Suara dentuman musik memekik nyaring memekakkan telinga. Berpadu dengan teriakan-teriakan para anak muda yang menghabiskan malam panjang mereka di tempat anti mainstream. Membuat suasana malam semakin meriah.
Pemuda tampan itu keluar dari mobil sport miliknya. Beberapa gadis dan wanita langsung menghampirinya. Berebut, seolah dia adalah stok laki-laki terakhir di tempat itu. Dan seperti biasa, Dav tak menghiraukan mereka. Hobinya adalah balapan, bukan bermain perempuan. Meskipun predikat playboy tak bisa dihindari, karena Dav tak pernah menolak kala perempuan-perempuan itu menawarkan diri.
"Hei, bro! Sup? (Halo, kawan, apa kabar?)" Seorang pemuda tampan lain menghampiri. Membuat kerumunan penyambut Dav membubarkan diri karena kehadirannya. "Gue kira lu nggak dateng," lanjutnya setelah ber-tos ria.
"Gue butuh hiburan, Bi," jawab Dav datar. Setelahnya melangkah cuek, meninggalkan pemuda itu sendirian.
Tujuannya ke sini untuk bertanding, bukan mencari teman. Kalau perempuan, dia tidak perlu mencari, mereka akan datang sendiri padanya. Seperti perempuan-perempuan yang menyambut kedatangannya tadi. Dia memang cukup terkenal di tempat ini. Bukan cuma karena tampan, tapi dia juga beberapa kali menyabet juara di sini. Mobil-mobil sitaan pun lumayan untuk menambah koleksi mobil sport kesukaannya, selain uang tunai tentu saja.
"Ready? (Siap?)"
Dav menoleh mendengar pertanyaan yang dia yakin untuknya itu. Ron berdiri dengan bersandar pada badan mobil entah milik siapa. Miliknya mungkin. Entahlah, Dav terlalu malas untuk mencari tahu hal tak berguna semacam itu, seolah dia tidak mempunya pekerjaan lain saja. Kalau pun memang milik Ron, berarti mobil itu dalam beberapa jam lagi akan menjadi miliknya. Bukankah Ron yang akan balapan dengannya? Sepertinya.
Dav menghampiri pria muda blasteran Indonesia-India. Ron seusia dengannya. Sekilas tampang Ron tak terlihat seperti seorang berdarah India, wajah tampan Ron lebih kebarat-baratan.
Deg! India?
Dav mendengus kasar. Setiap kali kata India atau apa pun yang berhubungan dengan negara itu disebut, nama perempuan itu kembali melintas. Menggores hatinya yang terdalam. Dia tak akan pernah melupakan wajah itu. Wajah cantik yang menemani hari-harinya beberapa waktu yang lalu. Entah di mana perempuan itu sekarang, apakah di Indonesia sini atau masih di Malaysia. Mereka tak pernah berhubungan lagi. Sudah beberapa bulan. Ah, bukan. Sudah setahun lebih Dav tak pernah melihatnya lagi. Keputusannya untuk meninggalkan dunia sosial yang serba palsu membuatnya tak lagi bisa menghubungi perempuan itu, dan memupuskan harapannya untuk bertemu di dunia nyata.
Dav mengembuskan napas melalui mulut, menggeleng pelan mengusir kenangan tentang perempuan itu. Bagaimana sabarnya dia menghadapi dirinya yang manja dan labil. Senyum masam tak kentara menghiasi bibir sexy Dav. Sekali lagi pemuda itu menggeleng, dia harus melupakannya. Melupakan Shreen!
Shreen, where are you? I missed you like crazy. (Shreen, di mana kamu? Aku merindukanmu seperti orang gila)
"Gue yang nantang lu malam ini."
Dav mengangguk paham. Tak memedulikan gaya Ron yang terkesan sombong. Pikirannya masih dihantui Shreen. Dav berdecak kesal, berniat meninggalkan Ron. Tak ada gunanya berlama-lama bicara dengan pemuda omong kosong seperti Ronny Wijaya.
"Mau ke mana lu?" tahan Ron. Dia masih belum puas meneror Dav. Sikap Dav yang seolah tak peduli membuatnya kesal.
Dav memutar tubuh, kembali berhadapan dengan Ron.
"Gue belum selesai ngomong, bro."
Dav mengangkat sebelah alis. Mempersilakan Ron untuk meneruskan perkataannya.
"Kalo lu menang, mobil baru gue jadi milik lu." Ron menepuk-nepuk kap mobil yang tadi disandarinya. "Terus ..."
"Terus?" ulang Dav sedikit penasaran. Masih mematap Ron dengan sebelah alis yang terangkat.
Ron menyeringai sebelum meneruskan. Merangkul bahu Dav dengan telunjuk mengarah pada satu gerombolan anak muda yang sedang tertawa-tawa tak jauh di depan mereka.
"Lu liat cewek baju kuning yang rambutnya digerai?" tanya Ron.
Kalau yang dimaksud Ron adalah perempuan yang sedang meliuk-liuk mengikuti musik, iya dia melihatnya. Dav mengangguk.
"Her name is Shween (Namanya Shween). Dia baru pertama kali ke sini."
Dav tak bersuara, hanya menatap Ron. Menunggu penjelasan lebih lanjut pemuda itu.
"She is the hottest and the most beautiful tonight (Dia yang paling sexy dan yang paling cantik malam ini)." Ron meneguk ludah kasar melihat tubuh perempuan yang dimaksudnya bergerak. Sialan! Sesuatu mengeras di bagian bawahnya. "Dia juga bakal jadi taruhan kita..."
Sekarang kedua alis tebal Dav menukik tajam tanda tak senang. "Maksud lu?" tanya Dav kurang paham. Selama ini dia tidak pernah bertaruh atas seorang perempuan. Dav sangat tidak suka akan hal itu. Baginya perempuan bukan barang yang bisa dipertaruhkan.
Ron menyeringai lagi sebelum melanjutkan. "Kalo lu menang, lu bisa dapetin dia. Tapi kalo lu kalah, dia milik gue."
"Kenapa harus dia?" tanya Dav lagi. Kali ini dengan suara datar tanpa minat. "Kenapa juga lu pikir gue bakalan peduli?"
Ron mengernyit. Pertanyaan bodoh macam apa itu? Pikirnya gemas. Hanya orang buta yang tidak tertarik pada pesona perempuan itu.
"Dengar, dude." Ron mendekatkan mulutnya ke telinga Dav. "Gue udah lama ngincar dia sejak di high school..."
"Dia temen sekolah lu?" potong Dav.
"Nah nah." Ron menggeleng. "Dia adik kelas gue." Sekali lagi Ron meneguk ludah melihat bagaimana tubuh berbalut blouse pas badan dan rok mini itu meliuk mengikuti irama musik. "Dia yang terseksi sesekolahan asal lu tau."
"Terus ngapain lu nyeritain ini ke gue?" Dav menepis tangan Ron yang memeluk bahunya. "Nggak penting banget!"
"Penting lah, dude! Kan dia baru balik ke tanah air setelah kuliah di luar!" seru Ron lirih bersemangat.
Dav berdecak. "Gue nggak peduli!" sahutnya dingin. "Nggak ada hubungannya sama gue!" Pemuda tampan itu memutar bola mata bosan. "Ada lagi yang mau lu ceritain ke gue? Kalo nggak ada mending lu siap-siap, karena mobil lu bakalan jadi penghuni garasi gue mulai malam ini." Dav bersiap pergi sebelum kata-kata Ron kembali menahannya.
"Nggak kebalik, huh?" Ron bersedekap dengan gaya menantang. "Mobil lu dan Shween yang akan menghangatkan ranjang gue malam ini."
"Shween?" ulang Dav dengan kening berkerut. Di mana dia pernah mendengar nama itu? Kenapa rasanya sangat tidak asing? Seolah dia sering mengucapkannya.
Ron mengangguk. Senyum mengejek tersungging di bibirnya.
"Dia ..." Ron kembali menunjuk gadis berbaju kuning yang masih asyik meliuk-liukkan tubuhnya di sana. "Shween!"
Dav mengangguk kemudian berlalu. Tak ada gunanya dia melanjutkan perbincangan tak berfaedah ini. Lebih baik dia mempersiapkan diri. Sudah lama Dav mengincar mobil Ron. Bukannya dia tidak bisa membeli mobil seperti itu, tapi dia ingin meruntuhkan kesombongan pemuda pongah seperti Ron.
***
Shween masih asyik meliukkan tubuhnya ketika sepasang tangan memeluk pinggang rampingnya dari belakang tanpa permisi. Berbalik cepat, mata cokelatnya menangkap wajah tampan Ron tersenyum menggoda.
"Lu always bikin gue turn on, baby." Ron menjilat bibir, mempererat pelukannya.
Shween menggeliat lepas, senyum mengejek menghiasi bibir ranumnya. Berjingkat, Shween mendekatkan mulutnya ke telinga Ron dan berbisik.
"Bukannya kamu emang selalu bangun ya kalo liat aku?" tanyanya lirih.
Shween meniup telinga Ron yang memang sensitif. Sudah menjadi rahasia umum kalau si m***m Ron tergila-gila padanya. Lebih tepat pada tubuhnya. Jujur saja, itu benar-benar membuatnya merasa jijik. Bukan karena Ron jelek. Pemuda itu tampan, sangat tampan. Sifat mesumnya yang tak tahu tempat yang membuatnya jijik. Shween menggigit bibir menggoda Ron sebelum meninggalkan pemuda itu.
"Fvck!" maki Ron sambil matanya menatap iba pada bagian bawahnya yang makin mengeras karena mendengar kata-kata frontal yang diucapkan Shween. "Lu bakalan jadi milik gue malam ini...!"
"Maksud lu apa, dude?"
Ron berbalik cepat. Mendapati Arnavh Raj menarapnya dengan tatapan membunuh. Ron memucat. Death you, stupid Ron! (Mati kau, Ron bodoh!) maki Ron dalam hati. Pemuda itu mengerang kesal menyadari kebodohannya. Seharusnya dia tidak mengeluarkan kata-kata itu. Seharusnya kata-kata itu diucapkannya dalam hati saja. Dasar sial! Ron mengepal.
"Hai, Arn!" Ron mencoba tersenyum manis menutupi kegugupannya. Arnavh adalah sahabat Shween, sangat parah kalau sampai mendengar perkataannya. "Since when have you been there? (Sejak kapan kau berada di sana?)"
"Lu jadiin sahabat gue taruhan, gitu?" Tak menghiraukan sapaan Ron, Arnavh langsung bertanya ke intinya.
Ron menggeleng cepat. Mampus! "Nggak gitu maksudnya, Arn. Gue cuma..."
"Lu cuma apa?" potong Arnavh menaruh tangannya di bahu Ron. Menekan bahu itu. "Lu pikir gue nggak denger? Lu jadiin Shween taruhan balapan lu malam ini. Lu udah gila, dude. Lu pikir lu siapa?" Pertanyaan terakhir diucapkan Arnavh dengan berbisik. "You ain't nothing! (Kamu bukan siapa-siapa!)
"Lu ngancam gue, Arn?" Emosi Ron mulai tersulut. Dia belum mendapatkan pelampiasan karena ulah Shween tadi, dan sekarang Arnavh yang memang sahabat perempuan yang sudah membuatnya panas dingin malah menuduhnya yang tidak-tidak. Meskipun tuduhan itu tidak sepenuhnya salah, tapi dia tidak akan membiarkan perempuan yang diinginkannya dimiliki laki-laki lain. Apalagi laki-laki arogan seperti Dav Raymond.
"Gue nggak ngancam lu. Gue cuma ngasih lu peringatan." Arnavh tersenyum manis, membuat dua lubang di kedua pipinya melekuk dalam. "Jangan lu apa-apain best friend gue atau lu tau sendiri akibatnya!" Arnavh menepuk bahu Ron. Membetulkan kerah jaket pemuda itu sebelum meninggalkannya. Dia harus memberitahu dan membawa sahabatnya pergi dari tempat ini segera. Shween dalam bahaya!
Ron mengepal. Arnavh memang kurang ajar, sama saja seperti Dav. Seharusnya dia sudah tahu akan hal itu. Arnavh merupakan salah satu adik kelasnya yang paling menjengkelkan. Apalagi kekasih pemuda itu, Mikha. Astaga! Jangan sampai dia bertemu perempuan jadi-jadian itu. Malamnya akan semakin buruk saja kalau sampai mereka bertemu.
Tak ingin konsentrasinya semakin buyar, Ron segera meninggalkan tempat itu. Dia melangkah menuju kerumunan gadis-gadis berusia belasan. Akan sangat mudah menuntaskan hasrat bersama salah satu dari gadis-gadis itu. Dia cukup terkenal di kalangan mereka. Salah satu dari gadis-gadis itu pasti ada yang sukarela untuk bermain sebentar saja. Dia perlu meredakan kepalanya yang terasa hampir pecah. Berdenyut nyeri seperti di area bawah sana.
Dav memutar bola mata melihat Ron yang bertingkah seperti seorang raja. Dav memalingkan muka melihat Ron yang mulai menjalarkan tangannya di tubuh salah satu dari gadis-gadis remaja itu, di depan umum. Sungguh perbuatan yang sangat tidak pantas, tapi sangat seorang Ron sekali. Sombong dan tidak tahu malu.
"Ron emang playboy kelas kakap." Bian duduk di sebelah Dav, merangkul bahunya dengan tatapan terarah pada Ron dan pasangannya. "Nggak akan puas kalo belum begitu-begituan." Bian tertawa lepas setelah berkata seperti itu.
"Emang gue peduli?" tanya Dav datar. Tatapannya menyapu wajah tampan Bian yang tak lepas dari memandang Ron di depan sana. Jarak dari tempat mereka dengan Ron tidak terlalu jauh, mungkin hanya beberapa meter saja. Sehingga Bian dapat melihat apa yang dilakukannya dari sini dengan jelas tanpa terhalang apa pun. Mereka duduk di atas sebuah kap mobil, entah mobil siapa.
Bian mengacungkan jari tengahnya pada Ron yang tengah menatapnya di sela menggagahi gadis remaja itu. Senyum mengejek ditampilkan Bian saat menunjukkan tubuh bagian atas gadis itu yang bagian depannya sudah tidak berpenutup apa-apa, seluruh kancing blouse sudah dilepas Ron. Bian membuang muka, tak tertarik dengan pemandangan yang dipamerkan oleh Ron. Dia tidak menyukai sesuatu yang kecil seperti itu, tidak membuatnya b*******h.
"Lu emang nggak peduli, Dav." Bian berdecak. "Cewek-cewek datang tanpa lu minta, mengangkang dengan suka rela buat lu...."
"Ish!" Dav menoyor kepala Bian. Menjauhkan tangan pemuda itu dari bahunya. Sungguh, dia merasa risih dengan kata-kata frontal yang keluar dari mulut Bian. "Tu mulut mau diberangus?" tanya Dav, tetap datar.
"Gue ngomong kenyataan, Mas bro!" Bian kembali merangkul bahu Dav. "Nggak perlu lu minta, mereka yang datang buat hangatin ranjang lu. Tu cewek kan juga dari tadi ngeliatin lu." Senyum mengejek kembali menghiasi bibir merah Bian saat mengatakan itu.
Gadis yang dimaksud oleh Bian adalah gadis yang sekarang menggeliat di bawah tubuh Ron. Sejak tadi dia sudah memperhatikan gadis-gadis remaja itu, tatapan mereka selalu tertuju kepada Dav. Sayangnya Dav tak membalas, seperti yang dulu pernah dikatakan Dav padanya kalau dia ke sini untuk menyalurkan hobinya di dunia balap, bukan bermain perempuan.
Dav semakin risih saja mendengar kata-kata Bian yang semakin tak terkontrol. Tak memedulikan Bian dan perkataan frontalnya, Dav turun dari kap mobil yang didudukinya dan menjauh dari tempat yang semakin lama semakin ramai itu. Dav bukan tipe orang yang suka keramaian, apalagi saat akan berlomba seperti sekarang. Dav lebih menyukai ketenangan untuk berkonsentrasi memenangkan balapan.
Dav melangkah menuju mobilnya yang terparkir jauh dari kerumunan. Sengaja dia melakukan itu, tak ingin menjadi pusat perhatian adalah salah satu alasan. Dav bersandar pada pintu mobilnya yang tertutup. Memejamkan mata beberapa saat dengan tangan bersedekah. Ketika matanya terbuka, sosok perempuan berbaju kuning yang tadi ditunjukkan Ron, yang dijadikan Ron sebagai taruhan, berdiri dengan jarak sekitar sepuluh meter di depannya. Perempuan itu tidak menghadap ke arahnya, hanya punggungnya saja yang tampak. Dilihat dari ekspresinya yang mengeras, sepertinya perempuan itu tengah marah. Apa mungkin dia sudah tahu kalau dirinya dijadikan bahan taruhan oleh Ron? Sepertinya balapan kali ini akan lebih menarik. Dav tersenyum segaris.