Bab 8

1203 Words
“Nanti pulang kuliah jalan, yuk? Ke kafe atau nonton. Gimana?” tanya Kalila menoleh ke arah Asia yang berada di sampingnya. “Gue ada jadwal ngelesin,” jawab Asia. “Lo ngelesinnya setiap hari?” “Nggak, sih. Hanya Senin sampai Jumat aja. Sabtu Minggu libur. Tapi, sebenarnya, kalau bisa, gue pengennya full seminggu.” “Dih, hobi banget lo kerja,” kata Kalila menatap Asia dengan bingung. “Ya habis, kalau nggak keluar, kerja, gue bakal terkurung di rumah sama mama tiri gue dan Clara. Ogah lah. Mending kerja. Dapat duit. Dan nggak harus ketemu sama mereka berdua.” “Ya bener juga, sih.” Kalila menganggukkan kepala mengerti. “Oh, kalau gitu, Minggu besok kita jalan, yuk. Ke mal. Belanja kek, atau nonton kek, apa kek, gitu. Yuk?” Asia tersenyum lebar seraya menganggukkan kepala. “Oke,” jawabnya. “Gue pengen beli ramen.” Tak jauh dari posisi Asia dan Kalila berada, sosok Shankara dan Rasya tengah berjalan ke arah mereka. Buru-buru Asia berbalik, hendak berjalan menjauh dari Shankara ataupun Rasya. Namun, Kalila terlebih dahulu mencekal lengan Asia yang membuatnya berhenti. “Mau ke mana lo?” “Kabur,” jawab Asia cepat. “Ngapain kabur?” “Lo nggak lihat siapa yang datang?” Kalila menoleh ke arah Shankara dan Rasya yang semakin mendekat ke arah mereka. Lalu, Kalila kembali menoleh ke arah Asia. “Lihat. Terus?” “Gue malas ketemu sama Pak Shan. Masih keki gue, karena tugas gue ditolak sama dia,” gerutu Asia. “Ini kesempatan lo tahu,” ucap Kalila. “Mumpung Pak Shan lagi sama Pak Rasya. Siapa tahu dia nggak akan segalak kalau sendirian. Coba aja ajuin tugas lo sekarang. Kali aja dia mau nerima.” Asia melirik sebal ke arah Shankara yang tampak tengah mengobrol dengan Rasya. “Telat enam menit aja dia nggak mau nerima, Kal. Ini udah telat berapa hari coba? Mana mau dia nerima.” “Coba aja dulu. Siapa tahu Pak Shan lebih jinak.” Asia menggelengkan kepala. “Nggak mungkin jinak.” Shankara dan Rasya berjalan melewati Asia dan Kalila. Sontak saja Kalila tersenyum sopan sambil menyapa kedua dosen itu. “Siang, Pak,” sapa Kalila. Asia yang kelabakan karena sapaan Kalila yang tiba-tiba itu hanya bisa mendundukkan kepala tanpa berani menatap ke arah Shankara ataupun Rasya. Rasya tersenyum sambil membalas sapaan Kalila itu. Shankara sendiri hanya menganggukkan kepala singkat sebagai balasan. “Oh, Asia, ya?” tanya Rasya tiba-tiba ketika melirik ke arah Asia yang sejak tadi menundukka kepala. Panggilan itu membuat jantung Asia berdegup hebat karena panik. Segera saja Asia mengangkat kepala untuk menatap ke arah Rasya. Dosennya itu saat ini tampak tengah memandangnya dengan raut wajah penasaran. Diam-diam Asia pun melirik ke arah Shankara yang tengah menatapnya dengan sorot mata dingin seperti biasa. “Iya, Pak. Ini Asia,” balas Kalila menyenggol Asia yang masih belum membalas ucapan Rasya tadi. “Apa hari ini ad akelas saya?” tanya Rasya lagi menatap Asia dan Kalila bergantian. Asia menganggukkan kepala. “Iya, Pak. Nanti jam satu,” jawabnya melirik ke arah Kalila. “Oke, kalau gitu nanti sebelum kelas mulai ke ruang dosen, ya? Ke meja saya. Ambil tugas.” “Baik, Pak.” Rasya menganggukkan kepala dengan rasa puas. Setelah itu Rasya dan Shankara kembali berjalan melewati Asia dan Kalila. “Kenapa tiba-tiba gue disuruh ambil tugas di meja Pak Rasya, sih?” tanya Asia dengan heran seraya menatap punggung Rasya dan Shankara yang sudah berjalan menjauh. “Ah, pasti ini gara-gara kemarin gue kepergok ngaca di kaca mobil Pak Rasya. Ditandain nih, gue pasti. Nasib gue sial amat sih, Kal,” keluh Asia seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Nggak apa-apa, Asia. Kapan lagi coba, lo ditandain sama dosen ganteng dan ramah kayak Pak Rasya? Ini bukan kesialan, tahu,” kata Kalila dengan segala pikiran positifnya. “Gue malu tahu, Kal. Ah, gue nggak suka dikenal sama dosen, gini. Berat.” Asia menggelengkan kepala. “Siapa tahu nilai lo jadi lebih terjamin,” balas Kalila seraya mengacungkan jempolnya ke arah Asia. “Gue dikenal sama Pak Shankara. Apa nilai gue terjamin?” sahut Asia merasa kesal sendiri mengingat sikap dingin dan menyebalkan yang Shankara tunjukkan kepadanya. “Terjamin E,iya. Syukur-syukur gue dapat D.” Asia balas mengacungakn jempolnya ke arah Shankara yang sudah semakin jauh dari mereka. “Nyebelin tuh, dosen.” Kalila terkekeh mendengar gerutuan Asia mengenai Shankara. “Sabar aja, deh,” ucapnya seraya menepuk-nepuk punggung Asia. *** Seperti yang diminta oleh Rasya, sebelum kelas dimulai, Asia pergi ke ruang dosen guna menemui Rasya untuk meminta tugas yang dosennya maksud. Namun, ketika sampai di ruang dosen, Asia mendapati meja Rasya kosong. Dan sialnya, meja Rasya itu bersebelahan dengan meja Shankara yang saat ini ada penghuninya. Shankara tampak tengah fokus dengan laptop di hadapannya. Asia melirik ke arah Shankara, berniat untuk bertanya kepada dosen itu ke mana perginya Rasya. Namun, Asia merasa itu adalah ide buruk. Jadi, Asia mengurungkan niatnya itu. Asia memilih untuk mengamati sekitar, mencari dosen lain yang bisa ditanyainya. Siapa pun boleh, selain Shankara. “Kamu cari siapa?” tanya seseorang yang membuat Asia menoleh ke sumber suara. Saat ini Shankara tengah menatap Asia dengan kernyitan di dahinya. “Pak Rasya,” jawab Asia menunjuk meja milik Rasya yang kosong. “Tadi, saya disuruh ke sini untuk ambil tugas, Pak.” “Pak Rasya lagi keluar. Mungkin sebentar lagi balik,” kata Shankara seraya kembali fokus menatap layar laptopnya. Asia menganggukkan kepala mengerti. Kini, Asia tampak bingung sendiri. Haruskah Asia menunggu Rasya di luar ruang dosen atau di sini saja tidak apa-apa? Lalu, Asia kembali melirik ke arah Shankara. Tiba-tiba saja Asia teringat dengan tugasnya yang ditolak oleh Shankara. Apa, sebaiknya Asia mempertimbangkan saran dari Kalila dan Cakra yang memintanya untuk berbicara kepada Shankara mengenai tugasnya? Tapi, kalau Shankara kembali menolak tugasnya, bukankah itu akan sangat memalukan? “Ada apa?” tanya Shankara kembali menoleh ke arah Asia. Asia menggigit bibir bawahnya dengan memasang ekspresi wajah ragu-ragu. Hal ini membuat kernyitan di dahi Shankara semakin dalam. “Apa…, apa Pak Shankara benar-benar tidak bisa menerima tugas saya, Pak?” tanya Asia dengan ekspresi wajah memelas. “Saya kan sudah bilang, tugasnya dikumpulkan paling lambat jam dua siang. Dan kamu telat mengumpulkan tugas itu. Jadi, saya tidak bisa menerimanya.” “Tapi, kan, saya hanya telat beberapa menit saja, Pak. Dan itu pun bukan karena sengaja mau telat ngumpulin,” kata Asia. “Pak, saya mohon, terima tugas, saya, Pak. Saya janji nggak akan telat ngumpulin tugas saya lagi,” tambah Asia tanpa sadar sudah berjalan mendekat ke arah meja Shankara yang berada di samping meja Rasya. “Tolong beri saya kesempatan sekali saja. Saya mohon, Pak. Terima tugas saya.” Asia kini sudah menempelkan kedua telapak tangannya menjadi satu sebagai gesture memohon. “Please, Pak. Tolong selamatkan saya, Pak.” Shankara hanya diam seraya mengamati Asia. Lalu, matanya melirik ke arah pintu ruang dosen. “Itu Pak Rasya,” katanya singkat seraya kembali menatap layar laptop di hadapannya. Sikap tak acuh Shankara itu membuat Asia membayangkan melayangkan tinju berkali-kali ke udara. Shankara benar-benar tidak bisa diharapkan. Dosennya itu benar-benar tidak punya hati. Sangat tega. Dasar dosen nyebelin! Tidak punya belas kasihan! Bikin dongkol! Jahat! Shankara syetan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD