Aleman versi Daren itu benar-benar bikin mereka gedeg. Punggungnya memang memerah terguyur kuah panas, tapi juga tidak separah itu sampai harus dirawat. Lucunya, dia sendiri yang ngotot ingin opname. Dokter Sifa, mama sambung Cello yang punya rumah sakit saja sampai tertawa geli dengan kelakuan Daren. Luar biasa konyol calon menantu iparnya itu.
Namun, harus diakui kalau penghidangan sup itu sendiri juga sedikit janggal. Biasanya sup di restoran tidak akan dihidangkan dengan suhu sepanas itu. Indikasi insiden itu disengaja semakin kuat dengan adanya kejanggalan lain. Si pramusaji bisa begitu pas tersandung di dekat Nay, hanya beberapa saat setelah Nay mendapat pesan peringatan dari nomor asing.
Jadi, sama sekali tidak berlebihan jika kemudian Daren mengirim anak buahnya untuk mengorat-arit restoran itu. Dia tidak peduli pihak restoran terlibat atau tidak, tapi membuat si pelaku kena mental supaya tidak berbelit-belit itu tujuannya. Daren paling malas berurusan dengan orang seperti itu.
“Baru sekali ini ada pasien ngotot tidak mau pulang. Apa enaknya coba tidur di rumah sakit? Dikira hotel. Dasar nyeleneh!” Cello masih menggerutu, tapi Daren yang duduk manis di atas ranjang pasien malah pura-pura tidak dengar.
“Masih panas?” tanya Nay yang mengipasi punggung Daren.
“Masih. Sakit, Beb!” rajuknya makin bikin Cello eneg.
“Sakiittt, Beeebbb! Eh, waktu gebukin orang di Mirror saja kamu paling semangat! Ganasnya ampun kayak singa lapar. Kepruk kepala orang sampai klenger berdarah-darah. Sekarang cuma kesiram sup saja merengek kayak kucing kecemplung got!” sahut Cello berapi-api dengan tatapan sinisnya.
Nay tertawa terkekeh sambil terus mengipasi punggung Daren. Sesekali dia meniup-niup bagian luka yang sedikit melepuh.
“Aleman juga nggak apa-apa? Kan Bang Daren luka gini karena menyelamatkan aku. Kalau tidak sekarang pasti aku yang merasakan sakitnya.”
“Tuh kan, memang Bebebku yang paling pengertian!” Dengan bungahnya Daren tersenyum lebar.
Suara ponsel terdengar berdering pelan. Nay meraih benda pipih itu dari atas nakas, lalu memberikan ke Daren. Hanya pesan masuk, tapi potongan dua video pendek yang mereka kirim membuatnya tersenyum puas.
“Mau lihat nggak?” Daren menunjukkan video itu ke Cello.
Penasaran Cello pun mengambil ponsel itu dari tangan Daren. Dokter Sifa mendekat ikut menonton video itu. Dia tertawa menggeleng. Tidak menyangka Daren akan bertindak sejauh itu mengirim puluhan anak buahnya, dan mengobrak-abrik restoran mereka.
“Sinting! Terus kalau restorannya benar-benar tidak tahu apa-apa, gimana?” lontar Cello.
“Tetap saja salah, karena teledor mengawasi pegawainya. Dan kalau sampai terbukti mereka terlibat, pasti aku ratakan dengan tanah restorannya!” tegas Daren.
“Jadi mereka sudah bisa membuat orangnya buka mulut belum?” tanya Dokter Sifa.
“Sudah, Jeje sedang memburunya. Nanti sebentar lagi akan dia seret kesini,” angguk Daren.
“Siapa? Aku tidak punya musuh. Kenapa ada yang ingin jahat ke aku?” Nay mengernyit penasaran.
“Kamu kenal kok, yang dulu ….”
Pintu kamar rawat Daren dibuka tanpa mengetuk. Satria masuk tergesa dengan wajah paniknya. Matanya menatap Daren nyalang. Ibra yang datang bersamanya mencekal lengan iparnya itu ketika hendak menghampiri mereka.
“Aku bilang juga apa! Jauh-jauh dari anakku, Sialan!” teriaknya marah, sedang mereka menatap bingung.
“Papa salah paham, Pa!” seru Nay buru-buru turun menghampiri papanya sebelum makin menjadi amarahnya.
“Diam kamu, Nay! Sudah hampir celaka, masih saja membelanya. Kenapa tiap kali jatuh cinta kamu jadi g****k begini?!” bentak Satria sampai anaknya berdiri dengan wajah kecewanya.
“Dan kamu kebiasaan mengedepankan emosi, tanpa mau bertanya lebih dulu ataupun mendengarkan penjelasan orang lain! Awas nanti malu!” seru Ibra geram bukan main. Dari kantor dia sampai mengejar iparnya kesini, karena khawatir Satria akan bertindak gegabah.
Seperti tidak menggubris omongan iparnya. Satria tiba-tiba saja menyambar tangan anaknya hendak menyeretnya pergi dari sana. Daren dan yang lain terbelalak melihat Nay meronta.
“Ikut Papa pulang!”
“Nggak mau! Nay mau disini, Pa. Papa salah paham!” teriak Nay panik dan berusaha lepas dari cengkraman papanya.
“Jangan keterlaluan kamu, Sat!” teriak Ibra menggelegar marah. Dia juga menarik lepas tangan keponakannya yang sudah menangis sesenggukan.
Satria menggeram, tatapan tajamnya menghujam ke iparnya yang sudah berdiri menyembunyikan Nay di belakang punggungnya.
“Jangan ikut campur urusan keluargaku, Bang! Aku hanya mau menyelamatkan bocah bodoh ini. Salahnya dimana?!”
“Salahnya karena kamu terlalu egois dan selalu berburuk sangka. Sebersih apa hidupmu, sampai menganggap sebegitu hina mereka? Kalau kamu tidak mempercayai Daren, setidaknya kamu percaya ke anakmu sendiri. Nay bukan anak kecil yang bisa kamu seret-seret begini!” sahut Ibra tidak lagi memakai cara lunak untuk memberi pemahaman iparnya yang keras kepala.
Tangan Satria Lin terkepal gemetar menahan amarahnya. Apalagi melihat anaknya yang mencengkram jas omnya kuat, tidak sudi bertatap muka dengannya.
“Pulang, Nay! Sekarang!” gertaknya.
Ibra dan Dokter Sifa menggeleng. Sesulit itu untuk membuat ipar mereka mau menurunkan egonya dan mendengar penjelasan duduk perkara sebenarnya.
“Kejadian di restoran yang hampir mencelakai Nay tadi itu, sama sekali tidak ada hubungannya dengan kami keluarga Bastian, Om. Dia murni mengincar Nay sebagai targetnya,” ucap Daren akhirnya angkat bicara. Dia turun dari tempat tidur, lalu menghampiri Nay yang menangis dan gemetar ketakutan.
“Kamu pikir aku segoblok itu percaya!” sinis Satria tetap ngeyel menampik apapun penjelasan mereka.
“Iya. Kamu memang segoblok itu!” ujar Dokter Sifa menyahut setelah tadinya tidak ingin ikut campur. Hanya saja dia dibuat puyeng oleh kelakuan Satria yang terus saja marah-marah.
“Duduk!” titah Ibra melangkah ke sofa.
Satria mendelik sengit ke Daren yang masih dengan tenang menggandeng Nay menyusul kesana. Cello, Letta dan Dokter Sifa duduk berjajar di sofa tak jauh dari Nay dan Daren. Mau tidak mau Satria pun beranjak untuk mendengar penjelasan iparnya.
“Kamu tahu siapa yang tadi mau mencelakai Nay? Bukan musuh papa Daren, tapi orang suruhan Eliya. Jeje dan anak buah Daren berhasil mengorek mulut pelayan restoran itu. Kalau kamu tidak percaya, tunggu disini! Sebentar lagi Jeje akan menyeretnya ke hadapanmu!” jelas Ibra yang membuat dahi papa Nay berkerut tajam.
“Dia bahkan sudah jatuh melarat. Mana mungkin bisa melakukan itu!” sanggahnya meragu.
“Ini bukti yang diambil anak buah saya tadi, Om!” Daren meletakkan ponselnya di depan Satria.
Sempat ragu, tapi kemudian Satria meraih ponsel Daren dan memeriksa bukti disana. Matanya memincing melihat bagaimana mereka mengobrak-abrik restoran disana, juga ketika mereka mengintrogasi pelayan restoran yang hendak mencelakai anaknya itu.
Tiba-tiba pintu dibuka kasar. Mereka menoleh dan melongo melihat orang tua Daren yang datang dengan raut khawatir. Tapi, hal lucu justru membuat tawa mereka hampir menyembur keluar.
“Ya ampun, menantu Mama tidak apa-apa kan? Sini Mama lihat! Mana yang luka?” seru mama Daren tergopoh mendekat ke Nay yang melongo bingung. Memangnya siapa yang bilang dia yang kesiram kuah panas?
“Ma, aku yang luka. Sakit ini!” rajuk Daren menyingkap baju pasien yang dia kenakan, dan menunjukkan punggungnya yang memerah.
“Oh, kamu to! Kirain mantu Mama yang kena. Tahu begitu tadi tidak usah buru-buru kesini!” sahutnya enteng setelah duduk di samping Nay.
“Gitu banget sih, Ma! Aku anak Mama bukan sih?!” dengus Daren merengut kesal.
“Dapat nemu!” jawabnya asal sampai mereka cekikikan geli. Sekarang mereka tahu, nurun siapa sampai Daren bisa setengil itu.
Mateo duduk di samping Ibra, belum mengucapkan sepatah katapun. Sedang Satria seperti makin merasa risih berada disana disana.
“Sat …,” panggil Ibra.
“Apa?!” sahutnya ketus dengan muka tidak senang.
“Satu hal yang harus kamu tahu, dan ini kemungkinan besar ada kaitannya dengan kejadian tadi di restoran,” ucap Ibra menghela nafas kasarnya. Sudah waktunya untuk memberitahukan semua ke Satria.
“Apalagi yang sebenarnya kalian sembunyikan dariku?” tanya Satria menatap penuh selidik iparnya dan orang-orang disana.