Bab 3. Terhalang Restu

1775 Words
Kalau hati Daren dibuat membuncah dengan pengakuan cinta Nay barusan, maka sebaliknya dengan Satria. Mendengar permohonan anaknya d**a Satria terasa sesak bukan main. Dia juga sakit melihatnya menangis seperti itu. Masalahnya Nay tidak tahu bahaya apa yang akan mengintainya, kalau sampai jadi bagian dari keluarga Bastian. Lebih baik Satria dicap egois, daripada membiarkan anaknya hidup di tepi jurang. “Apapun yang Papa lakukan, percaya lah itu semua untuk kebaikanmu. Dengar Papa, Nay! Usiamu sekarang masih terlalu muda untuk melangkah ke jenjang itu. Masa depanmu masih panjang. Ada begitu banyak hal bisa kamu raih nantinya. Menikah itu gampang, tapi mempertahankannya yang sulit.” “Tapi, Pa ….” “Fokus ke kuliah dulu, Nay! Kalian kenal juga belum lama. Jangan gegabah mengambil keputusan sebesar ini!” potong Satria mempertegas keputusannya. Nay terisak. Tatap tajam papanya seperti membungkam mulutnya untuk tidak membantah lagi. Genggam tangannya mengerat. Daren menoleh dan menatap iba Nay yang sampai gemetar. “Nay boleh tetap melanjutkan kuliahnya, jika nanti kami menikah. Dia punya kebebasan penuh untuk menggapai impiannya. Kalau memang itu yang Om cemaskan, saya berani jamin tidak akan menghalangi jalannya!” sahut Daren berusaha meyakinkan papa Nay. “Jangan pura-pura bodoh! Kamu jelas tahu apa yang membuatku menentang hubungan kalian. Apa perlu aku buka di depan Nay?! Biar dia juga bisa paham, kenapa aku tidak pernah menyukaimu!” tantang Satria. “Cukup, Sat!” tegur Ibra, kakak ipar Satria yang akhirnya angkat suara setelah berdiam diri untuk tidak ikut campur. Ibra meski tidak punya hubungan kerjasama bisnis dengan keluarga Daren, tapi dia berteman baik dengan Mateo Bastian. Begitupun dengan anaknya dan sepupu Nay yang juga akrab dengan Daren. Yang satu ipar, dan satunya lagi teman. Ibra tidak mungkin diam membiarkan permasalahan mereka semakin kisruh. Terlebih ini tentang kebahagian keponakannya. “Aku tahu alasanmu keberatan merestui mereka. Kalau kamu menghakimi Mateo karena bisnisnya, lalu kenapa kamu tidak menjauhiku padahal tahu seberapa kotor tanganku? Mana ada orang tanpa cacat. Bedanya hanya ada yang mau mengerti kekurangan masing-masing, tapi ada juga yang merasa paling bersih hingga menganggap orang lain kotor!” ucap Ibra seperti tamparan yang membuat Satria tersindir. "Menilai orang boleh-boleh saja, tapi jangan menghakimi. Percaya diri itu penting, namun sadar diri jauh lebih penting. Orang lain mungkin salah, tapi ingat kita pun juga tak selalu benar. Sejak dulu kamu selalu mengedepankan emosi. Apa egomu jauh lebih penting dari kebahagian Nay?" lanjutnya. “Iya, kita sama-sama kotor. Aku juga mantan b******n yang dulunya suka main perempuan. Itulah kenapa aku selalu berusaha menjaga Nay, karena tahu sebrengsek apa dunia di luar sana. Dan sekarang tiba-tiba aku harus menyerahkan dia ke tangan orang yang akan membawanya hidup dalam bahaya. Sebagai orang tua, salahku dimana kalau ingin menyelamatkan anakku dari pria yang salah?!” Satria menanggapi sindiran iparnya itu dengan pengakuan lugasnya. “Tidak salah, tapi juga harus kamu pahami, kalau apa yang menurutmu baik belum tentu tepat dan bisa membahagiakan Nay. Turunkan sedikit egomu, Sat. Kamu yang sekarang tidak ada bedanya dengan Bian!” tungkas Ibra terdengar menyengat di telinga iparnya itu. Jonathan Lin memijat keningnya yang berdenyut pusing melihat perdebatan menantu dan anak laki-lakinya. Sedang Mateo Bastian sendiri masih dengan sikap tenang, meski calon besannya terus mengungkit tentang bisnis gelap yang dimilikinya. “Pak Satria, bisnis itu sudah saya geluti jauh sebelum sekarang ini. Jadi rasanya tidak adil kalau Anda menggunakan alasan itu untuk menentang hubungan mereka. Daren juga punya posisinya sendiri di perusahaan properti kami. Lagipula kalau kami meminta Nay dari kalian, tentu saja kami akan mengambil tanggung jawab penuh atas kebahagiaan dan keselamatannya.” Mateo memberikan senyum ke Nay yang duduk dengan pikiran bingungnya. “Sudah aku bilang, aku tidak akan membiarkan anakku masuk ke kandang macan. Nay masih muda. Suatu saat dia akan paham, dunia tidak sesempit hanya sebatas cintanya ke Daren. Masih banyak kebahagiaan lain yang bisa didapat, tanpa harus bertaruh nyawa hidup di tengah keluarga kalian!” balas Satria untuk jaminan dari Mateo yang tetap tidak bisa meyakinkan dia untuk menyerahkan anaknya. “Sini, Nay!” Satria menepuk sofa sampingnya menyuruh anaknya kembali. Nay terlihat gugup. Genggamannya mengerat. Matanya mengerjap takut mendapat tatapan menghujam dengan raut kaku papanya. “Kanaya!” Terjengkit kaget oleh panggilan dengan nada bentakan, Nay dengan air mata meleleh terpaksa beranjak dari duduknya. Namun, dia tertahan oleh genggaman erat Daren yang tidak bersedia melepasnya. Bahkan, kekasihnya itu menariknya kembali duduk tanpa peduli amarah yang menguar di mata papanya. “Lepaskan anakku!” bentak Satria. “Maaf, Om. Saya akan membiarkan Nay kembali, ketika tidak ada lagi rasa takut dan air matanya. Saya juga akan melepaskan Nay, jika memang dia sudah tidak menginginkan untuk bersama saya lagi!” tegas Daren tanpa gentar sedikitpun. “Bocah sialan!” “Satria!” gertak Jonathan Lin menghentikan anaknya yang hendak mendekat ke Daren. “Dia sudah kurang ajar, Pa! Nay anakku. Punya hak apa dia seenaknya mengatur begitu!” “Duduk!” titah Jonathan dengan tatap mata tajamnya. “Pa ….” “Papa bilang duduk, Sat! Bukan seperti ini cara menyelesaikan masalah. Kalau kamu menganggap Nay anak, perlakukan dia dengan hati, bukan emosi! Dia juga punya perasaan. Mikir nggak kamu kalau sudah menyakiti hatinya!” Nay menutup wajahnya menyembunyikan tangis melihat pertengkaran kakek dan papanya. Bahagia yang dia ingin, nyatanya tidak semudah itu teraih oleh tangannya. “Jangan takut, Beb! Aku tidak akan melepaskan genggaman tanganku, kecuali kamu yang menginginkan,” bisik Daren mengusap basah di wajah muram Nay. Air mata Rena merembes keluar. Sakit melihat anaknya seperti itu. Tapi, dia juga tidak bisa menyalahkan suaminya yang kadang terlalu over protektif, karena ada bahaya yang selalu mengincar Nay. Kesalahannya di masa lalu, membuat mereka hingga kini ingin membalas dengan menghancurkan anaknya. “Duduk! Jangan seperti ini, Sat!” gumam Rena meraih tangan suaminya yang mengepal gemetar. Satria duduk. Mati-matian menelan amarah yang nyaris meledakkan kepalanya. Dia tidak suka anak kesayangannya lebih memilih dan mendengarkan pria tengil yang baru beberapa bulan ini dikenalnya. Nay harusnya paham, selama ini dia sudah berusaha memberi semua yang terbaik demi mengantarnya ke sukses di kemudian hari. Satria tidak ingin anaknya dipandang sebelah mata, karena statusnya yang dianggap hina sebagai anak haram dari seorang pelakor. Tapi, lihat! Baru di tengah jalan Nay justru membelot memilih jalan terjal. “Sekarang aku mau bertanya. Apa yang sebenarnya membuatmu tidak merestui hubungan mereka, Sat? Kalau kamu keberatan karena umur Nay masih terlalu muda untuk menikah, kita bisa rundingkan dan ambil jalan tengahnya. Tunangan dulu misalnya. Emosi hanya akan memperkeruh keadaan. Jadi Papa minta kita bicarakan masalah ini dengan kepala dingin,” ucap Jonathan seperti biasa dengan sikap sabarnya. “Masalah umur, iya. Bagiku Nay masih terlalu muda untuk menikah. Dan seperti yang aku bilang tadi, aku tidak ingin anakku berhubungan dengan keluarga Bastian!” “Kenapa?” cecar kakek Nay itu penuh selidik, karena sampai sekarang belum ada yang menjelaskan alasannya. Bukan hanya Ibra yang dibuat geleng kepala, tapi juga dokter Sifa dan juga Liam yang tahu ladang bisnis gelap Mateo Bastian. Namun, tidak sedikitpun raut khawatir yang keluarga Bastian tunjukkan. Sepertinya sebelum datang menemui keluarga Lin untuk melamar Nay, mereka memang sudah siap mental jika semua sisi gelapnya dikuliti. “Mateo Bastian tidak selurus yang Papa kira. Dia memang punya perusahaan properti, tapi juga menggeluti bisnis di pasar gelap,” jawab Satria membalas tatapan papa Daren. “Pasar gelap?!” ulang Jonathan mengernyit. Begitupun Nay yang tampak tegang, tapi dengan alasan berbeda. “Iya,” angguk Satria, lalu mengalihkan pandangannya ke Nay yang gusar dan genggaman tangan Daren. Dia penasaran apakah setelah tahu yang sebenarnya, Nay akan bersikeras mempertahankan pacar tengilnya ini. “Mateo punya bisnis senjata di pasar gelap, Pa. Sekarang aku tanya ke Papa dan juga kamu, Nay! Apa salah kalau aku keberatan anakku dipinang laki-laki dari keluarga dengan latar belakang berbahaya seperti itu? Apakah aku salah mengkhawatirkan keselamatanmu, Nay?!” ucap Satria dengan suara meninggi juga nafas memburu. Rena dan mertuanya tidak bisa menutupi rasa kagetnya. Namun, anehnya Nay justru diam tanpa sedikitpun ekspresi terkejut setelah mendengar kebenarannya. “Beb," gumam Daren was-was. Takut Nay berubah pikiran dan meninggalkannya. “Papa tidak salah, tapi aku sudah tahu itu sebelumnya.” Semua mata menoleh ke Nay. Syok bukan kepalang, karena sama sekali tidak menyangka gadis itu bisa menyembunyikan hal sebesar ini di balik sikap tenangnya itu. Begitupun sekarang, Nay hanya gusar karena takut papanya benar-benar menutup rapat pintu restunya. “Sudah tahu? Sejak kapan?” tanya Daren menatap lekat senyum masam di bibir kesayangannya itu. “Saat Bang Daren ajak aku ke kantor, untuk menemanimu kerja beberapa bulan yang lalu. Keluar dari toilet aku tidak sengaja mendengar pembicaraanmu dengan Jingga di telepon, yang membahas soal senjata dari gudang Red Flag.” Jonathan Lin menghela nafas panjang. Tidak tahu lagi harus berkata apa, sedang satu lagi nama cucunya ikut terseret. Ibra meski tidak berkecimpung dalam bisnis kotor, tapi dia sangat tahu menantunya itu juga jadi pemain lama di dunia hitam. Mungkin karena itu juga dia bisa berteman baik dengan Mateo. Dan sejauh ini, Ibra adalah menantu paling baik dan bertanggung jawab ke anak istrinya. “Bagus! Bagus sekali kelakuanmu, Nay! Papa mati-matian menjagamu sejak kecil, tapi kamu malah dengan sadar memilih pria yang menyeretmu dalam bahaya!” desis Satria nyaris meledak dalam amarahnya setelah mendengar semua pengakuan putrinya. “Bang Daren tidak seburuk yang Papa kira. Dia yang selalu di sampingku menjadi teman, saat aku sedang tumbang oleh sakit hati. Maaf, tapi kalau harus menjauh dari dia, aku tidak akan sanggup!” Nay menunduk dalam menatap genggaman tangannya dengan Daren, terlalu merasa bersalah harus membatah keinginan papanya. Satria tertawa, begitu kecewanya karena merasa semua kasih sayang dan pengorbanannya ke Nay sia-sia. Dia merawat dan menyayangi Nay sejak kecil seperti anak kandung sendiri, tapi seperti inilah balasannya. Dia merasa tidak dianggap dan tidak dihargai. “Kalau begitu terserah! Kamu mau menikah dengan siapapun bukan urusanku. Toh, kamu juga tidak butuh restuku!” ucap Satria beranjak pergi dari sana. Nay sontak berdiri. Menatap papanya yang melangkah lebar dengan membawa kemarahan, dan juga rasa kecewanya. Bukan, bukan seperti ini yang Nay ingin. “Pa! Bukan begitu maksud Nay, Pa!” serunya menangis tergugu, namun sang papa tidak peduli dan menghilang dengan meninggalkan suara pintu dibanting keras. “Maafkan Nay, Pa.” Rena mendekat memeluk anaknya. Suaminya orang yang keras dan sulit dibujuk, tapi dia yakin pada akhirnya Satria akan mengalah demi kebahagiaan anaknya. Hanya saja, butuh perjuangan Nay dan Daren untuk meraih restunya. “Saya pasti akan berusaha sebisa mungkin meluluhkan hati Om Satria, Tante,” ucap Daren ke mama Nay. “Iya, itu yang harus kamu lakukan sekarang kalau memang benar-benar ingin menikahi Nay. Siapkan mentalmu, karena tidak akan semudah itu mengambil hatinya! Kalau kamu tidak siap sakit hati oleh mulut pedasnya, lebih baik kamu mundur sekarang!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD