Part 6

1343 Words
"Tatapan mata lo kenapa kelihatan menyebalkan?" Tanya Sena yang merasa dongkol pada Bima karena cowok itu tidak membawanya ke Klub tempat Nova mengadakan party, malah mengajaknya ke salah satu cafe yang cukup terkenal di daerah Dago. "Gue geli aja sama kelakuan lo dan Pak Rayyan. Bisa – bisanya kalian ada affair di belakang kakak kandung lo." "Gue nggak ada affair ya, Bim!" Desis Sena penuh penekanan. Bima tertawa, tawanya membuat beberapa anak muda yang juga ikut nongkrong di sekitar mereka menatap ke arahnya. "Oke. Gue simpulkan lagi. Lo nggak ada affair sama Pak Rayyan sekarang. Tapi nggak menutup kemungkinan, lo dulu terlibat dalam hubungan yang cukup intens dengannya kan? Sebelum Pak Rayyan khianati lo dengan menikahi kakak elo." Sena memalingkan wajah; malas menatap Bima. "Lo nggak menjawab. Jadi gue asumsikan semua pernyataan gue seratus persen benar." Sena mendengkus. Benar – benar mendengkus karena malas meladeni Bima. Cewek itu segera beranjak dari duduknya, tanpa menatap Bima, dia melangkah keluar dari cafe itu di sertai tatapan beberapa pengunjung pria yang seperti menatap lapar karena kemolekan tubuhnya. Bima yang ditinggalkan juga terlihat tidak berencana mengejarnya. Cowok itu dengan jelas menunjukkan smirknya, entah karena apa. Lalu dia merogoh kantong celananya untuk mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Cukup lama dia menunggu, pada dering ke enam barulah panggilannya terjawab, dia pun berkata; "Seperti dugaan gue. Mereka memang ada affair dulu. Setelah ini kita jalan ke rencana ke dua. Gue ingin tau, itu Jalang apa benar – benar berarti atau hanya sebagai pelampiasan nafsu bagi Rayyan." ** Sena melewati halaman cafe yang cukup luas dengan perasaan gondok yang tidak tertahankan. Dia memegang ponselnya, berencana menghubungi Jessy supaya temannya itu mau menjemputnya, namun ia sadar jikalau temannya itu pasti tengah bekerja. Sampai ia tidak sadar ada sebuah suara yang beberapa kali memanggil namanya. "Sena.." Sena mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Dia menatap cowok yang berdiri tak jauh darinya dengan mata terbelalak kaget. "Lho, Bang Amier?" Amier tersenyum pada Sena, lalu berjalan mendekatinya. "Abang kok di sini? Bukannya di Yogyakarta?" "Ini kan tempat umum, Sen. Lagipula gue mau nongkrong di dalam sama anak - anak." "Ah!" Sena berdecak, menertawai kebodohannya. "Gue lagi liburan semester." Ujar pria muda itu. "Tumben nggak liburan ke Luar Negeri?" "Lagi bosen. Mau menghirup udara tanah kelahiran." Sena tertawa mendengar ucapan Amier. "Elo makin berani ya?" Tanya Amier menatap Sena intens, dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kelihatan banget ya?" Amier mengusap dagunya yang tidak di tumbuhi bulu, lalu mengangguk. "Mau ke mana memangnya, Sen?" "Mau ke Klub, Bang. Lagi bete, butuh hiburan." Amier tertawa. Tawa yang terdengar renyah di telinga Sena. "Ayo, gue antar." "Lho, bukannya Bang Amier baru datang? Mungkin teman – teman Abang lagi tungguin di dalam." "Nggak ada gue juga nggak berpengaruh, Sen. Mumpung ketemu elo. Sudah hampir setahun kita nggak ketemu." Ujar Amier jujur. Sena langsung mengangguk karena jalan bersama Amier tidak terlalu buruk. ** Amier dua tahun lalu adalah kakak kelasnya; sekaligus pacar tiga bulan Sena. Mereka putus karena salah seorang sahabat Amier menaruh perasaan pada Sena, karena tidak ingin hubungan persahabatannya merenggang. Amier memilih mengakhiri hubungannya dengan Sena dan berteman dengan mantan pacarnya itu. "Kuliah Abang lancar?" Tanya Sena setengah berteriak karena suara dentuman musik yang sangat keras. "Lancar." Teriak Amier tak kalah kencang. Suasana Klub malam ini cukup ramai seperti malam – malam sebelumnya. Jessy pun terlihat sibuk melayani pelanggan. Di salah satu meja, dekat meja bar tempat Jessy melayani tamu, Amier dan Sena duduk di sana dengan Sena yang sesekali meneguk wine yang tadi ia pesan. "Nari yuk, Bang!" Ajak Sena menarik tangan Amier ke kerumunan orang – orang yang menari di iringi musik dari DJ tanpa meminta persetujuan Amier. Sena menari, meliuk – liukkan tubuhnya di bawah tatapan Amier. Amier meneguk salivanya melihat p******a Sena yang sedikit menyembul keluar di tambah dengan gerakan Sena yang sensual; membuat sesuatu di bawah sana membesar dengan sendirinya. Lalu, Amier ingat dulu bahwa ia sering menyentuh p******a Sena dan meremasnya saat ada kesempatan. Dan di antara banyak orang yang kini tidak memperhatikan mereka, bukankah ada kesempatan untuk Amier melakukannya lagi? "Kenapa nggak menari?" Teriak Sena ketika menyadari Amier tidak ikut bergerak. Senyum Sena terlihat sensual, ia menarik kedua tangan Amier agar menyentuh pinggangnya dan Sena kembali meliuk – liukkan tubuhnya. Kesempatan itu tidak di sia – siakan Amier untuk meraba pinggang Sena, lalu berganti ke perut telanjang Sena dan terakhir, p******a Sena yang tertutupi bra tanktop. Remasan tangan Amier di payudaranya membuat Sena menghentikan gerakannya dan menatap Amier sayu. "Jangan di sini—" Guman Sena yang bisa di dengar Amier karena sekarang Amier tengah memeluk tubuh Sena. "K—kita bisa melakukannya di tempat yang sepi." Amier yang mengerti maksud Sena segera menarik tangan gadis itu keluar dari klub. Dengan sedikit ugal – ugalan mengendarai mobilnya, Amier membawa Sena ke salah satu hotel. Sesampainya mereka di dalam kamar hotel. Amier mendorong tubuh Sena hingga Sena jatuh terlentang di atas ranjang. Sena yang sudah setengah mabuk dan terbawa hawa nafsu tidak lagi bisa mengontrol tubuhnya. Dia membalas ciuman Amier yang panas dan menggelora. Amier seolah tahu cara memuaskannya. Sena pun tak memberontak saat Amier menyobek bungkus pengaman dan memakainya, lalu menyatukan tubuh mereka. Amier bergerak dan terus bergerak. Suara desahan dan erangan mereka memenuhi sepenjuru kamar. Sena sudah mati kutu dalam desau kenikmatan. Tubuhnya menggeliat ketika mendapatkan orgasmenya. Tapi Amier masih bergerak, memenuhi miliknya. Beberapa menit kemudian, Amier mengerang keras, tubuhnya ambruk menindih tubuh Sena. Napas mereka memburu dengan peluh yang membanjiri tubuh mereka. ** Amier mengantar Sena pulang dalam keadaan canggung setelah apa yang terjadi. Sena juga begitu, dia merutuk dalam hati mengapa bisa ia tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. "Sen—" "Bang—" Mereka memanggil satu sama lain secara serempak. Membuat atmosfer mereka semakin canggung dan semakin canggung lagi. "Gue—" "Gue—" Amier menghembuskan napasnya keras – keras. Dia tidak suka berada di situasi penuh kecanggungan. Dia menatap ke samping, ke arah Sena yang menatap kosong ke depan. "Gue tau, tadi sudah kelewat batas. Melihat lo, gue bernostalgia ke masa kita pacaran dulu. Gue tidak bisa menahannya dan akhirnya keblablasan." "Gue juga ikut andil. Abang jangan menyalahkan diri." "Sekarang gue jadi merasa bersalah." Sena tersenyum tipis, dia menatap Amier cukup lama. "Tidak perlu merasa bersalah. Anggap saja friend with benefits, lagipula Abang bukan yang pertama tidur sama Sena." "Sena—" "Gue masuk dulu. Ini sudah malam sekali. Kalau Abang sedang butuh Sena, Abang tinggal menghubungi Sena. Nomor HP Sena masih sama. Abang masih simpan kan?" Amier menggangguk. Sena membuka pintu mobil, sebelum Sena keluar, Amier meraih tangan Sena membuat gadis itu memutar tubuh dan menatapnya. "Terima kasih. Gue nggak akan melupakan malam ini. Lo sangat menakjubkan." "You're welcome." Ujar Sena sembari tersenyum manis. Amier melepaskan tangannya yang menggenggam erat tangan Sena dan membiarkan gadis itu keluar dari mobilnya. Amier menekan klakson sekali sebelum melajukan mobilnya. Sena menunggu sampai mobil Amier menghilang dari tikungan. Setelah itu barulah Sena masuk ke rumah. Melewati ruang tamu, ruang keluarga sebelum menaiki anak tangga. Ketika dia sudah masuk kamar dan menutupnya, Sena menyalakan sakelar lampu. Saat dia berbalik, dia dikejutkan dengan keberadaan Rayyan yang duduk di pinggiran ranjangnya. "Apa yang Mas lakukan di sini?" Geram Sena penuh penekanan di setiap kata - katanya. Rayyan beranjak berdiri dan mendekatinya dengan sorot mata tajam. "Seingat Mas teman yang menjemputmu tadi memakai Honda Brio dan bukan Honda Jazz." "Aku di antar temanku yang lain." Pandangan Rayyan meneliti daerah bahu Sena yang terbuka sampai dadanya, lalu mendapati ada sekitar dua jejak kemerahan di tulang selangka dan sekitar dadanya. "Kamu tidur sama temanmu?" "Bukan urusan Mas Rayyan." Sena melengos. Dia mendekati ranjangnya dan meletakkan tas selempangnya di atas ranjang. "Cepat Mas keluar dari kamarku sebelum Kak Tya tau kalau Mas ada di sini." Tapi Rayyan seolah tuli, dia mendekati Sena yang membelakanginya dan menurunkan salah satu tali tanktop Sena. "Mas Rayyan apa – apaan?" Teriak Sena murka. Rahang Rayyan mengetat, menatap punggung Sena yang juga di penuhi bekas kemerahan. "Kamu tidur dengan berapa orang hari ini?" "Apaan sih?" Sena membalikkan tubuhnya, memperlihatkan salah satu payudaranya yang mencuat keluar akibat ulah Rayyan. "Biar aku melayani tiga orang kek. Sepuluh kek. Dua pul—" Satu tamparan mendarat di pipi Sena. Rasa panas langsung menjalar di pipi gadis itu akibat tamparan Rayyan, tapi rasa panasnya mengalahkan rasa terbakar yang tersulut dalam hatinya. "Ini caraku buat hidup. Toh aku sudah berjanji nggak akan usik kehidupan Mas Rayyan sama Kak Tya. Mas Rayyan nggak berhak ikut campur urusanku. Sekarang aku minta Mas Rayyan keluar dari kamarku!" Teriak Sena. Rayyan bergeming di tempatnya. "KELUAR!" **        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD