Chapter 4 -

947 Words
Jantung Mei berdebar kencang saat ini. Setelah beberapa kali meyakinkan dirinya, ia akhirnya benar-benar yakin kalau ia telah hamil. Ia mengandung anak Aslan. Ia telah mengandung anak suaminya. Hati wanita itu merasa haru dan bahagia. Kebahagiaan yang ia tunggu hampir 2 tahun, akhirnya datang juga. Ia tidak bisa menahan tangisnya saat melihat dua garis tertera dalam test pack yang dipegangnya. Ucapan syukur tidak hentinya ia keluarkan dari mulutnya. Tidak sabar membagi kabar gembira ini, Mei menghambur ke kamar tidur dan mengambil ponselnya. 'Mas Aslan. Hari ini sibuk ga? Bisa makan siang di luar?' Setelah beberapa menit menunggu, masih belum ada jawaban dari suaminya. Tapi itu tidak menghentikan Mei untuk ke dapur dan mulai memasak makanan lezat. Wanita itu bersiul riang saat ia mempersiapkan hasil masakannya dalam dua kontainer tertutup. Ia tahu suaminya pasti lapar saat istirahat siang nanti. Semenjak menikah, ia telah beberapa kali datang ke kantor suaminya untuk mengantarkan makanan. Aslan tadinya ingin membawa bekal dari rumah, tapi Mei menolaknya. Salah satu nasihat mertuanya adalah agar ia bisa membuat seorang suami bahagia lewat perutnya dan Mei tahu, masakannya tidak akan enak bila telah dingin. Karena kantor Aslan juga tidak terlalu jauh dari rumah, maka ia pun memutuskan untuk membawa bekal yang hangat untuk suaminya. Biasanya ia memang akan menunggu dulu konfirmasi dari suaminya, tapi hari ini berbeda. Mei sangat ingin datang dan mengejutkan pria itu di kantornya. Ia sangat ingin membagi kabar gembira ini secepatnya. Turun dari ojek online, kaki-kaki Mei tidak sabar melangkah ke dalam gedung yang tidak terlalu besar itu. Petugas resepsionis yang duduk di balik meja, tampak tersenyum ramah padanya. "Siang ci Mei. Mengantar makanan buat pak Aslan lagi?" Mei tertawa kecil dan meletakkan bekal itu di meja resepsionis. "Iya mba. Mas Aslan ada di kantor?" "Tadi pagi ada. Tapi sekitar satu jam lalu keluar kantor. Mungkin ketemu klien sebentar." Ada rasa kecewa di hati Mei, tapi ia tetap berusaha tersenyum. "Kalau begitu, saya titip seperti biasa ya mba Din. Tolong diinfokan saja ke mas Aslan." Resepsionis itu masih tersenyum dan menyimpan bekal itu di mejanya. "Akan saya sampaikan ci. Biasanya juga sekitar jam 1-an, pak Aslan sudah kembali ke kantor kok." "Terima kasih mba." Mulut Mei masih menyisakan senyuman dan ia pun keluar dari gedung itu. Ia berdiri di lobi dan memandang ke sekitarnya. Ingatannya melayang ke beberapa tahun lalu saat ia masih bekerja dulu. Ia baru memulai karir-nya sebagai seorang sekretaris dan karena kemampuan bahasanya, tidak cukup sulit bagi Mei untuk menemukan pekerjaan dengan gaji yang cukup besar. Dirinya memutuskan pindah keyakinan, saat melihat salah satu karyawan di kantornya. Karyawan wanita itu tidak terlalu menonjol tapi, semua orang hormat padanya. Ada sesuatu di dirinya yang membuatnya tampil anggun, sekaligus kharismatik. Wanita itu tidak banyak bicara, tapi selalu menyapa para karyawan yang levelnya jauh di bawahnya. Tadinya Mei tidak mengenalnya, yang ternyata adalah salah satu junior manager dan telah bekerja di sana tahunan. Kesederhanaan karyawan itu yang tadinya diremehkan Mei perlahan runtuh, saat ia melihat kemampuannya ketika mendampingi atasannya rapat bersama wanita itu. Sama sekali ia tidak menyangka, bahwa orang yang diremehkannya dulu ternyata memiliki otak yang pintar. Lidahnya tajam tapi tetap sopan. Perkataannya menyakitkan, tapi cara penyampaiannya membuat orang mau menerimanya. Itu adalah kali pertama Mei menemukan seseorang yang menjadi idolanya, dan hal itulah yang membuatnya mulai mempelajari keyakinannya sekarang. Wanita itu adalah role model, yang tidak pernah ia dapatkan dari keluarganya yang bisa dikatakan broken home. Suara beberapa karyawan yang tertawa-tawa di pelataran parkir membuat Mei tersadar dari lamunannya. Teringat sesuatu, wanita itu melihat ponselnya dan keningnya berkerut. Masih belum ada balasan dari Aslan. "Apa mas Aslan sibuk banget ya?" Terik matahari membuat Mei mulai pusing. Ia tidak terlalu tahan panas, apalagi dengan kondisinya saat ini. Memutuskan pulang, wanita itu mulai berjalan ke depan gedung. Ia baru akan mengambil lagi ponselnya, saat melihat sosok yang dikenalnya duduk di salah satu kedai kopi di seberang kantor. "Mas Aslan?" Senyuman yang ada di wajahnya membeku, saat ia melihat sosok lain yang sedang duduk di depan pria itu. Sosok wanita cantik yang pernah ia temui dulu. Jantung Mei memompa darahnya lebih cepat, dan ia bisa merasakan nafasnya mulai sesak di dalam. Aliran udara seolah berhenti mengaliri darahnya, ketika melihat tangan wanita cantik itu menyentuh tangan suaminya di atas meja dan pria itu tidak menepisnya. Aslan tidak menolak sentuhan dari wanita lain. Kedua mata Mei memanas. Ia bisa merasakan bola matanya mulai memproduksi air di kelopaknya. Entah karena kebetulan atau memang karena mereka telah terikat, tiba-tiba saja Aslan menoleh padanya. Mei bisa melihat wajah pria itu memucat dan tubuhnya yang tinggi berdiri mendadak dari duduknya. Meski ia tidak bisa mendengar, tapi bibir pria itu yang merah muda terlihat menyerukan namanya. "Mei?" "Aslan?" Kaget dengan reaksi pria di depannya, Christine mengerutkan kening. "Aslan? Ada apa-" "Mei!" Pria itu langsung meninggalkannya dan keluar dari kafe. "Aslan!" Menyambar tasnya, Christine baru akan ikut keluar saat seseorang berteriak padanya. "Mba! Belum bayar!" Tadinya wanita itu tidak akan mengacuhkannya, tapi kondisi kafe itu cukup ramai dan banyak pasang mata mulai memandanginya penuh kecurigaan. Kesal, ia menoleh pada pelayan kafe yang rautnya sama sekali tidak ramah sekarang. "Berapa?" "Seratus tiga puluh ribu." Tangan Christine mengepal. Dulu jumlah itu kecil untuknya tapi sekarang, terasa cukup besar. Ia baru saja menyelesaikan pembayarannya saat terdengar teriakan dari luar kafe. Kepalanya menoleh dan matanya menangkap pemandangan Aslan terduduk di samping trotoar dan memeluk seorang wanita. "Kecelakaan!" Semua orang keluar dari kafe, termasuk dirinya sendiri. Matanya membelalak saat ia melihat ceceran darah yang cukup banyak di jalanan aspal itu. Dan aliran itu datang dari wanita yang ada di pelukan Aslan. "Mei! Mei! Ya Allah! Bangun sayang..." Christine mematung saat melihat raut pria itu yang tampak hancur dan meneteskan air matanya. "Ambulans! Tolong seseorang panggil ambulans!!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD