Bab 7. Healing

1610 Words
Tadi siang Daren bahkan baru meletakkan bokongnya ketika video call Cello muncul di layar ponselnya. Matanya langsung melotot mendapati muka sahabatnya yang baru setengah jam lalu makan siang bersamanya itu sudah babak belur. Namun, begitu Cello menceritakan kejadiannya justru Daren tertawa ngakak. Entahlah, tapi dia senang karena tidak sial sendirian. Bahkan, babak belur pun juga barengan. Definisi sahabat sejati. Bahagia, malu dan sakit ditanggung bersama. Niat hati tidak ingin peduli, tapi apa daya Cello terus merecoki memintanya untuk mendatangi Liam. Kampret yang sedang keluar taringnya itu bukan cuma mengabaikan pesan dan telpon Cello, tapi juga memblokir nomornya. Jadi begitulah, selesai dengan pekerjaannya Daren terpaksa masuk kandang singa untuk membujuknya. Sempat dicuekin, bahkan sudah hampir dipanggilkan security untuk menyeretnya keluar dari LinZone. Sumpah, Liam kalau marah tidak kira-kira. Beruntung dia bisa membujuknya untuk ikut ke Mirror, night club yang juga bagian bisnis milik Ibra dan jadi tanggung jawab Liam mengurusnya. Meski untuk itu Daren harus terkantuk-kantuk menunggu hingga malam. Cello sudah sampai duluan di sana ketika mereka sampai di Mirror. Sayang, pembicaraan mereka tetap menemui jalan buntu. Liam memang bilang tidak akan menghalangi hubungan Cello dan adiknya, tapi kekecewaannya karena merasa dikhianati orang yang paling dipercaya membuatnya lepas tangan tidak mau peduli lagi. “Liam kepalanya dari batu. Kerasnya minta ampun. Persis bapaknya Nay!” gerutu Daren yang kembali setelah mengikuti Liam hingga depan. “Kalau berani coba bilang gitu di depan Om Sat!” cibir Hera. Si tengil nyengir meraih botol minuman yang tergeletak di lantai. Malas mengambil gelas, dia pun meneguknya langsung begitu saja. “Nih, obat puyeng! Lebih manjur dari koyo cabe,” tawar Daren menyodorkan botol itu ke Cello yang sedang galau. “Kalau dipikir-pikir, aku sejak berteman dengan kamu jadinya ketiban sial terus,” gerutu Cello mengambil botol itu dan meneguknya. “Sialan!” Daren yang tidak terima dibilang pembawa sial sengaja menyenggol tangan Cello hingga tersedak hingga terbatuk-batuk. Minuman di mulutnya pun muncrat keluar. “Heiii!” teriak Cello melotot dengan mata memerah. Daren malah cengengesan mengambil tisu, lalu mengelap lubang hidung dan bibir Cello yang belepotan basah. “Kita kan teman. Teman dalam bonyok dan malu, sampai kegep pun kita juga nyaris barengan. So sweet, Baby!” ucapnya menoel pipi Cello yang lebam. “Haish, jijik!” Cello menepis tangan pria tengil itu dan mengusap kasar pipinya. Jingga dan Hera tertawa tergelak. Sama-sama sedang puyeng masih sempat-sempatnya mereka bertingkah sekonyol itu. “Terus gimana setelah ini? Liam sepertinya kukuh gitu!” tanya Daren. “Besok kan dia mau ke Singapura. Tunggu Liam pulang dari sana dulu, baru aku akan ajak orang tuaku datang ke rumahnya. Kak Shera bilang akan berusaha membujuk Liam. Semoga saja bisa luluh kalau sama istrinya,” ucap Cello kembali meneguk minumannya. “Kalau ternyata gagal semua, gimana?” tanya Daren menyeringai. “Maka jangan harap kamu juga bisa dapatkan Nay! Kamu sendiri yang bilang kita teman sejati. Jadi kalau aku patah hati, jangan harap kamu bisa berbahagia di atas penderitaanku!” sahut Cello melirik sinis. “Sinting!” gelak Jingga beranjak menengok ke dinding kaca disana. Pengunjung mulai berdatangan. Belum satu jam buka, lantai bawah sudah hampir penuh. Keamanan disini mulai stabil, jadi Liam dan Jingga yang sekarang memegang tanggung jawab atas nightclub elit milik papanya itu juga bisa lebih santai. “Nay di rumah baik-baik saja kan? Apa papanya masih bersikap galak ke dia?” tanya Daren ke Cello dan Jingga yang rumahnya bersebelahan dengan mereka. “Sikap Om Sat hanya akan berubah lembut seperti semula, jika kamu tidak memepet Nay lagi. Kalau untuk sekarang sudah pasti tiap hari makan hati. Kamu tahu sendiri sepedas apa mulut Om Sat!” jawab Jingga. Bicara soal calon mertuanya itu membuat Daren ingat kejadian tadi saat bertemu di lift kantor LinZone. “Tadi aku bertemu di lift. Terus mulut ember Liam bilang aku mengajaknya healing ke Mirror. Dih, matanya sinis bukan main. Dia juga menyuruhku cari istri dari sini, biar cocok sama brengseknya denganku. Nay terlalu polos buatku katanya.” Mereka cekikikan mendengar Daren yang bercerita sambil merengut. Sampai kemudian Cello beranjak dari duduknya, dan menarik kerah kemeja Daren untuk ikut dengannya. “Mau kemana? Aku ngantuk. Mau pulang, tidur!” seru Daren yang diseret seperti kerbau ke arah pintu. “Oneng, turun!” seru Cello ke Hera. Mau tidak mau mereka pun mengikuti Cello turun berbaur dengan pengunjung di lantai satu. Padahal di lantai dua juga banyak ruang VIP. Mungkin otaknya memang sedang butuh suasana gaduh begini, biar tidak makin oleng. Duduk di meja depan bartender, mata Jingga menatap sekeliling. Pandangannya kemudian kembali ke abang sepupunya, si tengil dan bestinya yang sedang meliuk diantara hingar bingar pengunjung dan dentum keras musik disana. Biar saja sejenak mereka lari dari peliknya hidup. Karena dipaksa kuat, lama-lama juga bisa gila. Namun, kehadiran dua pria ganteng disana tak urung memancing tangan-tangan milik para wanita gatal untuk menyentuh. Beberapa kucing montok dengan pakaian kurang bahan mulai mendekat menyodorkan lekuk tubuhnya yang sengaja digesek-gesekkan ke Cello dan Daren. Jingga mencebik dengan tatapan jijik. Tapi, itu hanya sebentar. Dia kemudian tertawa tergelak seperti orang tidak waras melihat Hera yang mendekat dan sengaja sikut sana, sikut sini. Lengah sedikit tangannya mulai menjambak dari belakang. Atau sesekali dia juga menendang hak tinggi sepatu mereka sampai ada yang terjungkal. Sekarang tahu kan kenapa Cello dan Hera meski jarang bisa akur, tapi bisa kompak saat melantai disini. Cello tidak ingin diganggu, sedang Hera tipe suka keributan. Namun, semua berubah jadi keributan ketika tiba-tiba beberapa orang pria mendekat dan menghantamkan botol minuman ke arah Cello. Suasana seketika gaduh. Jingga menunjuk ke pegawainya untuk menghentikan musik dan menyalakan lampu utama. “b*****t! Apa-apaan kalian?!” umpat Daren kasar melihat kening Cello yang berdarah-darah. “Kalian yang b*****t! Kalian apakan pacarku?!” serunya balas mengumpat sambil menarik seorang wanita yang terseok. Jingga mendekat. Pengunjung yang biasa datang kesana meringis melihat cucu Jonathan Lin yang kalau sudah mengamuk seramnya amit-amit itu. “Memangnya dia kenapa? Aku yang punya klub ini. Coba bilang kamu diapakan oleh abangku?” tanya Jingga dengan tatapan tajam menusuk. Wajah mereka tampak terkejut, tapi mungkin terlanjur jadi tontonan pengunjung lain jadi lanjut pasang muka garang. “Pacarku bilang dia digerayangi hingga ketakutan dan terkilir. Matamu nggak lihat apa kakinya bengkak!” Tanpa diduga, tanpa aba-aba Daren menyambar botol di meja sampingnya dan menghantamkan ke kepala pria yang tadi memukul Cello. Jerit kesakitan dan darah yang meleleh di kening pria itu justru membuat Daren menyeringai. Botol di tangannya kemudian mengacung ke arah perempuan yang kini ketakutan itu. “Eh, ngaca sana! Nggak usah sok cantik ngaku digerayangi. Memangnya siapa yang betah berdekatan dengan ketek bau terasi kayak kamu?!” oloknya dengan hinaan yang membuat wanita itu malu setengah mati. “Aku yang menendang hak sepatumu dan membuatmu terjungkal tadi, karena tanganmu lancang menggerayangi abangku. Jijik lihat kamu kegatelan main gesek d**a isi siliconmu itu. Kalau tidak terima, sini balas!” Hera mendekat ke wanita itu dan berkacak pinggang di depannya. Grogi, wanita itu justru berdiri bingung. Baru sadar sudah salah cari lawan. Ingin membalas, tapi takut karena muka garang mereka. Terlebih pacarnya sudah dibuat berdarah-darah begitu. “Sampah!” Dalam sekali tendang Hera membuat wanita itu terjungkal ke belakang. Teman-temannya yang lain pun terlihat tersulut dan menerjang menyerang. Seperti mendapat mainan baru, Daren dan Hera girang bukan main meladeni mereka. Gobloknya mereka datang mencari perkara saat Daren sedang dipusingkan dengan permasalahannya. Tengil saat bersama para sahabatnya, tapi nyatanya anak kedua Mateo Bastian luar biasa sadisnya. Lima orang pembuat onar dibuat bersimbah darah dengan hantaman botolnya. Menyisakan satu yang sepertinya lumayan bisa berkelahi. Membuang botolnya, Daren membetulkan lipatan lengan kemejanya. Bibirnya menyeringai, menatap lekat pria yang sudah siap ingin menghajarnya itu. Dan saat dia menerjang dengan kepalan tangannya, Daren hanya berkelit ke samping, lalu menghantamkan tinjunya tepat ke ulu hati pria itu. Terhuyung, Daren memburu dan mulai menghajarnya tanpa ampun. Namun, meski sudah bonyok tukang onar itu belum kapok. Dia masih berusaha berdiri. Sayangnya belum juga tegak, Daren sudah menyambar kursi disana dan menghantamkan ke kepala pria itu hingga langsung ke jatuh terkapar. “Nggak asik, cuma gitu sudah langsung keok!” dengus Hera. “Seret mereka keluar!” seru Jingga yang duduk di samping Cello. Para anak buahnya menyeret mereka keluar, sedang Daren dan Hera menyusul duduk. Untung saja kening Cello hanya luka kecil, kalau tidak pasti nanti emaknya mencak-mencak. Lampu kembali dimatikan. Begitupun DJ di depan yang mulai dengan gelegar permainan musiknya. “Nggak gegar otak kan? Masih ingat aku siapa, kan?” tanya Daren melambaikan tangan di depan muka Cello yang meringis. Tadi lukanya sudah langsung diobati oleh Jingga. “Haish,” dengusnya mendorong muka menyebalkan Daren menyingkir. Kepalanya yang pusing memikirkan masalahnya dengan Liam, semakin puyeng kena gebuk orang. “Aku bilang juga apa! Dekat kamu itu bawaannya ketiban sial terus!” gerutu Cello. “Sialan! Enak saja!” sahut Daren meraih botol minumannya yang baru diantar ke meja mereka. Berempat mereka masih duduk menikmati minuman dan bising di sana. Sampai kemudian seseorang datang menghampiri meja mereka dengan segelas minuman dan selembar kertas. “Tadi ada pria yang minta tolong saya mengantar ini kesini!” ucap gadis itu. “Siapa?” tanya Cello bingung sambil meraih kertas itu, tapi karena terlalu remang dia terpaksa menggunakan sorot lampu ponsel. “Tidak tahu,” geleng gadis itu, lalu kembali ke mejanya. “Sudah punya teman baru rupanya. Pantas saja aku dilupakan!” Setelah membaca itu Cello sontak celingukan dengan mata memincing awas. Mereka bertiga yang ikut membaca isi kertas itu saling lempar pandang. “Gila! Vian masuk sini?!” ucap Hera. “Kita periksa CCTV!” sahut Jingga bergegas bangun dengan diikuti mereka ke lantai atas. Kalau benar dia adalah Vian, maka bukan main nyalinya berani datang ke night club milik Ibra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD