SC 12 - Gara-Gara Buket Bunga

2099 Words
Sampai hari ini, Wira belum bertemu Shevi lagi. Memang awalnya ia hanya memberi waktu kepada wanita itu yang mungkin masih kaget dengan pertemuan tak terduga mereka hari itu. Namun, ternyata urusan pekerjaan menjadi alasannya di kemudian hari. Dua hari lalu sang ayah jatuh sakit. Dokter mengatakan bahwa ayahnya terkena penyakit tipes dan harus bedrest untuk beberapa hari ke depan. Alhasil, Wira yang harus meng-handle semua urusan perusahaan. Ditambah lagi, Wira tak jarang harus pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Hal itulah yang pada akhirnya membuat Wira kesulitan mencari waktu luang untuk bertemu Shevi. Kesehariannya hanya bolak-balik kantor dan rumah, itu saja. Jadi, sebagai gantinya, hampir setiap hari Wira mengirimkan bunga Lily yang dipesannya di Re's Florist kepada Shevi di apartemen wanita itu. Karena tidak bisa mengantarkannya langsung, ia pun meminta pihak toko yang mengantarkan bunga pesanannya. Melalui bunga-bunga yang ia kirimkan, Wira sangat berharap Shevi tersentuh dan nantinya akan bisa melihatnya lagi—dalam artian sebagai seseorang yang mencintainya. Kenapa tidak langsung chat atau telepon saja, Wira kan punya nomornya Shevi? Tidak! Wira tidak ingin melakukan hal itu tanpa persetujuan Shevi. Apalagi ia baru bisa menemukan Shevi setelah sekian lama wanita itu menghilang. Takutnya, jika ia tiba-tiba mengirim chat atau meneleponnya, Shevi malah semakin jauh dari jangkauannya lagi seperti yang dilakukan wanita itu sebelumnya atau mungkin malah lebih parah. Ia tidak mau hal itu terjadi. Namun, di tengah kerumitan memikirkan waktu luang untuk bisa bertemu Shevi lagi, orang tuanya justru membahas perihal rencana perjodohannya dengan Rana. Wira lagi-lagi menolak perjodohan tersebut. Padahal waktu itu ayahnya bilang kalau Wira datang ke acara makan malam di rumah Pak Arifin, ayahnya tidak akan menjodoh-jodohkannya lagi dengan siapa pun. Nyatanya, ayahnya tetap berusaha menjodohkan ia dan Rana. “Tadi siang Pak Arifin dan istrinya datang ke rumah sakit, jengukin Papa. Rana juga datang, barengan sama Sasmita,” ucap Sekar mengawali pembicaraan malam itu. Tadi setelah dari kantor, Wira langsung pulang ke rumah. Ia membersihkan tubuhnya, berganti pakaian, dan bersiap pergi ke rumah sakit. Memang selama sang ayah dirawat di rumah sakit, Wira yang menggantikan berjaga di sana setiap malam. Di jalan, Wira mampir sebentar ke sebuah kafe. Ia membeli dua porsi nasi goreng spesial untuk makan malam ia dan sang ibu. Saat Wira sampai di ruang rawat sang ayah, laki-laki paruh baya itu sudah tidur. Tidak ingin mengganggu tidur sang ayah, setelah makan, Wira dan ibunya memilih keluar. Mereka duduk di kursi tunggu yang letaknya tidak jauh dari kamar rawat ayahnya. “Iya, Ma. Tadi Sasmita udah bilang sama aku kalau dia ketemu Rana dan orang tuanya di lobi rumah sakit pas dia jengukin Papa. Makanya, Sasmita ajak mereka untuk bareng ke ruang rawat Papa,” jelas Wira. Tadi siang Sasmita memang sempat mengajak Wira ke rumah sakit sekalian makan siang. Namun, Wira menolak karena harus menghadiri meeting dengan perusahaan lain. Sasmita pun akhirnya pergi sendiri dengan menggunakan taksi online. Sekar mengangguk paham. Ia tahu kedua anaknya memang saling terbuka satu sama lain. “Apa Sasmita tahu tentang Papa yang ingin menjodohkan kamu dengan Rana?” tanya Sekar. Kerutan samar tercetak di kening Wira. Kenapa ibunya tiba-tiba bertanya seperti itu? “Kenapa, Ma? Apa tadi siang mereka juga membahas soal rencana perjodohan itu?” Anggukan pelan dari Sekar menjadi jawaban atas pertanyaan Wira. “Iya, Papa dan orang tua Rana menyinggung tentang rencana perjodohan itu. Apalagi tadi Rana juga sempat bertanya soal kamu. Tapi, Mama nggak sengaja lihat ekspresi Sasmita yang langsung berubah waktu dia tahu kalian dijodohkan. Mama kira, adikmu nggak setuju dengan perjodohan itu.” Wira mendesah kesal. Ia menghela napas pelan. “Iya, aku udah cerita sama Sasmita soal yang di pesta dan rencana perjodohan itu. Dan ya, Sasmita memang langsung bilang kalau dia nggak setuju aku dijodohkan sama Rana,” terang Wira. “Dia bilang begitu ke kamu? Tapi kenapa Sasmita nggak setuju dengan rencana perjodohan kalian? Mama lihat Sasmita dan Rana cukup akrab.” Wira tidak langsung menjawab. Ia tidak mungkin memberitahu ibunya kalau alasan Sasmita tidak setuju dengan rencana perjodohannya adalah karena Sasmita ingin mengenalkan Wira dengan teman bimbelnya yang punya usaha toko bunga. “Entah, Ma. Mungkin karena dia baru kenal juga dengan Rana. Jadi, dia takut aku salah mengambil keputusan. Bukannya untuk melaju ke jenjang pernikahan, kita harus tahu betul bagaimana karakter pasangan kita supaya nggak ada penyesalan di kemudian hari? Iya kan, Ma?” “Iya, kamu benar. Kalau seperti itu pemikiran Sasmita, Mama juga nggak bisa menyalahkan karena dia yang lebih dulu menikah dibanding kamu. Mungkin ada sesuatu yang sebenarnya terjadi dengan rumah tangga adik kamu, hanya saja mereka memilih merahasiakannya. “Tapi, menurut perkiraan Mama, Rana bukan wanita yang neko-neko. Kamu lihat sendiri, kan meskipun dari golongan orang kaya, tapi Rana tetap terlihat sederhana dan rendah hati.” “Mama benar, Rana memang sederhana. Tapi apa dengan wajah dan penampilannya yang sederhana sudah cukup bisa membuktikan bahwa kepribadiannya memang benar-benar baik? Bagaimana kalau ternyata sebaliknya? Bagaimana kalau ternyata dia tidak sebaik yang kita kira? “Ma, Mama nggak lupa kan sama apa yang udah menimpa Sasmita? Bagaimana kita yang selama ini menganggap Barra adalah orang baik dan penuh tanggung jawab, tapi ternyata dia tidak sebaik yang kita kira. Barra udah nyakitin Sasmita. Dia menghilang gitu aja tanpa bertanggung jawab atas apa yang sudah dia lakukan kepada Sasmita. Mama nggak lupa, kan? Barra nggak cuma bikin Sasmita down mentalnya, tapi fisiknya juga. “Jadi, wajar kalau Sasmita berpikir seperti itu. Lagi pula, aku sendiri juga nggak mau menjalin hubungan baru dengan wanita lain kalau aku belum bertemu dan bicara langsung dengan Shevi, Ma. Aku harap Mama mengerti semua itu.” Kalimat panjang kali lebar yang Wira ucapkan tadi berhasil membuat Sekar diam. Wanita paruh baya itu tampak sedang memikirkan ulang semua ucapan Wira. Hingga pada akhirnya, wanita itu mengangguk seraya menepuk pelan pundak Wira. “Baiklah, Wira jika itu mau kamu. Mama paham. Mama nggak akan paksa kamu untuk menerima perjodohan ini. Mama akan dukung apa pun keputusan yang kamu ambil, asal kamu mengambil keputusan yang benar. Jangan sampai keputusan kamu malah berbalik menyerang kamu dan mengecewakan kami semua. Kamu bisa selesaikan dulu apa yang harus kamu selesaikan dengan Shevi. Mama percaya kamu nggak akan mengecewakan kami semua, Wir. “Tapi, kamu juga harus ingat, usia kamu nggak muda lagi. Usia kamu sudah sangat matang untuk menikah. Jadi, Mama harap setelah urusan kamu dan Shevi selesai, kamu harus pikirkan lagi soal pernikahan. Kamu bisa kan, Wira?” Pada akhirnya, Wira mengangguk. “Bisa, Ma.” Pembicaraan tersebut berakhir, tepat sesaat sebelum sebuah panggilan masuk ke ponsel Wira. Panggilan tersebut dari sopir keluarganya yang Wira minta untuk menjemput sang ibu. Sopir itu mengabarkan bahwa ia sudah berada di parkiran rumah sakit. Wira lalu mengantar sang ibu ke parkiran. Setelahnya Wira kembali ke ruang rawat sang ayah. Saat akan berbelok ke koridor ruang rawat sang ayah, tiba-tiba dari arah berlawanan, seseorang menabraknya. Orang itu mengucapkan kata maaf berkali-kali pada Wira lalu pergi. Wira tak ambil pusing dan segera membuka pintu ruang rawat ayahnya. Namun, detik berikutnya ia menyadari sesuatu ... bahwa sebenarnya seseorang yang tadi menabraknya tampak tidak asing baginya. “Dia kan ... Jo," batinnya bersuara. Setelah memastikan kepada Andrea bahwa ia tidak memiliki agenda penting hari ini, Wira pun memutuskan pulang lebih awal. Bukan, ia tidak ke rumah sakit hari ini. Ayahnya sudah diizinkan pulang kemarin, dan hari ini masih beristirahat di rumah supaya kondisinya benar-benar pulih. Wira meninggalkan ruangannya tepat saat jam makan siang. Saat akan turun, ia bertemu Sasmita di lift kantor. Saat ia bertanya mau ke mana? Sasmita mengatakan kalau ia akan pergi makan siang di kafe baru dekat kantor bersama empat orang karyawan kantornya yang lain. Mereka berlima akan mencoba ramen di kafe yang baru buka satu minggu lalu itu. Sasmita memang cukup akrab dengan mereka berempat. Tak jarang ia melihat adiknya mengobrol bersama mereka. Entah apa yang dibahas, tapi itu terdengar menyenangkan. Mereka berpisah di lobi. Sasmita dan yang lainnya berjalan kaki menuju kafe baru tersebut, sedangkan Wira menuju parkiran untuk mengambil mobilnya. Wira mengklakson sekali ketika mobilnya melewati kelima wanita itu. Wira mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang menuju kawasan yang jalannya sudah ia hafal di luar kepala. Maklum, jalanan ini sudah beberapa kali ia lalui setiap akan ke Re's Florist. Ya, hari ini Wira memutuskan pergi ke Sky Apartement untuk menemui Shevi. Namun, sebelum itu, ia mampir ke Re's Florist untuk mengambil pesanan buket bunganya. Keningnya berkerut samar ketika mendapati tidak ada sambutan dari pegawai toko. Biasanya, setiap kali ada pembeli yang datang akan disambut dengan ramah oleh pegawainya. Lalu sekarang ke mana pegawai-pegawai itu? Kenapa tidak ada orang di meja kasir? Wira pun memutuskan menunggu sambil melihat-lihat bunga yang ada di dalam toko. Kebanyakan bunga yang dijual adalah bunga-bunga cantik beraneka warna dan biasa digunakan untuk buket bunga atau dekorasi. Pandangannya menyapu sekeliling, seolah tidak ingin melewatkan melihat satu bunga cantik di toko ini. Hingga sebuah suara berhasil menginterupsi kegiatannya. “Selamat siang. Ada yang bisa dibantu? Mau mencari bunga seperti apa?” Pertanyaan itu seketika membuat Wira tersentak. Laki-laki itu berbalik cepat dan matanya membelalak kaget ketika mendapati siapa pemilik suara barusan. “KAMU?!” “Mbaknya ngapain di sini?” “Ya, Masnya juga ngapain di sini?” Wira berdecak kesal. Matanya tanpa sengaja melirik apron warna putih tulang yang dikenakan wanita itu. “Oh, Mbaknya kerja di sini, ya? Nah, kebetulan banget, Mbak. Saya mau ambil pesanan saya, tapi tadi pas saya datang tokonya sepi. Makanya saya tungguin. Sekarang mana pesanan saya, Mbak? Saya butuh cepat soalnya. Ini saya udah terlalu lama nungguin di sini,” ujar Wira. Mendengar nada bicara Wira, wanita dengan blouse warna cokelat muda itu tidak bisa untuk tidak merasa kesal. Laki-laki ini, kenapa mudah sekali menaikkan emosinya? “Iya-iya, bisa sabar, kan? Saya ambilin pesanannya. Masnya pesan apa dan atas nama siapa?” tanya wanita itu sambil menahan diri untuk tidak menendang laki-laki di hadapannya. Sabar, ini ujian. Selama ini, ia sudah menghadapi berbagai macam sifat pembeli yang datang ke sini. Dan laki-laki di hadapannya, adalah satu dari sekian pembeli yang hobinya membuat karyawan toko bekerja tergesa-gesa. “Saya pesan satu buket bunga Lily putih atas nama Wira Wardhanu,” jawab Wira. “Oke, tunggu sebentar. Saya ambilkan.” Wanita itu lalu pergi. Tak lama wanita itu kembali sambil membawa sebuah buket bunga Lily di tangannya. “Ini kan pesanannya? Totalnya jadi tiga ratus delapan puluh ribu ya, Mas.” Wira segera mengeluarkan dompetnya dan membayar pesanannya tersebut supaya bisa meninggalkan tempat ini. Wira malas berlama-lama berada satu ruangan dengan wanita yang tak tahu terima kasih seperti wanita di balik meja kasir ini. “Beli buket bunga aja bisa, giliran ganti kalung saya yang hilang bilangnya nggak bisa. Dasar,” gerutu wanita itu. “Ngapain juga saya harus ganti kalungnya Mbak, orang bukan saya yang ngilangin,” sahut Wira. Wanita itu berdecak tak peduli. “Terserah, deh. Saya capek juga nagih kalung saya. Tapi bentar deh, ini kayaknya orang yang hampir tiap hari pesan bunga Lily terus minta dikirim ke Sky Apartement, ya? Ngapain sih, Mas hampir tiap hari minta dikirimin bunga ke tempat itu? Mau bikin taman bunga di sana, ya?” “Mau tahu banget sih, Mbak. Udah itu cepetan bungkusin pesanan saya. Saya buru-buru nih. Lagian suka-suka saya lah mau kirim bunga ke mana. Ngapain Mbaknya pakai nanya-nanya segala?” “Udah songong, nyebelin, hidup pula. Dasar. Nih ya, kalau Mas bukan pembeli di sini, udah saya tendang Mas dari tadi. Cowok kok mulutnya ngeselin banget. Nih, bunga sama kartunya. Buruan pergi, deh, Mas. Malas saya lihat muka Mas.” Wira sudah akan melontarkan kekesalannya lagi, tapi tiba-tiba seorang pegawai lain datang. Wira segera menghentikannya. Tindakannya barusan membuat kedua wanita itu menatap bingung ke arahnya. “Oh ya, Mbak saya bisa ketemu sama owner florist ini?” tanya Wira. “Memang mau ngapain minta ketemu sama owner-nya?” sahut wanita dengan blouse cokelat muda tersebut. “Nah kan nggak sopan lagi. Nada bicaranya nggak ramah banget ke pembeli. Nih, mbak saya mau komplain karena salah satu pegawai di sini bersikap tidak sopan kepada pembeli. Masa Mbaknya ini tiba-tiba bentak saya, habis itu nanya-nanya ngapain saya pesan bunga Lily, padahal itu kan terserah saya mau beli apa di sini. “Terus saya mau kasih saran juga, lebih baik owner-nya nambah pegawai lagi, deh. Masa meja kasir dibiarin kosong nggak ada yang jaga. Kalau misalnya ada apa-apa, nanti repot sendiri,” lanjut Wira. “Gimana, Mbak bisa kan saya ketemu sama owner-nya?” tanya Wira sekali lagi. “B-bisa, Mas. Ta-tapi ...” Pegawai itu melirik ke samping. “Tapi apa, Mbak?” “Tapi, Mbak ini adalah owner-nya Re’s Florist, Mas.” “Apa?!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD