Pagi- pagi, Elliana sudah bangun, berdandan sambil mengedit file di laptop. Untungnya data tersimpan di laptopnya sehingga ia bisa bekerja mulai rumah. Sarapan masih sambil ngetik juga. Moses naik ke meja makan dan mengendus- endus wajahnya minta dimanja, dengan terpaksa dikesampingkannya. "Jangan, Momo! Kamu main saja sama Anais sana," gerutunya.
Anais anteng saja menikmati makanan di mangkok kucing. Merasa diabaikan, Moses mendatangi betinanya dan mau ngajakin gelut, tetapi Anais mengangkat tangan mencakar- cakar wajahnya.
Elliana membenahi meja makan, ketika ponselnya bergetar panggilan masuk. Dari Bapak Gabriel. Ia segera menjawab panggilan itu.
"Ya, Pak, ada apa?"
"Kamu masih di apartemen? Saya jemput kamu sekarang juga, daripada di jalan nanti terlambat."
"Hah? Eh, i- iya, Pak."
Panggilan langsung diputus. Elliana kelabakan. Ia menangkap kucing- kucingnya dan memasukkan ke kandang, membereskan meja makan, kemudian memasukkan laptop ke tas. Elliana ke kamar sebentar membenahi dandanannya sekira cukup manis dipandang. Tak lama kemudian Bapak Gabriel menelepon lagi memberitahu kalau ia sudah di bawah.
Elliana membawa tas laptop dan tas kerjanya, kemudian bergegas turun. Mobil Bapak Gabriel sudah standby di emper. Pria itu membukakan pintu mobil tanpa turun dari kendaraan tersebut. Elliana masuk dan agak terkejut melihat Aaron ada di kursi penumpang. Namun, bukannya bersemangat seperti biasa, pria satu itu bersandar dengan mata terpejam sambil memijat kening. Wajahnya tampak kelelahan.
Spontan Elliana bertanya. "Lho? Bapak Aaron kenapa, Pak? Bapak sakit?"
Gabriel tidak menunda menjalankan mobilnya. Elliana memasang sabuk pengaman sambil memandangi Aaron. Pria itu tidak menjawab pertanyaannya. Elliana khawatir kalau-kalau ada masalah berat mengenai perusahaan. Ia bersuara rendah pada Gabriel. "Bapak Aaron teh kenapa?"
"Efek selibat dia."
"Hah? Beneran?" ujar Elliana nyaris berteriak membuat Aaron mengernyit mencolok telinganya yang terasa pengang oleh suara keras.
"Sssht! Nenek Tapasha, kamu gak suka liat aku tenang ya?" gerutu Aaron tanpa membuka mata.
Elliana mengempit bibirnya dan merendah di kursi. Ia berusaha duduk tenang walaupun ada banyak pertanyaan ingin diajukannya.
Setibanya di Novantis, mereka bergegas ke lift khusus pejabat perusahaan. Menggunakan lift itu naik ke ruang rapat. Hanya mereka bertiga di dalam situ. Aaron tetap dengan ekspresinya yang tidak ingin diganggu. Diam saja dengan muka merengut.
"Semua file udah lengkap di laptop kamu 'kan?" tanya Gabriel.
"Iya, Pak."
"Baguslah. Tadinya saya khawatir mesti ke ruangan kamu dulu ambil macam- macam. Kalau udah fix, kita bisa tenang dulu di ruang rapat. Bapak Martoyo mau berangkat ke Swiss siang ini soalnya, makanya kita buru- buru."
Elliana mingkem saja, sadar semua itu akibat ulahnya juga.
Rapat berlangsung lancar selama 2 jam. Gabriel yang bicara menjelaskan progress proyek kosmetik mereka dan siap rilis resmi bulan depan. Aaron diam saja dan kelihatan mukanya mengeras berusaha mengikuti rapat itu dengan saksama. Setelah bahasan utama selesai, Gabriel berbincang-bincang dengan para anggota dan ketua dewan direksi.
Elliana berdiri di sudut ruangan dalam posisi siaga kalau- kalau Gabriel memanggilnya. Namun, yang mengubitnya malah Aaron. Pria itu menepuk lemah pundaknya. Elliana menoleh dan tersentak karena wajah Aaron memucat dan matanya mengerjap lemah. "Ell, aku gak enak badan. Bisa temenin aku ke ruanganku gak?"
Badan tinggi Aaron kayak mau roboh aja. Elliana tidak sampai hati melihatnya. "Eh? Baik, Pak. Mari sini, saya anterin." Ia memapah Aaron meninggalkan ruang rapat. Elliana merasa waswas juga sih kalau itu cuma sandiwara Aaron. Ia pernah berada di ruang kerja Aaron dan pria itu mempermalukannya kala itu membuatnya punya kenangan buruk di ruangan itu. Tapi gak papalah, kali ini, kalau pria itu macam- macam, ia akan menghajarnya. Bapak Gabriel pun tidak akan keberatan.
Ketika dalam ruang itu dan pintu tertutup rapat secara mekanis. Aaron mendadak merangkulnya dan mendorong hingga mereka berdua terduduk di sofa.
"Eeeh, apa- apaan ini? Dasar me.sum! Kurang ajar! Aaah!" pekik Elliana dan berusaha mendorong Aaron.
"Sebentar aja, Ell," lirih Aaron yang menyandarkan kepalanya ke bahu Elliana. Pria itu terdiam, matanya terpejam rapat dan napasnya berat.
Elliana mematung, merasakan betapa tak berdayanya Aaron. Tangannya bahkan jatuh kehilangan kekuatan. Ia mengguncang pundak Aaron. "Pak? Bapak gak papa? Pak, bangun, Pak!"
Elliana panik. Jadi, begini efeknya? Tapi buat apa Bapak Aaron melakukan semua ini? Demi dirinya? Seserius ini? Lalu? Jadi dia harus tersentuh, gitu? Ia harus memaklumi prilakunya? Ia harus menerima cintanya?
Agak ragu tangan Elliana mulai bergerak untuk mengangkat wajah Aaron, mengecek kesadarannya. Wajah tampan pria itu sangat dekat dengan hidungnya, seolah mereka akan segera berciuman. Kelopak mata Aaron begitu dalam dan bulu matanya berwarna kecokelatan. "Pak? Bapak?"
Tidak ada reaksi, sehingga Elliana menepuk- nepuk pipinya. Apa perlu kugampar ya biar sadar? Tapi kayaknya ini beneran, gak mengada- ada.
Tubuh Aaron yang tak bertenaga, terasa bertambah berat hingga mengungkung Elliana. Gadis itu nyaris kewalahan. Namun, Gabriel datang di saat yang tepat. Ia menarik pundak Aaron, menyandarkannya ke kursi, membuka kungkungan agar Elliana beranjak dari sofa.
Elliana berdiri memandangi yang dilakukan Gabriel pada Aaron. Ia cemas melihat keadaan Aaron.
Gabriel membuka sebotol air isotonik lalu meminumkannya ke mulut Aaron. "Ron, minum ini, Ron. Kamu kekurangan cairan, makanya lemas gini."
Sayup-sayup Aaron mendengar suara sahabatnya itu dan menelan air yang disodorkan ke mulutnya. Aaron mereguk semakin banyak dan cepat sampai ia bisa mendesah lega.
Elliana bisa mengembuskan napas setelah melihat Aaron mulai pulih. Gabriel duduk di sisi Aaron dan membantunya minum. "Kamu harus sedia ginian buat diminum kalau pagi biar gak kekurangan elektrolit."
"Iya, makasih, Riel," sahut Aaron lemah. "Tapi sebenarnya aku lebih berharap dapat cairan dari Elliana," lanjut Aaron sambil terkekeh.
Elliana merengut marah. "Jadi, Bapak Aaron nih sengaja bikin diri lemas buat manfaatin saya?"
Gabriel menjelaskan. "Iya, sengaja gak sengaja, Ell. Aaron perlu minum larutan isotonik kek gini atau dibikin terangsang, maka ia akan segar lagi."
"Ih, dasar me.sum. Hal kek gini dijadiin bahan buat ngerjain orang. Kalau tau begitu harusnya Bapak saya banting aja tadi. Next saya gak bakalan bantuin Bapak lagi. Huh!"
"Udah, kamu ke aula rapat aja lagi, beresin barang kamu," suruh Gabriel.
Elliana pergi dari ruangan Aaron dengan langkah mengentak. Gabriel menatap Aaron dan mengembus napas panjang. "Masih tahan kek gini terus tiap hari?" tudingnya.
"Apa ada cara lain buat membuktikan perasaanku pada Elliana?"
Gabriel tidak menjawab karena semua itu tergantung pada Elliana. Wanita biasanya akan luluh jika melihat perjuangan lelaki menggaet hati mereka. Ia tidak berharap Elliana akan luluh pada Aaron, tetapi hati orang siapa yang tahu?
***
Elliana ke ruang rapat lagi mengambil laptop dan tas kemudian pergi ke ruang kerjanya di lantai lain. Di sana ia mengeluh kesah sendiri. Mau marah pada Bapak Aaron, tapi kasian. Untungnya Bapak Gabriel tadi masuk. Kalau tidak, entah apa yang bakalan terjadi. Bagaimana pun Bapak Aaron sangat memesona, siap mewujudkan angan- angan liarnya. Apalagi belakangan ini tubuhnya jadi sensitif banget. Organ intimnya mudah basah dan kadang geli- geli menggelenyar. "Beh, sialan!" gerutu Elliana. Mungkin ini tanda mau mens, pikirnya.
Ia melanjutkan pekerjaannya sampai jam makan siang. Konsentrasinya sedikit terganggu oleh pesan dari Rosalinda.
[Cassie, ada job buat kamu. Kamu mau terima gak?]
Elliana segera membalas, [Job apa?]
[Bikin lukisan buat dekorasi kantor Diva Cosmetics.]
Diva Cosmetics adalah perusahaan kosmetik terbesar di Indonesia. Pastinya mereka tidak akan mencari artis sembarangan.
[Wah, boleh juga tuh. Oke, aku mau.]
[Sip. Ntar aku hubungkan kamu ama CEO-nya ya, Bapak Valentino De Dimer.]
Valentino De Dimer, Presdir dan CEO Diva Cosmetics, masih muda sudah menapaki tangga kesuksesan. Orangnya tampan, 11-12 dengan Aaron Sebastian. Pria keturunan Spanyol. Banyak yang bilang pertunangannya dengan Celine Oktavia buat nutupin orientasi seksualnya supaya gak dicurigai selama tinggal di Indonesia.
Rosalinda lalu mengirimkan nomor Valentino.
Elliana baru menyimpan nomor itu, pesan dari Valentino De Dimer masuk ke ponselnya. Setelah chat- chat ringan, Valentino bertanya padanya, [Jadi, kapan kita bisa bertemu langsung?]
Elliana tidak segera membalasnya. Ia ingin secepatnya bertemu dengan Valentino, tetapi jadwal pekerjaan Novantis sangat padat.
Tepat di saat ia sedang bingung, Gabriel datang ke ruangannya untuk mengajak makan siang. "Ell, kita makan di luar, yuk?" Gabriel lalu terdiam, agak heran pada cara Elliana menatapnya. Sangat antusias.
"Eh, Pak, kata Bapak saya harus ngasih tau kegiatan saya 'kan, Pak? Sekalian Bapak kasih izinnya, boleh ya, Pak?"
Gabriel duduk di kursi depan meja Elliana. "Ada apa nih?"
"Gini, Pak, Valentino De Dimer mau ngasih proyek buat saya. Buat Cassandra tepatnya. Dia mau majang lukisan di beberapa ruangan di kantor Diva Cosmetics."
"Lukisan gimana?" Gabriel bakalan waswas kalau Valentino minta lukisan diri macam Aaron.
"Temanya bunga, Pak. Dia udah menaksir beberapa lukisan yang ada, jadi paling kurang 3 atau 4 buah lagi."
"Oh."
Elliana lalu senyum-senyum merayunya. "Rencananya besok siang saya mau ketemu dia, Pak. Jadi, besok saya izin gak kerja ya, Pak. Mau jadi Cassandra soalnya. Hehe ...."
"Oke —"
"Ah, yes!"
"Tapi .... Ada tapinya."
Elliana tercenung. Apa Bapak Gabriel mau minta komisi? Ia sudah membagi buat Rosalinda sebagai manajernya, lalu sekarang buat Bapak Gabriel? "Tapi apa, Pak?"
"Kalau kamu bikin lukisannya ... saya mau liat."
"Oh." Elliana mangut- mangut, kemudian tersentak. "Eh? Maksudnya pas saya lagi melukis?"
"Iya."
Elliana terperangah. Apa itu artinya membawa Bapak Gabriel ke apartemennya malam- malam dan menontonnya melukis? "Serius?"
"Kapan saya gak serius, Ell?"
Elliana masih gamang.
"Biasanya kamu videoin sendiri 'kan pas ngelukis? Ntar saya bantu videoin."
Eh, Bapak Gabriel ngerti banget sih? Iya, selama ini ia tidak punya tukang kamera karena menjaga identitas Cassandra.
"Aaron gak keluar malam lagi, jadi habis kerja aku gak ada kesibukan lain," pungkas Gabriel.
"Oh, begitu." Elliana mengangguk- angguk. "Tapi jangan kaget ntar ya, Pak. Saya kerja berantakan soalnya."
Bukankah itu inti semuanya? Melihat Elliana dalam kesehariannya, melakukan apa yang disukainya, mengacak- acak barang dan penampilannya. "Gak papa. Saya dah biasa liatnya."
"Oh? Eh, iya deh. Hehehe."
Ketika asyik berbincang, Aaron datang menyeruak masuk. "Eh, kamu sudah di sini, Riel. Kebetulan sekali. Aku mau kita makan di luar."
Mereka bertiga lalu berangkat ke restoran pilihan Aaron, Restoran Amouz Gourmet yang menyajikan makanan Perancis.
"Ngapain Valentino ngontak kamu? Kayak gak ada seniman lain aja," ketus Aaron sambil melahap irisan daging bebek panggang.
"Kita lihat saja dulu apa maunya CEO Diva Cosmetics itu. Biarin aja Cassandra menemuinya," sahut Gabriel tenang.
Elliana malah diam saja dan mendengarkan kedua pria itu mengatur kegiatannya.
Aaron berujar tegas pada Elliana. "Pokoknya ponsel kamu harus standby on terus, ya. Aktifin perekam suaranya dan kalau diajakin berduaan dalam ruang tertutup, jangan mau."
"Ih, emangnya Bapak Valentino itu semesum Bapak?" tuding Elliana.
"Valentino itu laki, laki, Ell. Yang namanya laki- laki, ya sama saja," gumam Gabriel, teringat pada dirinya sendiri.
Elliana melongo saja.
"Cassandra sedang diisukan deket sama aku. Sedikitnya aku yakin ia curiga perselingkuhan Celine dan aku. Aku khawatir aja kalau- kalau Valentino mau membalas. Entah ngerayu kamu atau menjebak kamu. Udah ada 'kan kejadian sama Billy."
Aaron lalu beralih menatap Gabriel. "Billy gimana kelanjutannya?"
"Sedang diperiksa polisi. Ternyata kejadian itu bukan baru sekali dilakukan Billy. Sering. Sudah ada beberapa perempuan yang mengaku jadi korban Billy dan melaporkannya ke polisi."
Aaron mangut- mangut. "Baguslah. Billy memang jahat menjebak perempuan pakai cara begitu."
"Emang Bapak nggak?" serobot Elliana.
Aaron menyengir bangga. "Aku ini Cassanova sesungguhnya, Ell. Aku gak perlu bikin perempuan mabuk biar bisa meniduri mereka."
Elliana mendelik sinis. Bersyukur setelah kenal luar dalam Bapak Aaron ini ia makin sebal dengan orangnya. Entah kapan orang kek dia nih kena karmanya.
"Aaron ada benarnya, Ell," tambah Gabriel.
Kening Elliana mengernyit. "Hah? Soal apa?"
"Soal kemungkinan ini ada persoalan pribadi antara Aaron dan Celine."
Elliana menyeruput minumannya air perasan jeruk lemon. "Oh, soal itu. Iya, Pak, saya akan jaga- jaga," katanya mantap.
***
Keesokan harinya, Elliana tidak masuk kerja. Ia berdandan sebagai Cassandra. Ia mengenakan dress floral berwarna cerah pink dan hijau. Sopir kiriman Valentino De Dimer datang menjemputnya. Cassandra dibawa ke kantor utama Diva Cosmetics. Gedung yang sangat mewah berdesain interior shabby. Suatu kehormatan Valentino sendiri yang menyambutnya di lobi.
"Selamat datang, Nona Cassandra!" sapanya sambil berjabat tangan. Pria itu sangat menarik dengan tatapan teduh dari manik berwarna kecokelatan.
"Terima kasih, Pak De Dimer," balas Cassandra.
"Panggil saja saya Valen. Saya ingin kerja sama kita dalam suasana yang akrab dan santai. Mari, saya tunjukkan di ruangan mana saja saya ingin lukisannya dipajang sambil kita bicarakan konsepnya."
"Baiklah, Pak Valen."
Valentino didampingi seorang ajudan pria. Mereka berjalan berbarengan di lobi, menuju ke counter resepsionis. Di dinding utama lobi masih kosong. Valentino ingin sebuah lukisan besar yang bisa merepresentasikan keglamoran Diva Cosmetics terpajang di sana. "Tingginya sekitar 3 meter dan warna warni yang mencolok," kata Valentino.
"Baik, saya mengerti. Bagaimana jika di sini saya gambar bunga-bunga 'Patio de Cordoba'? Seperti perang bunga patio di Cordoba?"
Valentino terpana takjub. "Ah! Anda tahu betul unsur- unsur tanah kelahiran saya. Ya, itu bagus sekali. Membuat saya terkenang musim semi di Spanyol."
Cassandra semringah berhasil membuat kliennya terkesan. "Krisan, lili, geranium berwarna mencolok, saya akan ambil bunga- bunga itu."
Valentino mengangguk-angguk. Kemudian ia mengajak Cassandra naik ke lantai selanjutnya. Mereka berada dalam lift menuju lantai 3. "Saya dengar Anda sedang dekat dengan Aaron Sebastian," kata Valentino.
Cassandra tersenyum ramah. "Tidak dekat secara pribadi, Pak. Kebetulan karena insiden dengan Billy waktu itu, kami jadi sering ketemu."
"Jadi, berita kedekatan Anda dengan Aaron hanya untuk kepentingan publisitas?"
"Ya, begitulah."
"Menarik sekali," gumam Valentino.
Tiba di Lantai 3, Valentino mengajaknya ke ruang kerja yang baru selesai direnovasi. Beberapa perabotan besar masih dibungkus kardus. "Nah, kalau di sini, saya ingin lukisan yang lebih menenangkan, ada suasana pantai, pulau terpencil yang membuat kita merasa berada di liburan terbaik."
"Berjemur dan menikmati deburan ombak serta ditemani minuman segar kelapa muda?" saran Cassandra.
"Ya, Anda benar sekali. Nona Cassandra, apa Anda bisa membaca pikiran saya?"
Cassandra tertawa kecil. "Tidak, Pak, tetapi tampaknya Anda rindu pantai eksotis Playa de Mago. Mau berbugil ria dan melepaskan semua kekangan kehidupan."
Valentino semringah dan melirik tertarik pada wanita cantik di sisinya. "Hmm, pikiran Anda memberi saya ide terbaik. Apa Anda pernah ke Playa de Mago?"
Yang benar saja! Ibu bakalan membunuh aku kalau pergi ke tempat seperti itu. "Tidak, Pak, belum pernah, tapi kelak saya ingin ke sana."
"Saya bersedia dengan senang hati menjadi pemandu Anda di Spanyol, Nona. Hubungi saya kapan Anda bisa berlibur. Kita bisa menghilang sejenak dan menikmati liburan di cottage pribadi."
Cassandra tertawa kecil saja, menganggap itu candaan. Duh, apa aku salah ngomong, ya? Cassandra terpikir kenapa Celine selingkuh dari pria ini? Agaknya bagi kalangan mereka gonta ganti pasangan sudah biasa dan inti setiap hubungan adalah bersenang-senang semata.
"Jadi, Anda setuju jika lukisan di sini bertema pulau eksotis?" tanya Cassandra kembali pada bisnis mereka.
"Iya, ya, bagus. Saya suka," sahut Valentino.
Valentino kemudian mengajak Cassandra ke ruangan selanjutnya yang berupa aula serba guna. Untuk ruangan itu, Valentino ingin lukisan serial terdiri dari 5 bagian yang bisa dipisah- pisah. Cassandra merasa permintaan dari Valentino sangat menantang.
Tengah hari mereka selesai membahas konsep lukisan dan harganya. "Saya usahakan seminggu selesai, Pak, Setidaknya 1. Mudah-mudahkan tidak ada kendala, sebulan rampung."
Valentino mangut- mangut. "Ya, baiklah, cukup relevan. Saya akan hubungi Anda lagi kalau ada yang ingin saya diskusikan."
"Silakan, Pak."
Cassandra lalu berdiri hendak pamit, Valentino mengiringinya. "Ini jam makan siang. Bagaimana kalau kita tutup hari ini dengan makan bersama. Apa Anda suka makanan Spanyol?"
Cassandra menolak dengan halus. "Nggak usah, Pak. Terima kasih. Kebetulan saya mau balik ke apartemen saja biar secepatnya bikin sketsa."
"Wah, buru- buru sekali."
"Mumpung ide masih fresh, Pak Valen. Kalau tertunda nanti takutnya kelupaan atau berubah."
"Baiklah, kalau begitu terima kasih atas kedatangan Anda, Nona Cassandra. Kita berjumpa lagi nanti dan mudah- mudahan Anda mau makan siang bareng saya."
Valentino dan Cassandra berjabat tangan. "Ya, Pak, tentu saja," sahutnya sekadar berbasa- basi.
Sopir Valentino mengantar Cassandra balik ke apartemennya. Setibanya di kediaman itu, Gabriel langsung menelepon seolah punya kontak batin dengannya. "Kamu di mana?" tanya pria itu.
"Sudah di apartemen, Pak. Pak Valen gak ngapa- ngapain, kok. Kami bicara biasa aja," jawabnya sambil berjalan masuk ke ruang tamu.
Gabriel tersadar Elliana mungkin akan merasa dikontrol terus olehnya. "Eh, iya, gak papa kok, Ell. Syukur deh udah pulang. Jadi, kapan mulai melukis?"
"Ya, pengennya sih sekarang, Pak. Jadi besok saya bisa masuk kerja."
"Jadi, saya bisa ke tempat kamu? Saya kudu liat kamu beneran kerja atau curi- curi kesempatan aja."
"Iya, ya deh, Pak. Boleh. Ntar saya bilangin satpam di bawah biar antar Bapak ke sini."
Gabriel yang duduk di ruang kerjanya menahan ekspresi girang yang nyaris meruntuhkan wajah datarnya. Satu langkah lagi ia telah memasuki kehidupan pribadi Elliana. "Ehm, kamu sudah makan belom? Biar sekalian saya belikan di jalan."
Cassandra terperangah tidak menduga perhatian Bapak Gabriel sangat menyeluruh. Gila aja punya bos sebaik ini. Anak buah dimanjain pake banget! Duh, langka ini harus dilestarikan. Ia segera menjawab sambil berdebar- debar. "Belom, Pak. Iya, sekalian beliin, Pak."
"Yang di mana? Ayam geprek?"
"Enggak, Pak. Nasi padang aja. Itu yang dekat Bank BRI Pencoran."
"Oke. Saya juga suka nasi padang. Kamu mau lauknya apa?"
"Balado cumi sama ayam gorengnya, ya, Pak. Paha."
"Dua? Kamu yakin?"
"Eh, sama nasinya tambahin seporsi, Pak. saya gak masak soalnya."
Gabriel agak takjub pada nafsu makan Elliana, tapi ya sudahlah. "Oke. Minumnya? Mau saya beliin sekalian?"
"Ya boleh lah, Pak. Deket warung nasi padang itu ada yang jual es dawet nangka. Enak, Pak, es dawetnya. Beliin itu aja, Pak."
"Oke!" sahut Gabriel senang. Belum pernah waktu makannya menjadi sangat antusias kecuali semenjak bersama Elliana. Ia meninggalkan ruangannya penuh semangat. Kali ini mereka bisa makan berduaan lagi dan di tempat pribadi. Aaron sudah disingkirkannya dengan jadwal pertemuan di Novantis dan ia keluar beralasan urusan pekerjaannya sebagai CEO Novantis Cosmetics.
Satu jam kemudian barulah ia tiba di apartemen Cassandra. Ia membunyikan bel dan gadis itu membukakan pintu sambil menggendong kucing gemuk berbulu abu- abu. Mengenakan baju t-shirt putih, tonjolan da.da Cassandra mengencang karena mendekap kucingnya. Gadis itu tersenyum menyapa riang. "Bapak Gabriel, silakan masuk, Pak!"
Gabriel melangkah ke dalam sambil menyunggingkan senyum tipis. "Yuk, Ell, kita makan dulu. Saya udah laper banget nih," katanya.
***
Bersambung ....