Satria Lin itu bapak sambung rasa kandung. Semua orang tahu sesayang apa dia ke Nay, bahkan sejak gadis itu belum menapak tanah Satria sudah menggendongnya kemana-mana. Mungkin awalnya hanya kasihan, karena nasibnya dan Nay sama sejak bayi tidak punya ayah. Hanya saja bedanya Satria sejak bayi dibuang di panti asuhan, sedang Nay dicampakkan ayah kandungnya dari masih di rahim mamanya.
Asal tahu saja, Satria lah yang pertama kali Nay panggil papa. Dan mungkin karena itu dia benar-benar menganggap Nay anaknya. Cinta tanpa batas. Dia tidak peduli seberapa buruk nama Rena Pradipta yang kala itu dicap pelakor hingga punya anak haram. Satria tetap menikahinya dan menjadikan Nay cucu keluarga Lin. Menyayangi gadis itu seperti anak kandungnya sendiri. Menjaga dengan sangat hati-hati karena tidak ingin anaknya tersakiti oleh siapapun itu.
Jadi mana mungkin dia bisa terima ketika putri kesayangannya dilamar pria tengil dari keluarga yang jelas-jelas bermasalah. Mati-matian dia menjaganya dari kecil, justru kini terjebak masuk ke lingkar bahaya keluarga mafia. Tidak ada yang lebih membuatnya kecewa, selain sikap anaknya yang kukuh lebih memilih pria yang baru dikenal beberapa bulan dibanding menuruti omongannya. Terlebih itu tentang sebuah pernikahan yang menyangkut kebahagiaan anaknya nanti.
“Sudah sampai. Ayo, aku antar sampai pintu! Paling tidak mamamu tahu, aku mengantar anaknya pulang dengan selamat.”
Nay masih tidak bergeming. Tiba-tiba takut masuk dan harus melihat wajah marah sarat kecewa papanya lagi.
“Beb ….”
“Hm,” gumam Nay menghela nafas panjang sebelum turun dari sana.
Mobil Daren terparkir di halaman luas dua rumah besar berjajar disana. Satu rumah Satria Lin, dan yang satu lagi rumah Ibra Abraham iparnya.
“Kenapa masih bengong disitu?”
Keduanya menoleh ke Cello yang baru menyusul untuk memastikan keadaan sepupunya. Rumahnya juga satu komplek disini, bahkan bersebelahan pas. Jadi tidak mengherankan kalau sering kemana-mana dengan mengajak Nay.
“Takut papa nanti masih marah-marah, Bang. Tahu sendiri kalau lagi marah seram banget,” jawabnya menatap gamang ke teras rumahnya.
“Ya itu memang sudah resiko kamu. Makanya sudah Abang bilang, kamu harus siap mental kalau tetap ngotot dengan keputusanmu!”
Cello melangkah lebih dulu. Mana tega dia membiarkan adiknya pulang sendirian di saat keadaan di rumahnya sedang tidak baik-baik saja.
“Buruan!” serunya.
“Ayo! Aku antar sampai masuk. Kalau papamu marah, biar marah ke aku saja!” Daren menggandeng tangan Nay yang berkeringat dingin saking takutnya. Tidak tega, tapi beginilah perjuangan mereka untuk mendapatkan restu dimulai.
Ini kali pertama Nay merasa takut pulang ke rumahnya sendiri. Bukan, Nay bukan takut dimarahi papanya. Dia hanya tidak siap dan merasa bersalah mendapati sorot kecewa di matanya seperti tadi saat di hotel.
“Tante Ren!” Cello yang lebih dulu masuk bergegas ke ruang tengah mencari keberadaan tantenya.
“Masuk!” ajak Nay mempersilahkan kekasihnya yang tampak meragu di depan pintu.
“Nggak nunggu orang tuamu dulu? Nanti dikira aku lancang dan tidak sopan,” ucap Daren.
“Nggak, kan Abang datang sama aku!” Nay menarik Daren ikut masuk bersamanya.
Namun, yang Daren khawatirkan langsung kejadian. Satria yang baru saja keluar dari ruang kerjanya, menatap sengit pria yang berani masuk ke rumahnya dengan menggandeng tangan anaknya itu.
“Siapa yang mengizinkan kamu masuk ke rumahku?!” ucapnya dengan suara dingin.
Langkah Nay seketika terhenti. Berdiri mematung tak jauh dari papanya dengan d**a sesak bukan main. Tatapan menghujam dan amarah masih menguar kental dari wajah kakunya. Mata panas Nay luruh menunduk. Tangannya yang menggenggam plastik berisi soto daging untuk papanya tampak gemetar.
“Nay yang ajak, Pa.” lirihnya menahan takut.
“Selain pintar bohong, sekarang kamu juga berani bawa pria masuk ke rumah. Bagus sekali kelakuanmu, Nay!” omel Satria seperti tidak peduli anaknya yang sudah tak berani mengangkat wajah di hadapannya.
“Saya cuma mau mengantar Nay pulang, karena tadi sudah dititipkan oleh Tante Ren. Kalau marah cukup ke saya, Om. Kasihan Nay sudah tertekan.” Daren buka mulut. Di juga mengeratkan genggaman tangannya. Iba melihat Nay ketakutan seperti ini.
“Diam, kamu! Aku sedang menegur anakku yang kumat begonya. Keluar!” bentak Satria makin emosi karena Daren yang dianggap sudah kurang ajar mengaturnya.
“Pa ….”
“Apa?!” gertak Satria melotot tajam.
“Aku yang sudah mengizinkan Daren datang ke rumah. Kalau mau marah, sini bentak aku!”
Satria mendengus menatap istrinya yang muncul bersama Cello di belakangnya. Rena mendekat menghampiri anaknya, lalu mengambil plastik di genggamannya.
“Sudah makan?” tanyanya lembut, sedang Nay hanya menggeleng.
“Dia bilang mau makan sama papanya di rumah, Tante. Jadi beli soto daging kesukaan Om Satria,” sahut Daren.
Satria mematung menatap wajah anaknya yang berurai air mata. Jantungnya berdenyut sakit melihat luka lebam yang makin membengkak di ujung bibir Kanaya. Bibirnya mendesis ketika beralih ke plastik makanan yang sudah beralih ke tangan istrinya.
“Kamu pikir Papa masih doyan makan, sedang otakku hampir gila mengkhawatirkan kelakuanmu yang sekarang jadi pembangkang begini! Kamu paham tidak seberbahaya apa pria pilihanmu itu?! Sudah bosan hidup, kamu!”
“Sat!” tegur istrinya mendengar suara suaminya yang makin meninggi, sedang anak mereka sudah gemetar menahan tangis.
“Terserah! Mulai sekarang lakukan saja semua kemauanmu! Aku tidak peduli!” seru Satria sebelum kemudian melangkah melewati anaknya dan masuk ke kamarnya.
Nay terjengkit begitu pintu dibanting keras, lalu tangisnya pun pecah. Rena memeluknya, mengusap punggungnya yang bergetar menyembunyikan suara tergugunya.
“Papa marah beneran, Ma. Nay harus gimana?”
“Nggak apa-apa, nanti mama coba bicara lagi dengannya. Papamu hanya butuh waktu untuk bisa menerima keputusanmu. Ini terlalu mendadak, Nay. Dia belum siap untuk melepasmu,” bujuk Rena.
“Mewek juga butuh tenaga. Makan dulu sana! Perutmu dari tadi siang belum terisi apa-apa!” ucap Cello tidak tega melihat adiknya.
Daren meremas pelan tangan dingin Nay di genggamannya. Paham, sesakit apa hatinya sekarang karena hubungan Nay dengan papanya selama ini memang benar-benar dekat.
“Kalau begitu saya pamit dulu, Tante.”
“Hm, terima kasih sudah antar Nay pulang. Mulai sekarang kalau mau ajak Nay keluar setidaknya harus bilang dulu ke Tante. Biar papanya tidak makin marah. Ngerti, kan?” ucap Rena dengan senyum hangatnya.
“Iya, saya ngerti.” Daren mengangguk, lalu menoleh ke Nay.
“Aku pulang dulu. Harus makan! Nanti sampai rumah aku telpon lagi,” pamitnya.
“Hm,” angguk Nay.
Daren tersenyum mengusap sisa basah di wajah cantik gadis kesayangannya itu. Merasa bersalah sudah membuat Nay berada di posisi sulit seperti sekarang. Tapi, itu tidak akan membuat Daren mundur. Dengan cara apapun dia pasti akan berusaha mendapatkan restu dari calon mertuanya. Dengan berat hati Daren pun melangkah keluar.
“Pintar-pintar kamu mendekati Jeje, karena mulai besok dia akan jadi bodyguardnya Nay. Tahu sendiri kan seketus apa dia kalau sedang mengemban tanggung jawab. Liam saja yang mulutnya pedas dirujak sama dia waktu bikin Kak Shera nangis!” lontar Cello yang mengekor di belakangnya.
“Tahu kok,” sahut Daren.
“Sekedar mengingatkan saja, jangan sampai kamu bikin salah yang bikin Nay pulang dengan membawa air mata. Tidak peduli siapa kamu dan seberapa hebat orang tuamu, Om Sat pasti akan membuatmu membayar semuanya!”
“Hm,” angguk Daren melangkah ke arah mobilnya.
Pintu sudah terbuka lebar, tapi dia seperti berat untuk pergi karena tahu di dalam sana pasti masih menangis menghadapi sikap dingin dan kemarahan papanya.
Baru saja mau masuk, sorot lampu dari mobil yang melaju pelan memasuki halaman rumah samping mengalihkan perhatian mereka. Ibra dan istrinya turun. Daren mengangguk sopan menyapa teman papanya itu.
“Malam, Om!”
Ibra tersenyum tipis, merangkul pinggang istrinya mendekat ke arah Cello dan Daren.
“Pasti habis didamprat sama papanya Nay,” gurau Freya menggeleng melempar pandang ke rumah adiknya.
“Bantuin ngomong dong, Tan. Om Sat kan biasanya kicep kalau debat sama Tante. Siapa tahu saja omongan Tante Frey bisa lebih didengar. Kasihan Nay dibentak-bentak terus,” ucap Cello mengadu ke tantenya. Bukan demi Daren, dia hanya iba ke adik sepupunya itu.
“Didengar apanya? Dia kalau kumat kan memang menyebalkan gitu!” sahut Freya yang paham betul sifat Satria.
“Nggak segampang itu mau mengambil yang paling berharga bagi Satria. Memposisikan diri sebagai orang tua, aku paham kekhawatiran dan kekecewaannya. Jadi lihat bagaimana usahamu untuk memperoleh kepercayaannya,” timpal Ibra.
Daren mengangguk. Sekecewa apa Satria Lin, sesulit itu juga usaha Daren meluluhkan hatinya. Mengingat Nay adalah anak kesayangannya, meski bukan darah dagingnya sendiri.
“Nanti aku cari waktu bicara dengannya. Tunggu sampai emosinya sedikit reda. Sekeras apapun dia, kalau kamu bisa menunjukkan keseriusanmu pasti luluh. Sekarang dia masih syok. Kalian kasih kejutan nggak kira-kira, bagaimana dia tidak mengamuk coba! Nay didekati tanpa permisi saja dia marah, apalagi malah kamu ajak berduaan dan main dosor di kamar hotel!” Ibra terkekeh menggeleng, sedang Cello melirik sinis sahabatnya yang malah nyengir dengan muka bonyoknya itu.
“Terima kasih, Om. Kalau begitu saya permisi dulu. Masih punya tanggungan kerja buat besok,” pamit Daren segera masuk ke mobilnya setelah Ibra dan istrinya mengangguk.
Mereka bertiga menatap mobil Daren yang melaju pelan meninggalkan halaman. Setelah menghilang, Ibra menoleh ke Cello yang sedang merogoh ponselnya dan memeriksa pesan masuk.
“Kamu juga! Mau sampai kapan main api di belakang Liam?”
Mendongak kaget, Cello meringis salah tingkah karena baru sekali ini omnya menyinggung soal itu.
“Ngidam bonyok juga kayak Daren mungkin,” olok Freya dengan helaan nafasnya.
“Masalahnya Letta ….”
“Bukan di Letta masalahnya, tapi kamu yang tidak tegas! Tinggal sat set jujur ke orang tuamu, lalu ajak mereka datang menemui Liam dan ayahnya. Sudah, beres! Liam tidak akan menentang kalau dari pihak orang tuamu sudah merestui!” sahut Ibra memotong sanggahan keponakannya.
Cello diam. Apa yang dikatakan omnya memang ada benarnya, dan jalan keluar paling tepat untuk hubungannya dengan Letta yang sudah bertahun-tahun mereka sembunyikan.
“Jangan tunggu keduluan kepergok Liam. Bisa-bisa bukan cuma mukamu yang bonyok, tapi persahabatan kalian juga renggang!”
Cello sudah punya rencana di benaknya untuk menyelesaikan semua seperti nasehat omnya barusan. Namun, apakah akan semudah itu? Dia sendiri sepertinya lupa sering mengingatkan Daren, kalau hari apes tidak ada di kalender.