“Bocah sialan!”
Pintu baru saja dibuka, dan Daren langsung dihajar kepalan tangan yang membuatnya meringis terhuyung. Di hadapannya sudah berdiri papa Nay, gadis yang sekarang sedang bersamanya di kamar hotel.
“Pa!” Nay menjerit tertahan, namun tidak berani mendekat karena melihat kemarahan papanya.
“b******k! Kamu apakan anakku, sialan?!”
Satria Lin melangkah cepat menghampiri Daren, lalu menyambar kerah jasnya. Matanya menatap nyalang. Rasa tidak sukanya ke Daren makin menguar menjadi emosi yang kini meledak, setelah tanpa sengaja menyaksikan anaknya dipeluk di kamar hotel. Satu hantaman kembali menghajar wajah tampan Daren Bastian.
Namun, tak ada sedikit pun erang kesakitan atau niat Daren membalas. Dia hanya diam membiarkan ayah dari gadis kesayangannya itu melampiaskan amarahnya. Kejadian sebenarnya tidak seperti yang papa Nay kira, tapi apapun penjelasannya tidak mungkin didengar sekarang.
“Anakku bukan gadis murahan yang bisa seenaknya kamu sentuh. Aku tidak peduli siapa ayahmu. Berani macam-macam ke Nay, aku patahkan lehermu!” geram Satria menghempas kasar cengkramannya hingga punggung Daren menghantam tembok di belakangnya.
“Saya tidak pernah menganggap Nay murahan. Om silahkan tanya sendiri ke Nay, pernah tidak saya bersikap kurang ajar ke dia!”
“Lalu yang tadi itu apa, sialan?!” Satria kembali menarik kerah Daren dengan satu tangannya lagi hendak menjotos.
“Tidak kurang ajar, tapi membawa anakku berduan di kamar hotel. Apa mukaku terlihat segoblok itu, sampai tidak paham isi otak kotormu?!” teriaknya menuding tepat di wajah Daren dengan nafasnya yang memburu.
Daren membalas tatapan papa Nay. Dia sangat tahu, semasa muda Satria Lin juga penikmat ranjang panas dengan begitu banyak wanita satu malamnya. Mungkin itu juga yang membuatnya begitu over protektif ke Nay, karena berpikir semua laki-laki sama brengseknya.
“Saya bukan orang baik, tapi setidaknya sejauh ini tidak pernah membawa wanita mampir ke ranjang. Jangan asal menghakimi, Om! Karena saya tidak sebrengsek itu,” tegas Daren menyingkirkan tangan papa Nay yang masih menuding.
“Cih, setelah apa yang aku lihat di video call tadi, kamu masih mau mengelak?!” bentaknya masih tidak sudi percaya.
“Papa salah paham ke Bang Daren, Pa. Kami beneran tidak melakukan apa-apa!” Akhirnya Nay memberanikan diri buka suara, karena tidak tega Daren dituduh yang tidak-tidak.
“Diam kamu, Nay! Masih berani kamu membelanya. Sejak kapan kamu jadi pintar berbohong ke Papa, ha?!” gertak Satria dengan tatapan kecewanya.
Nay gemetar. Dia pernah kena marah papanya, tapi tidak sampai separah ini. Memang salahnya tadi bohong ketika ditanya kenapa tidak segera kembali ke pesta pernikahan abang sepupunya di lantai bawah, tapi dia dan Daren benar-benar tidak melakukan apapun di kamar.
Ralat! Maksud Nay hanya sebatas peluk dan ciuman. Itu saja. Sialnya, justru kepergok gara-gara ponselnya jatuh saat menerima panggilan dari papanya. Iya, saking panik panggilan teleponnya jadi tanpa sengaja beralih mode jadi video call. Dari situlah awal malapetaka mereka digrebek papanya yang sedang menghadiri acara pernikahan di ballroom hotel ini.
“Kalau mau marah cukup ke saya saja, Om. Nay tidak salah. Saya yang menahannya disini, hingga tadi membuatnya terpaksa berbohong.”
Suara pukulan terdengar keras disusul Daren yang terjerembab setelah tinju papa Nay menghantam telak wajahnya.
“Bang Daren!” Menjerit panik Nay menghampiri Daren yang mimisan.
Satria berdiri terpaku melihat anaknya mengambil beberapa lembar tisu dan membersihkan darah di hidung Daren. Matanya membidik tajam. Melihat sebegitu dekat hubungan keduanya, Satria makin yakin sudah sejak lama dia kecolongan mengawasi anaknya.
“Sejak kapan kalian dekat? Aku yakin kalian sudah sering bersama! Iya kan?!”
Kicep, Nay bungkam tidak berani menjawab. Dia sempat gelagapan takut saat tiba-tiba Daren tersenyum dan menggandeng tangannya. Selama ini mereka selalu sembunyi-sembunyi, tapi kali ini Daren akan lantang mengakui perasaannya di depan papa Nay.
“Maaf, Om. Saya teman abang sepupunya Nay. Wajar kalau kami biasa bertemu, dan kemudian jadi dekat. Iya, memang sudah sejak awal saya suka Nay. Sekarang kami pacaran.”
“b******k!”
Tamparan keras menghempas wajah Daren sampai terasa panas dan berdenyut nyeri. Namun, dia tetap tidak melepaskan genggaman tangannya ke Nay meski ditarik paksa.
“Lepaskan anakku, sialan!” bentak Satria Lin menyambar kerah jas Daren kasar. Tangis ketakutan Nay semakin keras.
“Apa-apaan kamu, Sat!” seru kakek Nay yang muncul di pintu bersama mama Nay. Jonathan Lin menarik anak laki-lakinya mundur menjauh.
Rena Pradipta, mama Nay bergegas mendekati anaknya yang menangis gemetar. Daren Bastian, sebenarnya dia sudah pernah mendengar tentang kasak-kusuk kedekatan mereka dari salah seorang sahabatnya. Sayangnya belum sempat Rena mengkonfirmasi kebenarannya ke Nay, justru sudah lebih dulu kepergok suaminya.
“Sumpah, kami tidak melakukan apa-apa. Yang terjadi bukan seperti dugaan papa, Ma.” Sambil terisak Nay menjelaskan ke mamanya.
“Papa tidak pernah mengajarimu untuk berduaan dan berpelukan dengan pria di kamar hotel, Nay! Apa sebenarnya isi otakmu itu!” bentak Satria menatap anaknya nyalang.
“Apa salahnya mendengar penjelasan mereka dulu, Sat! Kalau kamu tidak percaya ke Daren, setidaknya percaya anak kita bukan seperti yang kamu pikirkan itu.” Mama Nay berusaha menengahi perdebatan mereka. Dia juga tidak tahu duduk permasalahannya seperti apa, tapi Rena sangat paham anaknya tidak mungkin berbuat melewati batas.
“Kalian semua duduk!” titah Jonathan Lin, kakek Nay yang kini tampak beranjak ke sofa.
Satria mendengus keras melihat Daren menggandeng tangan anaknya menyusul ke sofa. Mau tidak mau dia pun duduk di samping istrinya.
“Sekarang jelaskan ke kami! Kenapa kalian bisa berduaan di kamar?”
“Dia juga kurang ajar memeluk Nay, Pa!” sela Satria emosi.
“Diam dulu kamu, Sat! Dengar penjelasan mereka, supaya kita tahu duduk masalah yang sebenarnya!” tegas Jonathan Lin menoleh ke anaknya penuh peringatan.
Daren menghela nafas panjang. Genggaman tangannya ke Nay berubah jadi remasan pelan saat gugup mendera. Dia tahu di mata papa Nay yang sejak awal tidak pernah menyukainya, dirinya tak lebih hanya pria tengil dan biang rusuh. Meski pada kenyataannya kemampuan Daren sebagai manajer keuangan tidak perlu diragukan lagi.
“Maaf sebelumnya, sudah membuat keadaan jadi kisruh begini. Tadi saya dan Cello kesini hanya untuk ganti baju. Karena kaki saya tadi terkilir, jadi Cello lebih dulu turun ke tempat pesta. Sedang saya mengompres kaki saya yang bengkak. Nay datang mengantar obat. Kalian bisa tanya sendiri ke Cello kalau tidak percaya!” jelas Daren berusaha mengurai kesalahpahaman ini supaya tidak makin ruwet.
“Kalau cuma mengantar obat kenapa harus bohong saat Papa telepon tadi, Nay?! Kalau cuma mengantar obat, kenapa juga sampai berpelukan dengan dia? Sejak kapan kamu jadi pembohong begini?!” bentak Satria.
“Karena selama ini Om terlalu mengekangnya. Dia juga tahu Om Satria tidak pernah menyukai saya, jadi mana mungkin Nay berani menjawab jujur kalau dia sedang membantu mengompres dan mengobati kaki saya di sini?” sahut Daren yang tidak tega Nay terus dibentak oleh papanya.
“Mengekang, katamu?! Aku hanya melindungi anakku yang terlalu lugu dari para b******k di luar sana. Termasuk kamu salah satunya!”
“Papa sudah bilang diam dulu, Sat! Beri Daren dan Nay menjelaskan duduk masalahnya!” ucap Jonathan Lin geram, karena Satria yang lagi-lagi menyela penjelasan Daren.
Rena mengusap lengan suaminya yang tegang. Nay meski bukan anak kandungnya, tapi sejak kecil Satria sudah menyayangi seperti darah dagingnya sendiri. Ditambah ada trauma di masa lalu yang membuat mereka harus ekstra ketat menjaga anaknya itu.
“Maaf, Nay salah sudah bohong ke Papa tadi. Tapi, beneran kami tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Nay datang membawa obat dan bantu mengompres kaki Bang Daren, itu saja. Tadi waktu Papa telepon, kami juga sudah mau kembali ke pesta,” terang Naya.
“Jadi maksudmu Papa yang mengada-ada dengan bilang lihat kalian berpelukan mesra di video call tadi. Begitu?!”
“Tidak, saya tadi memang memeluk dan mencium Nay!” lontar Daren lugas mengakui apa yang tadi dia lakukan ke Nay.
“b******k!” Dengan cepat Satria beranjak menghampiri Daren hendak menjotos mulutnya yang sudah kurang ajar berani mencium anaknya. Namun, tanpa diduga justru Nay lebih dulu menghadang dan membiarkan wajahnya jadi tameng.
“Nay!”
Mereka semua tersentak kaget. Terlambat, tangan Satria yang masih mengepal tampak gemetar melihat anaknya mengerang kesakitan setelah dihantam jotosannya. Jantungnya seperti diremas melihat luka di wajah anaknya.
“Beb …,” Daren panik mengusap ujung bibir Nay yang berdarah. Begitu pun mama Nay yang mendekat dengan mata basah.
“Kenapa sejak dulu sulit sekali bagimu untuk belajar mengontrol emosi, Satria? Lihat apa yang sudah kamu lakukan!” Suara Jonathan Lian menggelegar keras. Satria Lin berdiri mematung menatap anaknya yang meringis kesakitan. Mata sembabnya membalas tatapannya dengan air mata berderai.
“Pa, Nay tahu kenapa selalu diperlakukan seperti tahanan yang tidak pernah punya kebebasan. Tapi, Pa, tidak bolehkah Nay juga merasakan bahagia jatuh cinta seperti yang lain? Jangan khawatir, aku tahu batas. Tidak mungkin akan berbuat bodoh dan kebablasan, karena aku sangat tahu seperti apa rasanya terlahir jadi anak terbuang dan seumur hidup dicap sebagai anak haram!” ucap Nay dengan suara serak diantara tangisnya.
Rena yang tertampar rasa bersalah menangis memeluk anaknya. Sedang Satria diam mematung, kemudian berbalik dan melangkah pergi tanpa sepatah katapun. Seumur-umur Nay tidak pernah mengeluh. Baru sekali ini menyinggung soal asal-usulnya, dan masa lalu kelam mamanya.
“Maaf, gara-gara saya semua jadi berantakan begini,” ucap Daren menunduk dengan rasa bersalah di depan kakek Nay. Seorang konglomerat pemilik perusahaan farmasi terbesar, Linzone. Nay memang bukan cucu kandung keluarga Lin, tapi dia disayangi dan diperlakukan sama seperti cucu yang lain.
“Apa keluargamu tahu kamu dekat sama cucuku?” tanya Jonathan dengan wajah tenangnya.
“Tahu.” Daren mengangguk.
“Papa dan kakakmu juga hadir di pesta pernikahan Liam, kan? Aku tadi sempat melihat mereka di bawah.”
“Iya, mereka hadir.”
“Bagus, kalau begitu kita bicarakan lagi masalah ini nanti setelah pesta Liam selesai. Kalau niatmu memang serius, datanglah secara baik-baik ke kami. Sebagai orang yang berpendidikan dan tahu adab, kami tidak suka kalau kamu mengajak Nay berhubungan dengan sembunyi-sembunyi begini!” tegas kakek Nay.
Daren mengangguk paham, lalu menoleh dan mengusap lembut luka diujung bibir gadis kesayangannya itu. Asal Nay sudah mengangguk, dia sanggup melakukan apapun untuk menjadikan gadis ini miliknya. Meski terdengar gila karena mereka juga baru saja berpacaran, tapi Daren siap melamar Nay saat ini juga.
Namun, akankah semua semudah itu? Sedang Satria begitu tidak menyukai Daren. Latar belakang keluarga Bastian menjadi alasan kuat papa Nay menentang keras hubungan mereka.