara para wanita itu sangat sering membentaknya, atau mengatakan sesuatu yang merendahkan. "Untuk spa Anda mengucapkan terima kasih, Miss Curly?" tanya Joseph setelah mobil melaju di jalan raya. Berbaur dengan ratusan mobil lainnya. "Sebab kau sudah membantuku, tentu saja!" sahut Vena. Tangannya kembali merapikan rambutnya yang dinilai masih –sedikit– berantakan. "Masa hal seperti itu saja kau tidak tahu?" Joseph diam. Ia tahu, tapi semenjak bekerja pada Nick, kata-kata seperti itu tenggelam. "Terima kasih biasanya dikatakan pada seseorang yang sudah melakukan sesuatu untuk kita. Contohnya seperti kau tadi yang sudah membantu membawakan koperku. Aku harus mengucapkan terima kasih padamu." "Harus?" Joseph mengulang perkataan Vena. "Tidak juga." Vena menggeleng. "Di zaman sekarang ini, sebagian besar masyarakat sudah melupakan tata krama itu. Mereka tidak mengatakan terima kasih untuk seseorang yang sudah membantunya, atau mengatakan maaf karena sudah melakukan kesalahan." "Apakah mengatakan maaf juga harus?" Joseph melirik Vena sekilas melalui kaca spion ketika bertanya Vena mengedikkan bahu. "Entahlah. Aku tidak tahu, Josh." Kepalanya menggeleng. Vena membetulkan letak kacamatanya sebelum meneruskan. "Sama saja seperti terima kasih tadi, kata maaf juga seolah terlarang diucapkan orang-orang kaya." "Anda benar, Miss Curly." Joseph tertawa. "Kata-kata itu adalah kata-kata terlarang bagi orang-orang berduit." Vena hanya menanggapi dengan senyum. Dia menggeleng lagi beberapa kali. "Kita sudah sampai, Miss Curly." Mobil berhenti di depan sebuah rumah yang sangat besar. Saking besarnya Vena sampai menyimpulkannya sebagai sebuah istana. Nicholas Craig keluar dari dalam rumah dan langsung memasuki mobil yang ditumpangi Vena, duduk di sebelahnya. Apa yang dilakukannya sukses membuat Vena menahan napas. Dia tidak menyangka hal ini akan terjadi, duduk berdampingan bersama Nick hanya terjadi di dalam mimpinya selama ini. Vena membuang muka, melihat ke luar jendela mobil, dia menyembunyikan rona merah di pipinya. Pemandangan di luar mobil menarik perhatian Vena. Sejak kapan mereka melewati gerbang itu? Apakah tadi mereka –dia dan Joseph– juga melewatinya? Sepertinya dia tidak menyadari karena keasyikan mengobrol. Ternyata Joseph tidak sekaku yang dikatakan orang-orang, dia ramah dan hangat dalam obrolan. Dua menit kemudian mereka sudah melewati gerbang. Vena menoleh ke belakang, dia ingin melihat gerbang dari depan. Tidak ada tulisan apa-apa di atasnya. Nama keluarga Nick ditulis di pilar beton yang menyangga gerbang. Pilar itu berwarna hitam, entah karena cat atau memang warna batu yang menyusunnya memang berwarna demikian. Namun, warna itu terlihat sempurna disandingkan dengan warna kuning keemasan besi-besi gerbang. Benarkah warna kuning itu hanya warna dari cat, bukan emas sungguhan? Entahlah. Yang pasti perpaduan dua warna itu menghasilkan kesan misterius dan glamor di waktu bersamaan. Benar-benar mencerminkan seorang Nicholas Craig yang angkuh dan arogan. Lima belas menit, dan tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Tak ada suara yang terdengar di dalam mobil selain suara halus yang berasal dari mobil mahal Nick. Sebenarnya Vena tidak masalah dengan keadaan sepi seperti ini, dia sudah terbiasa dengan kesunyian. Di apartemennya dia tinggal seorang diri, dan dia sama sekali tidak masalah dengan itu. Kesunyian adalah temannya sejak dulu. Meskipun dia berada di tempat ramai sekalipun, dia tetap merasa sunyi, sepi karena tak ada seorang pun yang mau berteman dengannya. Namun, akan lain lagi ceritanya jika yang duduk di samping Vena adalah Nicholas Craig. Keadaan tanpa suara ini jadi terasa canggung. Beberapa kali Vena melirik Nick, tapi pria itu tak bereaksi. Nick bahkan tidak menjawab panggilan yang memasuki ponselnya. Setelah memeriksa siapa yang menghubungi, dia kembali memasukkan ponselnya ke saku bagian dalam jasnya. Apa yang dilakukannya membuat Vena yakin jika yang menghubungi adalah salah satu wanita teman kencannya. "Ke-kenapa Anda tidak menjawab panggilannya, Pak?" Vena mengerang kesal dalam hati, rasa penasarannya yang berlebihan sangat tidak membantu di situasi sekarang ini. Untuk apa dia menanyakan sesuatu yang bukan urusannya? Jawabannya hanya satu, dia penasaran. Selain itu, dia juga ingin menghidupkan suasana yang nyaris mati di antara mereka. Sungguh, dia tidak menyukai kesunyian yang tercipta. "Aku tidak membayarmu untuk ikut campur dalam urusan pribadiku, Miss Curly." Nick berbicara tanpa menatapnya. Matanya yamg berwarna biru mengawasi keadaan di luar mobil. Lampu-lampu yang mulai menyala di sisi kanan dan kiri jalan lebih menarik perhatiannya dibandingkan dengannya. Vena menundukkan kepala, dia sudah kalah sebelum berperang. "Tugasmu adalah mengurus pekerjaan di kantor, dan pertemuan penting yang akan kita hadiri besok siang." Nick berdehem sekali sebelum melanjutkan. "Jangan pernah mengurusi wanita cerewet yang menganggap kencan satu malam' sebagai sebuah hubungan yang serius." Dingin. Itulah yang dirasakan Vena melalui kata-kata Nick. Dugaannya benar, yang menghubungi Nick adalah salah satu dari wanita teman kencannya. Sekali lagi Vena mengerang dalam hati, dia menyesali pertanyaannya yang terlalu berani. "Ma-maafkan aku, Pak." Entah kenapa dia tak pernah bisa berbicara normal di depan Nick, selalu saja terbata. Apakah ini hanya gugup biasa atau karena dia mempunyai perasaan tak tersampaikan. pada Nick. Sampai sekarang Vena masih belum mendapatkan jawabannya. "Aku tidak bermaksud ikut campur. Maafkan kelancanganku." Nick berdecak. Sejak pertama kali mengenalnya, Vena sudah membuatnya kagum. Dari semua pelamar kerja, hanya Vena yang lulus dengan nilai tertinggi. Selain itu, Vena juga ramah dan selalu membantu seseorang yang membutuhkan pertolongan tanpa berpikir panjang. Hal itu merupakan nilai lebih karena tidak setiap orang memilikinya. Hanya satu yang membuatnya jengkel, Vena yang selalu mengucapkan kata maaf dan terbata setiap kali berbicara dengannya. Hei, dia bukan pendeta, apalagi tempat untuk menebus dosa. Jika ingin menebus dosa, pergi saja ke gereja atau tempat penebusan dosa lainnya. "Jangan meminta maaf atas sesuatu kesalahan yang tidak kau perbuat, Miss Curly." Nick menatap Vena tajam. "Beranilah sebagai seorang perempuan!" Vena mengerjap beberpaa kali, mulutnya terbuka. Dia masih belum memahami arti dari kata-kata Nick. Otak pintarnya seolah beku mendengar kata-kata itu. Apakah maksud Nick selama ini dia penakut? Astaga! Jadi, Nick memang benar-benar mengetahui apa yang dilakukan oleh semua rekan kerjanya terhadapnya? Benarkah seperti itu? Dari kata-kata Nick tadi dia menangkap artinya demikian. "Jangan biarkan orang lain menindasmu hanya karena mereka iri." Benar! Nick memang mengetahuinya. Vena memekik dalam hati. Sebab sesuatu yang tidak diketahui alasannya, dia gembira. "Orang-orang yang menyudutkanmu hanya karena kau memperoleh jabatan lebih tinggi adalah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk berkembang. Bukan hanya itu, otak mereka juga dangkal. Itulah sebabnya aku tidak memberikan promosi kenaikan pada mereka." Kata-kata Nick membuat dadanya menghangat. Bukan hanya d**a, matanya juga terasa hangat dan berkaca-kaca. Vena mengusap sudut matanya yang berair. Dia tidak boleh menangis di depan Nick. Jangan sampai Nick menganggapnya perempuan cengeng. "Aku tidak ingin perusahaan yang susah payah kubangun dari nol hancur di tangan mereka." Satu lagi yang membuat Vena kagum dan jatuh cinta pada Nick, pria ini merupakan pria yang pantang menyerah. Meskipun berasal dari keluarga kaya, Nick membangun perusahaannya sendiri tanpa bantuan kedua orang tuanya yang merupakan orang-orang berpengaruh di dunia bisnis. "Kau juga harus berani melawan siapa pun yang mengusik u, Miss Curly. Jangan berikan mereka kesempatan untuk menindasmu lebih jauh." Nick menatap Vena tajam. "Nyamanlah dengan apa yang kau kenakan. Aku tidak pernah masalah dengan semua itu." Vena kembali menyeka sudut matanya. Untung saja dia selalu sedia tisu di kantong kemeja. "Jangan tunjukkan air mata di depan orang-orang yang tudak menyukaimu. Di dunia bisinis, air mata berarti kelemahan. Kau akan dianggap sebagai pecundang jika menangis di depan lawan bisnismu." "Anda bukan lawan bisnis saya, Pak. Anda atasan saya," kata Vena membela diri. Suaranya serak. Nick mendengkus. Ia membuang muka, kembali menatap keluar jendela. Mulutnya terkatup rapat sekarang. Vena merasa tidak enak dengan semua itu. Padahal dia menangis karena terharu. Kata-kata Nick merupakan penyemangat yang artinya Nick menyemangatinya secara tak langsung. Selain itu, ini adalah pertama kali dia mendengar Nick berbicara panjang lebar. Sangat menakjubkan baginya karena selama ini Nick sangat jarang bicara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD