Andrew (2)

1379 Words
Setelah mengamati Carolina selama 1 minggu, gue akhirnya sedikit mengetahui karakternya. Carolina sepertinya memiliki sifat penyendiri, setiap kali ada yang ingin mengajak ngobrol dengannya, dia selalu menjawab seadanya saja dan sibuk memainkan handphonenya. Dia juga jarang nongkrong di kantin kampus, dia selalu kembali ke indekosnya ketika sebuah kelas telah berakhir. Dia hanya diam di kampus ketika rentang kelas berikutnya hanya 30 menit sampai 1 jam. Lebih dari itu, dia pasti balik ke indekosnya. Gue hanya sering menatapnya dari jauh karena sifatnya yang dingin dan selalu mengabaikan gue. Sampai suatu ketika, sebuah kesempatan datang pada gue. Dosen memberikan tugas yang harus dikerjakan secara berkelompok. Carolina yang sejak awal sudah memutuskan untuk menjadi mahasiswa kupu kupu* menjadi kesulitan akan hal itu. Gue pun langsung memanfaatkan hal tersebut dan mendekatinya. (*Kuliah pulang kuliah pulang) "Hei, kita satu kelompok, ya!" ucap gue tanpa tahu malu. Carolina menatap gue sebentar, sebelum akhirnya mengangguk. "Berarti kita tinggal cari 1 orang lagi nih," ucap gue sambil melihat sekeliling kelas. "Kalian masih butuh orang gak? Gue boleh gabung?" tiba-tiba seorang wanita menghampiri kami. Dia berambut pendek dengan kulit kuning langsat, sangat kontras dengan Carolina yang berambut panjang dan kulit putih. "Oke deh, lo Vera kan, ya?" tanya gue yang lupa-lupa ingat dengan namanya. "Iya, lo Andrew kan?" jawabnya sambil tersenyum. Gue mengangguk, terus mengalihkan perhatian gue lagi pada Carolina. "Lo sabtu ada acara gak? Gimana kalo kerjainnya tugasnya sabtu aja di mekdi?" tanya gue mengusulkan. "Aku gak bisa kalau hari sabtu," tolak Carolina. Apa jangan-jangan dia punya pacar, ya? "Lo mau kencan, ya?" tanya Vera yang mewakili pertanyaan gue. "Gak kok, lagi ada urusan aja. Gimana kalau besok?" tanya dia balik. Gak apa dulu nih, gak mau kencan atau gak punya pacar? Rasanya gue ingin menanyakan hal tersebut tapi gue berhasil untuk menahannya. Ntar dikira gue agresif lagi. Harus selow dong. "Gue bisa aja sih," ucap Vera. Kini mereka berdua memandangi gue. "Yaudah besok aja. Bagi nomor kalian dong, biar komunikasi kita enak," ucap gue mencari alasan. Carolina dan Vera langsung memberikan nomor mereka. Smooth Andrew, smooth Setelah kejadian itu, gue sama Carolina semakin dekat, meski responnya masih dingin seperti biasa. Kami berdua juga semakin dekat dengan Vera. Setiap ada tugas kelompok, kami bertiga pasti satu kelompok. Jika kelompok itu membutuhkan 4 orang, kami tinggal memilih secara acak antara teman seangkatan kami atau kakak tingkat yang mengulang. "Ve," ucap gue ketika gue dan Vera lagi nongkrong berdua untuk mengerjakan tugas kelompok. Carolina yang penyendiri itu lebih suka membagi tugasnya, mengerjakan sendirian bagiannya, dan mengirimkannya padaku untuk dikumpulkan. "Lo sama Carol kan kelihatannya dekat tuh, dia punya cowok gak sih?" tanya gue kemudian minum Hazelnut Latte yang gue pesan. Gue sesekali melirik Vera untuk menunggu jawabannya. Vera terdiam sebentar, seperti memikirkan sesuatu, "Gak tau juga, kenapa emangnya?" tanya Vera. Gue meletakkan minuman itu dan melanjutkan mengetik tugas di laptop, "Gak sih, soalnya tiap di ajak buat tugas di luar pasti selalu dia tolak. Cuma ngikut pas semester satu dulu." "Gak tau juga, mungkin karena dia gak punya uang? Lo kan tau dia masuk sini karena beasiswa. Kalo nongkrong di sini kan bisa habis 25 ribu untuk harga minumannya doang," jawab Vera yang kemudian minum Vanilla Latte yang dia pesan. "Hmm… iya juga ya, mungkin itu alasan nilainya bagus-bagus dan jadi mahasiswa IPK tertinggi di angkatan kita," selama tiga semester berturut-turut, Carolina tetap memegang posisinya sebagai peraih IPK tertinggi. "Lo suka cewek yang pintar, ya, ndre?" tanya Vera tiba-tiba, tapi dia hanya menatap layar laptopnya dan tangannya sibuk mengetikkan sesuatu di keyboard. "Gak juga kok, tapi kalo dia pintar ada nilai tambahannya sendiri. Lo sendiri gimana? Tiap malam minggu selalu ngerjain tugas bareng gue, emang lo gak punya cowok?" tanya gue berusaha mengalihkan pembicaraan. Bisa gawat nanti kalo Vera tau gue naksir sama Carolina! "Kalo gue ada cowok, gak mungkin kali tiap malam mingguan gue sama lo, ndre, lo ngejek gue ya!" ucap Vera sambil memukul pelan lengan gue. "Hahaha, yaudah cheers! Untuk sesama jomblo," ucap gue mengangkat gelas gue yang langsung berbunyi "clang" ketika Vera membenturkan gelas miliknya ke gelas gue. Waktu kemudian terus berlalu, meski Carolina masih terkesan cuek, tapi perasaan gue padanya semakin besar. Apa lagi ketika gue ulang tahun dan dia memilih untuk mengucapkannya secara langsung sambil tersenyum. Bibirnya yang terangkat dengan manis dan suaranya yang meluluhkan hati ketika mengucapkan, "Selamat ulang tahun, Andrew." Hanya empat kata itu, empat kata yang membuat gue selalu senang dalam satu tahun, juga empat kata yang gue nanti-nantikan tiap tahun. Gue gak tau ini cinta atau obsesi semata, tapi gue merasakan ada perasaan yang tidak suka ketika gue melihat dia ngobrol dan tersenyum pada pria lain. Apa lagi kepada Dion, yang bergabung dengan kelompok kami di semester 4. Di semester 4 ada mata kuliah yang mengharuskan kami untuk berkelompok dengan enam orang. Mata kuliah itu adalah mata kuliah yang merupakan prasyarat bagi mata kuliah di semester 5, setelah itu mata kuliah di semester 5 merupakan prasyarat bagi mata kuliah di semester 6, dan itu berlanjut sampai di Kerja Praktek dan Tugas Akhir Dikarenakan tiga mata kuliah di semester 4, 5 dan 6 itu berkaitan dan dipegang oleh dosen yang sama, kelompok tersebut akan tetap ada di semester berikutnya. Jadi kalau satu orang gagal dalam mata kuliah sebelumnya, semua anggota kelompok akan gagal. Mungkin inilah yang dimaksud dengan "kebersamaan" yang selalu ditekankan oleh para angkatan tua ketika kami di ospek di semester 1. Di semester 4, kelompok kami nyaris saja gagal. Dikarenakan kami yang masih newbie yang masih berlevel 1 dan memiliki equipment dasar harus melawan boss dungeon level 20. Tapi Carolina yang sebagai ketua kelompok berhasil membawa kami teman sekelompoknya untuk mengalahkan boss tersebut. Dari 10 kelompok yang ada, yang lulus di mata kuliah itu hanya 5 kelompok. 2 kelompok diantaranya adalah kelompok dari angkatan tua. Mungkin ini juga yang dikatakan oleh orang orang bahwa masa masa sulit waktu kuliah itu mulai dari semester 3 dan 4. Jika kalian bisa melewati semester itu, perjalanan berikutnya akan lancar dan hanya tinggal menghadapi Tugas Akhir sebagai tahap terakhir dalam masa perkuliahan. Harus satu kelompok selama 3 semester membuat kami akhirnya dekat dengan teman kelompok kami, Dion, Clara dan Riko. Untungnya Riko sepertinya tidak tertarik dengan Carolina, tapi sepertinya lain halnya dengan Dion. Hal tersebut benar-benar membuat gue gak suka ketika melihat mereka bersama dan kadang Carolina tertawa dengan candaan yang menurut gue garing abis. Tapi gue gak bisa berbuat apa-apa. Carolina bukan pacar gue, dan gue gak berani untuk memintanya menjadi pacar gue. Kepercayaan diri gue sebagai Andrew Bagas rasanya runtuh begitu saja. Biasanya para wanita yang dingin ke gue akan berubah ketika mengetahui identitas gue, tapi tidak dengan Carolina. Setelah mengetahui identitas gue, dia tetap memperlakukan gue dengan sama seperti sebelum dia mengetahui identitas gue. Hal itu membuat gue yang semakin jatuh cinta padanya. Tapi gue takut. Takut dia akan menolak gue dan keadaan kami akan menjadi terlalu canggung sehingga tidak bisa untuk bersama lagi meski hanya sebagai teman satu kelompok. Gue mengenal Carolina dari sejak gue berumur 18 tahun, awalnya gue pikir gue takut untuk mengungkapkan perasaan gue dikarenakan gue masih muda waktu itu. Tapi setelah berusia 19 tahun, gue masih tidak berani untuk mengungkapkan perasaan gue. Perasaan cinta kepadanya. Gue semakin yakin akan perasaan gue ketika Dion ada diantara kami, gue gak suka lihat Carolina bersama Dion! Gue cemburu! Usia gue kini sudah berkepala dua. Tapi gue masih belum berani untuk mengungkapkannya Waktu terus berlalu hingga tak terasa hanya tinggal 2 semester lagi kami akan lulus. Itu artinya tinggal satu tahun lagi kami akan bersama-sama. Gue akhirnya membulatkan tekad untuk mengungkapkan perasaan gue. Mungkin di pantai sambil melihat matahari tenggelam? Karena Carolina pasti akan menolak mentah-mentah jika mengajaknya keluar malam hari untuk dinner romantis, dan akan sangat aneh jika mengajaknya ke pantai bersama tanpa ada alasan lain. Gue memutuskan untuk melakukannya tepat pada hari ulang tahun gue. Meski sangat sulit untuk meminta ijin kakek tua itu ketika gue bilang gue mau buat ulang tahun gue di Bali bersama teman-teman kuliah. Yah, setidaknya gue memutuskan untuk mengajak yang lain. Bagaimana pun, mereka teman satu perjuangan gue dari semester 4. Gue akhirnya berusia 21 tahun. Sudah hampir 3 tahun gue tidak berani untuk mengungkapkan perasaan gue. Sekarang waktunya gue untuk menjadi berani dan cukup tangguh untuk menghadapi segala sesuatu. Meski pun nantinya sesuatu tersebut adalah situasi yang tidak menyenangkan, bukan?.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD