Chapter 2 -

823 Words
"Terima kasih, Mei." Wanita itu tersenyum dan duduk di samping mertuanya. Memandang wanita baya di depannya, benak Mei berkelana ke beberapa tahun lalu saat ia pertama kali jadi seorang mualaf. Ia berasal dari keluarga dengan tradisi tertentu dan ketika akhirnya memutuskan menganut kepercayaan yang berbeda, seluruh keluarga besar menentang dan mengeluarkannya dari akta. Ia bukannya tidak memiliki uang sama sekali. Namun, tidak akan ada seorang pun yang mau untuk berada dalam situasinya saat itu. Ia memang sudah punya pekerjaan, tapi pengasingan keluarga intinya secara cepat mempengaruhi pandangan orang-orang di sekitarnya. Dirinya terpaksa pindah dari lingkungan tempat tinggalnya semenjak ia lahir. Belum lagi pandangan yang mencemooh dari beberapa rekan saat mengetahui keputusannya. Tidak pernah sekali pun ia menyesali jalan yang ia ambil. Ia hanya menyesal, kenapa pada waktu itu ia mau saja menerima saat dilamar dan belum cukup pengalaman untuk lebih memperdalam keyakinannya. Hal yang tidak ia pikirkan akan jadi masalah, ternyata sekarang justru menimpa dirinya di saat ia belum siap. "Mei?" Panggilan lembut itu membuat Mei menengadah. Di depannya, tampak mertuanya memandanginya lembut. Wanita baya yang telah melahirkan suaminya ini selalu memperlakukannya sangat baik. Seolah ia adalah anaknya sendiri. Tapi... "Ya, bunda?" Terdengar helaan nafas dari mertuanya. Wanita baya itu meletakkan cangkirnya di meja. "Mei... Apa Aslan sudah... mengatakan niatnya pada kamu?" Pertanyaan itu membuat hati Mei seolah dirajam ribuan batu. Hatinya sakit. Hatinya berdarah. Ia hancur. Bibir merah muda itu tersenyum lembut. "Iya. Mas Aslan sudah ngomong sama Mei tadi malam, bun." Mata tua itu memandanginya ragu-ragu. "Boleh bunda tahu, apa keputusanmu, Mei?" Merasakan tangannya mulai gemetar, Mei ikut meletakkan cangkirnya di meja. Pandangannya tertunduk. "Mei akan ikut keputusan mas Aslan saja." Sejenak, suasana di ruang tamu kecil itu senyap. Hanya suara samar cuitan burung terdengar di luar. "Mei... Boleh bunda cerita kenapa Aslan minta itu ke kamu?" Bola mata Mei yang sipit naik dan menatap mertuanya. Wanita baya itu tersenyum lembut. "Boleh bun..." Kembali terdengar helaan nafas dari mertuanya. Ia sedikit menyender. "Bunda yakin, kamu sudah tahu siapa Christine kan?" Kepala Mei mengangguk. Tatapannya tertunduk ke arah tangan yang ada di pangkuannya. "Dia mantan pacar mas Aslan dulu." Lagi-lagi suasana hening sejenak, sampai mertuanya bicara kembali. "Kamu sudah tahu kenapa mereka sampai putus kan?" Kedua tangan Mei mencengkeram erat, dan kepalanya mengangguk pelan. "Beda agama." Wanita baya itu menghembuskan nafasnya sedikit keras, menandakan kegalauan hatinya. "Sudah dari awal, bunda memperingatkan. Pacaran beda keyakinan itu, tidak akan membawamu ke mana pun. Tidak ada masa depan. Membuang waktu, juga tenaga. Karena tidak akan pernah ada jalan temunya." Penjelasan itu membuat Mei semakin mengeratkan tangannya. Ia masih menunduk. Mengamati menantunya yang masih diam, wanita baya itu memutuskan melanjutkan lagi. "Kamu tahu mereka dekat berapa lama?" "Empat tahun, bunda..." "Benar. Empat tahun. Aslan menghabiskan 4 tahunnya sia-sia, hanya untuk menjalin hubungan yang pada akhirnya kandas juga. Dari awal, anak itu tahu orangtua Christine tidak akan pernah merestui mereka. Meski hubungan mereka terjalin baik, meski Christine adalah wanita yang baik dan calon isteri yang sempurna bagi Aslan, tapi apa manfaatnya kalau itu tidak membawa ke mana pun?" Sesuatu dalam kata-kata itu membuat nafas Mei sedikit cepat, tapi ia masih menundukkan kepalanya. Memandang menantunya, tatapan wanita baya itu terlihat sedih. Perlahan, ia mengambil kedua tangan Mei yang putih dan menggenggamnya erat. "Tapi sekarang, Christine butuh bantuan kita, Mei... Dia butuh... Aslan." Barulah pandangan Mei naik. Sorot matanya bercampur antara sakit dan heran. "Bunda?" Genggaman di tangan Mei mengerat. Mertuanya itu terlihat menelan ludahnya beberapa kali. "Saat putus dari Aslan, Christine akhirnya menerima lamaran pria lain. Mereka menikah hampir tiga tahun ini Mei, dan sudah dikaruniai seorang putri cantik... Tapi dalam perjalanannya, Christine ternyata mendapat hidayah. Ia baru menemukan tujuan hidupnya saat sudah menikah dengan lelaki lain." Kali ini, jantung Mei serasa mencelos ke bawah. Ia sangat tahu pasti yang akan dikatakan selanjutnya. "Suaminya menceraikannya, Mei. Dan karena Christine memutuskan membawa anaknya serta, pria itu sama sekali tidak mau menafkahi keduanya. Ia menganggap hubungan darah mereka sudah putus, sejak Christine pindah keyakinan. Saat ini, ia tidak punya siapa pun, Mei. Ia tidak punya suami. Ia tidak punya keluarga. Dia tidak punya tempat tinggal. Dia sebatang kara dan butuh bantuan kita, Mei..." "Tapi kenapa mesti mas Aslan..." Akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulutnya juga. "Karena hanya Aslan yang dia tahu, Mei... Aslan juga yang dulu mencoba mengajaknya pindah keyakinan. Anak itu sampai mengenalkannya pada seorang guru untuk belajar agama, tapi dia menolak. Tapi sekarang saat dia sudah mendapatkan petunjuk, apa kita tega menolaknya, Mei?" Bola mata Mei bergerak-gerak menatap mertuanya, tapi tidak satu pun kata keluar dari mulutnya. "Bunda tahu, ini tidak adil buat kamu. Kamu juga pernah melalui yang sama, tapi saat itu, Aslan sudah ada di sampingmu. Kamu tidak sendirian. Tapi Christine... Dia sendirian. Dia butuh orang mengarahkannya. Dia butuh seseorang mengajarkannya. Ia butuh orang untuk menyakinkannya bahwa pilihannya tidak salah...." Dan saat kata-kata terakhir keluar dari mulut wanita baya itu, Mei menundukkan matanya yang basah. "Dia butuh seorang imam, Mei... Karena itu, bunda meminta Aslan menikahinya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD