SC 02 - Perempuan Aneh

1172 Words
Ayahnya benar, usianya sudah sangat matang untuk menikah. Namun, hingga sekarang, Wira belum kepikiran ke arah sana—maksudnya, pernikahan. Ia masih ingin menikmati masa lajangnya dan bergelut dengan dunia bisnis yang disukainya ini tanpa harus dibebani pikiran tentang permasalahan-permasalahan dalam rumah tangga. Lagi pula, ia tidak segila adiknya untuk tetap menikah dengan orang yang tidak ia cintai. Ya, Sasmita menikah dengan Sakti karena perjodohan yang direncanakan oleh Roy dan kolega bisnisnya. Padahal Wira tahu sendiri, antara Sasmita dan Sakti, hanya Sakti saja yang mencintai Sasmita. Sedangkan Sasmita, adiknya itu masih menyimpan perasaan kepada mantan pacarnya yang sekarang tidak tahu di mana keberadaannya. Sebenarnya kalau dipikir-pikir, Wira dan Sasmita itu sama. Sama-sama dijodohkan dan sama-sama tidak bisa melupakan masa lalu. Bedanya, Sasmita tetap menjalani perjodohan itu, sedangkan Wira, tidak. Membicarakan tentang perjodohan, Roy sudah berkali-kali menjodohkan Wira dengan anak dari kolega-koleganya. Namun, Wira yang membenci perjodohan—apalagi sejak adiknya menikah karena perjodohan— selalu mangkir setiap kali ada undangan pertemuan atau acara makan bersama mereka. Alasannya hanya satu, Wira menghindari perjodohan. Baginya, lebih baik berkutat dengan berkas serta buku-buku tentang bisnis selama tiga hari penuh, daripada harus duduk selama tiga jam ditemani obrolan tidak penting di meja makan. Tidak, Wira tidak bisa melakukan hal itu. Lebih baik sekarang ia fokus mencari Shevi saja. Sayangnya, rencananya pagi ini untuk ke rumah sakit menemui dokter yang menangani Shevi dulu, lagi-lagi gagal. Sekretarisnya menelepon dan memberitahukan jika ada perubahan jam meeting yang mendadak. Wira yang sudah setengah jalan menuju rumah sakit pun terpaksa putar balik menuju kantornya. Alhasil, Wira membatalkan pertemuan dengan dokter tersebut dan kembali tenggelam di antara tumpukan berkas yang ada di mejanya. Wira baru bisa bernapas lega ketika sore hari, semua pekerjaannya sudah selesai. Di lobi, Wira bertemu Sasmita. Ia lantas menawarkan diri mengantarkan adiknya pulang. Sasmita setuju. Wira pun mengantar Sasmita pulang ke rumah wanita itu. Sejak menikah, Sasmita memilih tinggal berdua dengan Sakti di rumah yang dibangun suaminya itu. “Kakak serius nggak mau mampir dulu? Aku buatkan kopi,” tawar Sasmita. Namun, Wira menolak. “Makasih, Sas. Kakak langsung pulang saja,” jawab Wira. “Hati-hati, Kak.” Sayangnya, kata hati-hati yang dilontarkan Sasmita kepada Wira, nyatanya tidak cukup berhasil membuat Wira fokus menyetir. Ia sudah pasti akan menabrak tukang bakso jika saja ia tidak keburu sadar dan menekan pedal rem tepat waktu. Bodoh! Gara-gara ia melamun, hampir saja nyawa orang lain melayang. Astaga, memikirkan tentang keberadaan Shevi, ternyata bisa mempersempit ruang penyimpanan di otaknya. Sialnya, lagi malah membuatnya tidak fokus berkendara. Tidak ingin mengambil risiko dengan membahayakan orang lain, Wira memilih menepikan mobilnya di sebuah warung pinggir jalan. Mungkin secangkir kopi hitam bisa membangkitkan konsentrasinya lagi. Namun, belum sempat ia menginjakkan kaki di warung tersebut, netranya menangkap hal yang terduga. Seorang wanita berdiri di tengah rel kereta api. Wira berdecak kasar dan tanpa membuang waktu lagi, ia segera berlari ke arah wanita itu. Tangannya langsung menarik wanita itu keluar dari rel kereta. Wanita itu menyentak kasar tangan Wira. “Heh, lepasin! Udah gila ya, Mas main tarik tangan orang sembarangan? Bahaya tau, ini di rel kereta. Kalau saya jatuh gimana, Mas mau tanggung jawab? Ha?!” sembur wanita berkaus cokelat muda tersebut. Alih-alih mendapat ucapan terima kasih, Wira justru mendapat amukan dari wanita itu. Wira sontak naik darah. “Yang udah gila itu Mbak ya, bukan saya! Mbak udah tau rel kereta api itu bahaya, ngapain pakai berdiri di tengah rel kayak tadi? Mbak mau bunuh diri? Jangan, Mbak. Nasi masih enak!” “Heh, jangan sembarangan ya, Mas kalau ngomong. Siapa juga yang mau bunuh diri, orang saya lagi nyari—loh, kalungku? Tuh kan Mas ini, kalung saya jadi ilang!” “Lah kok malah nyalahin saya, Mbak? Saya nggak tau apa-apa loh soal kalungnya Mbak. Kenapa malah jadi saya yang disalahin?” protes Wira. Enak saja ia tiba-tiba disalahkan. “Ya emang ini salah Masnya. Kalau tadi Mas nggak narik saya, pasti kalungnya udah sama saya lagi. Susah-susah saya nyari kalung itu, tapi gara-gara Mas, kalungnya jadi ilang lagi, kan. Pokoknya saya nggak mau tahu, Mas harus tanggung jawab! Mas harus cari kalung saya sampai ketemu. Harus sampai ketemu!” “Nggak! Saya nggak mau. Saya orang sibuk, kerjaan saya masih banyak. Lagian ini semua kan awalnya dari Mbak sendiri. Mbak yang berdiri di tengah rel pas jam kereta sore lewat, ya orang pasti bakalan mikir kalau Mbak mau bunuh diri. Makanya saya selamatin Mbak. Jadi, ya jangan nyalahin saya. Mending Mbak kalau mau kalungnya balik, ya Mbak cari sendiri aja kalungnya.” “Nggak bisa gitu dong, Mas. Mas harus tanggung jawab. Mas harus cari kalung saya yang ilang lagi. Kalau Mas nggak mau, saya akan laporin Mas ke polisi karena sudah membahayakan nyawa orang lain dan menghilangkan barang saya.” Perdebatan itu semakin berlangsung cukup sengit. Tidak ada yang ingin mengalah. Hingga sebuah suara seorang perempuan paruh baya menyela di antara keributan keduanya. “Mas, Mbak tolong ya kalau ada masalah bisa diselesaikan di rumah. Jangan di tempat umum seperti ini. Mas dan Mbaknya apa nggak malu jadi tontonan orang-orang seperti ini?” Sontak, Wira dan wanita itu segera menatap sekeliling. Matanya membola ketika mendapati orang-orang sudah berkerumun beberapa meter dari mereka. Sial! Wira segera meminta maaf dan meminta kerumunan itu untuk membubarkan diri. Setelahnya, tanpa banyak bicara, Wira langsung melangkah pergi. Meninggalkan wanita itu yang terus-terusan berteriak memanggilnya. Wira tidak peduli. Sore ini reputasinya hancur gara-gara wanita itu. “Dasar, perempuan aneh!” batinnya. Wira membuka kasar pintu mobilnya dan pergi. Mengumpat sepanjang jalan serta sumpah serapah untuk tidak bertemu dengan wanita itu. Saking kesalnya ia sampai tidak sadar jika lampu lalu lintas berganti warna. Tinn! Tinn! Suara klakson nyaring dari arah belalang berhasil menyadarkan Wira. Buru-buru ia menginjak pedal gas dan mulai melajukan mobilnya lagi, menyusuri jalanan kota. Tujuannya sekarang adalah rumah sakit. Tadi siang dokter yang menangani Shevi dulu sempat meneleponnya dan memperbolehkan Wira datang sore ini. Astaga, andai tadi ia tidak bertemu dengan wanita aneh itu, mungkin ia sudah tiba di rumah sakit sejak sepuluh menit yang lalu. Tiba di rumah sakit, Wira segera memarkir mobilnya tidak jauh dari lobi rumah sakit. Wira langsung menuju ke bagian informasi. “Saat ini Dokter Nara sedang visit, Pak. Tapi tadi beliau sudah berpesan jika Pak Wira datang, Bapak bisa menunggu di depan ruang praktik beliau. Ruangan Dokter Nara ada di sebelah sana, Pak. Bapak tinggal ikutin lorong ini, nanti ruangannya ada di paling ujung sebelah kanan ya, Pak.” “Baik, terima kasih.” Tanpa membuang waktu lagi, Wira segera mengikuti arahan dari suster tadi menuju ke ruang praktik Dokter Nara. Ia baru akan mendudukkan diri di kursi tunggu di depan ruangan, ketika seorang perempuan memakai jas putih datang. “Selamat sore, Dok,” sapa Wira. “Selamat sore, Pak Wira. Maaf sudah membuat Bapak menunggu. Mari silakan masuk, Pak.” Dokter Nara membuka pintu ruangan dan mempersilakan Wira masuk. Wira pun mengekor di belakang dokter itu. “Silakan duduk, Pak,” ujar Dokter Nara. “Terima kasih, Dok.” “Jadi, bagaimana, Pak? Ada yang bisa saya bantu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD