Part 2

1763 Words
"Naya lagi ngapain, Kha?" "Kok nanya ke Sakha?" Mana dia tahu kan Naya sedang apa? Mama tuh gimana sih. Sakha lanjutkan langkahnya. "Loh, bukannya kamu habis dari rumah Naya?" Sakha simpan piring di meja makan. Mama duduk di ruang keluarga, pegang ponsel, pasti lagi ngerumpi di grup kesebelasan yang sering banget isinya menistai Sakha ... si bujang lapuk. Ck! "Nayanya nggak ada, nih bubur lemunya Sakha bawa balik." Praktis Rahee bangkit. "Aih, pantesan muka kamu kusut gitu." Apa hubungannya? "Naya nggak ada ternyata." Helow! Kaitannya Naya ada atau nggaknya sama Sakha itu apa, ya? Rahee simpan sepiring bubur lemu untuk Naya di kulkas selepas menyimpan ponselnya. Sakha pun ngeluyur ke meja dapur, membuat secangkir kopi untuk dia bawa ke kamar, mau semedi. Kamar adalah ruangan yang selalu Sakha kunci, dia rapikan sendiri, hingga orang tua saja tidak ada yang bisa melihat isi ruang pribadi putra sulungnya. Sakha menjamin keamanan di kamar itu terbebas dari hal-hal negatif hingga mama yang semula parno pun kembali santai saja. Pokoknya, kamar Sakha itu ... rahasia ilahi. Ya, istilahnya. "Mau ke mana kamu, Kha?" tanya mama menginterupsi. "Kamar." Rahee berdecak, kalau sudah bicara soal kamar Sakha, Rahee angkat tangan. Dia bisa mengalami penuaan dini kalau berurusan dengan putra sulungnya. Terbukti, uban Mr. Altarik bertambah banyak seiring dengan debat kusirnya dengan Sakha di mulai saat Sakha SMA. Nah, sekarang ... giliran Rahee. Dia yang nyinyir terus soal tabiat si Sulung, kerutan di wajah Rahee terasa bertambah dua kali lipat. Rahee pernah minta Sakha hidup normal, maksudnya: kerja yang betul, bukan semedi di kamar, lalu keluar dari sana Sakha tiba-tiba jadi jutawan. Kan Rahee heran, dia nyaris pingsan begitu menyangka bahwa anaknya terjerumus main pesugihan. Sakha memang tidak antisosial, tetapi tetap mengkhawatirkan. Rahee pernah mengira anaknya gay, sebab Sakha tidak pernah nampak sedang dekat dengan perempuan, tapi alhamdulillah skandal itu musnah saat Sakha memposting foto romansa dia dengan perempuan dan captionnya: Have a nice day, Love. Betapa sejuknya hati Rahee walau hanya menyaksikan satu bukti bahwa putranya bukan pencinta sesama jenis. Rahee pernah minta bantuan warga kesebelasan berikut pasukannya untuk mengadakan gerakan bawah tanah alias sembunyi-sembunyi menyelidiki tentang Aldyansah Sakha Lorenzo, pernah meminta Mr. Altarik untuk menggandakan kunci kamar Sakha, atau minta bantuan Alifia untuk memecahkan kaca jendela kamar Sakha, sekalian genteng kamar Sakha nyaris dimutilasi oleh Rahee andai Sakha tidak buru-buru menegaskan bahwa: Sakha kerja di dalem, mainannya komputer, Mama tenang aja. Dan Rahee kembali menghirup napas lega saat dia diizinkan masuk ke kamar Sakha (sekali itu saja, dulu banget) untuk pembuktian bahwa Sakha ini 'normal'. Nah, habis itu ... sudah. Rahee sudah angkat tangan dengan kelakuan si sulung terkecuali soal pasangan. Ya, Rahee akan siapkan sebuah misi agar anaknya yang availabel itu segera official. "Assalamualaikum, Mama." Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Rahee sih maunya, Sakha sama Naya saja. "Waalaikumsalam, Sayang. Baru pulang kerja, ya?" "Hm. Lembur." Naya mencium tangan Mama Rahee dan Papa Altarik di sana. Well, tanpa terasa kini sudah malam. Naya sudah pulang ke rumah sendiri dan ganti dengan baju tidur doraemonnya. Duduk di ruang makan rumah Abang. Mama Rahee menuntunnya ke sana. "Tadi Mama buatkan bubur lemu, loh. Abang antar ke rumah Naya, tapi Nayanya nggak ada." "Iya, Ma. Sebel sama si Bos. Naya disuruh lembur, nemenin tamu." Ingin sekali Rahee bilang, gimana kalau Naya resign saja? Tapi nggak berani, kecuali nanti kalau Naya sudah fix jadi mantunya. "Iyan, panggilin Abang. Ada Naya gitu!" Loh, kok? "Ngapain dipanggil, Ma? Naya nggak nyari Abang." Rahee senyum. "Kan Abang yang cari Naya." "Ngarang!" Sakha sudah di sana, bahkan sebelum Adrian naik menuju kamar kakaknya. Rahee kian tersenyum. Lupa, ini kan sudah masuk jam makan malam. Lalu keluarganya sedang menunggu kepulangan Naya. Hingga kini mereka makan bersama. "Wow, dilihat dari penampilan aja sayur bikinan Mama kayaknya enak banget." "Iya lah, emangnya kamu! Nggak bisa masak." Sakha nyamber kayak guntur. Naya mendelik. "Dih, bocah ngapa, ya?" Ekhem! Adrian yang berdeham. Rahee serahkan piring kosong kepada Naya sambil bilang, "Bantu isi piring Abang, Nay. Mama mau isi buat Papa." Satu hal yang perlu diketahui, Naya mana bisa nolak mama. Nggak enak. Apalagi kan dia di sini sedang numpang makan. Jadi ya sudahlah, cuma isi piring Bang Sakha saja, kan? "Jangan banyak-banyak, Naya! Kamu pikir Abang kuli bangunan?!" Tapi, Naya lupa. Kalau urusannya dengan Bang Sakha, hatinya bicara untuk TOLAK SAJA! "Yang bener dong, Nay! Perut Abang mana kenyang makan nasi segitu." Naya kesal. "Tadi kebanyakan, sekarang kurang." Nyaris bersungut-sungut dia kalau saja di ruangan itu tidak ada orang tua. "Abang nih, Ma. Salah mulu aku." Naya mengerucutkan bibirnya. Lalu melirik jengkel pada Bang Sakha sambil bertanya, "Segini cukup?" Sakha balas dengan tatapan datarnya. Mengambil piring di tangan Naya yang sudah diisi nasi. "Gimana mau jadi istri kamu, nggak becus gini ngelayaninnya." Fix. Kesabaran Naya diuji. "Yang penting kan bukan jadi istri Abang!" "Kalo belajar melayani kan dari siapa aja juga bisa." "Nay." Adrian menyela, memegang telapak tangan sobatnya di kala Naya hendak meledak, lalu menuntun lembut Naya agar duduk dengan tenang. Sakha melirik malas. Altarik menggeleng saja. Sudah biasa, dan dia terbiasa dengan keributan ini. Kalau nggak ada, justru kangen. Seperti saat Naya pergi liburan dengan kawan-kawannya. Rumah sepi. Kehadiran Naya seperti pengisi sunyi. Berhubung anak-anak Altarik hanya sisa Sakha dan Adrian saja di rumahnya. Yang lain merantau, jauh menjelajah buminya manusia. Kecuali anak perempuan yang sudah pisah dan berkeluarga. Harusnya Sakha juga sudah berkeluarga. Tapi nyatanya ... "Adinda juga boleh, Kha." Sakha masih jomblo sampai 30 tahun usianya. Kekanak-kanakan pula. Ehm. Sebenarnya, Sakha kayak bocah kalau diadu dengan Naya saja. Aslinya mah ... beuh, Altarik juga sering kalah dewasa dengan putra sulungnya. "Maksudnya?" Kok tiba-tiba bahas Adinda? "Oh, pramugari yang cantik itu, Pa?" sahut Naya. "Iya, menurut Naya gimana? Buat Abang." "Apa sih, Pa." Sakha telan habis nasinya. Naya selesai. Dia acungkan jempolnya. "Setuju, Pa. Kasian juga Abang kelamaan jomblo." "Tapi cocok kan, Nay?" tanya Mama. Meminta pendapat Naya. Inginnya dia comblangkan Naya dengan Sakha, tapi kayaknya ... coba dulu ke Adinda. Naya cemburu nggak? "Banget, Ma. Mbak Dinda cantik, cocoklah sama Abang. Ya senggaknya, Abang jadi punya gandengan." "Jomblo itu pilihan, bukan suatu hal yang patut dikasih penghargaan mengenaskan. Abang nggak mau sama Dinda, sama yang lain juga nggak." "Bang--" "Naya aja sana kalian jodohin!" Sakha memangkas omongan mama. "Abangnya mau sama Naya?" Kalau ini suaranya Papa. Kontan Naya tersedak. Kok jadi Naya lagi, sih? "Ya nggak Naya juga, Pa. Maksud Abang, Naya sama yang lain dijodohin. Bukan sama Abang." Sakha mendesah malas. "Soal Abang nikah ... nanti deh, belum mau komitmen. Jangan dipaksa." "Naya udah punya pacar, Pa," sahut Naya setelah batuknya reda berkat air putih dan tepukan di punggung dari Adrian. "Tuh, Naya aja udah punya pacar. Abang kapan?" "Nanti." "Nunggu Naya putus?" Astagfirullah. Naya lagi, seolah di dunia ini nggak ada perempuan selain Naya Giova! "Ma, Pa, nih dengerin di depan Nayanya langsung kalo nggak percaya. Habis ini tolong jangan sodor-sodorin Naya lagi, karena Abang ..." Sakha menjeda, menghadap Naya yang balas menatapnya. "Nggak suka Naya." Lalu menepuk pelan kepala Naya sambil bilang, "Naya udah kayak adik ketimbang cewek di mata Abang. Jadi plis, udahan ya mancing-mancing soal Nayanya?" Nah, itu ... Naya setuju. "Kita abang adek ya, Bang? Kali ini Naya seserver sama Abang." Sedangkan Adrian mengerling jengah menyaksikannya. Rahee embuskan napas pelan, lalu Altarik mengangguk. "Percaya." Abang-adek zone, kan? Atau ... "Rambut Naya bau matahari, ugh! Berlemak lagi." "Dih, enak aja! Aku tadi pas pulang mandi dulu, tau. Disampo! Segini wanginya juga, nih cium!" Mereka berdebat lagi. Sampai-sampai Sakha dan Naya kejar-kejaran di rumah itu. Rambut panjang Sakha berayun, rambut sepinggang Naya pun digerai demi membuktikan kalau ... "Wangi, tau!" Sesepele itu. Dan Naya ... hilang. Ditelan pintu kamar Abang. Rahee simpan gelas di meja, menatap suami. Lalu Adrian pun menatap papa yang gantian melirik istri dan putranya sambil mengedikkan bahu. "Doain aja. Mereka Tom and Jerry zone," kata Mr. Altariksa Lorenzo Yang Terhormat. *** Di kamar. Naya tertegun. Dia berhasil menangkap Bang Sakha dalam posisinya. Yakni dengan posisi Naya mengimpit Abang antara daun pintu dengan tubuh mungilnya, lalu tengkuk Sakha ditarik Naya hingga kepala itu sedikit menunduk hingga Naya bisa hubungkan sejumput rambutnya dengan indera penciuman Sakha. Wangi, kan? Kata yang harusnya Naya ucapkan. Namun, tertelan keadaan. Posisinya membuat waktu seolah berhenti sesaat. Bagaimana bisa Naya begitu? Mengimpit Sakha yang lebih besar dan tinggi tubuhnya. Ah, iya. Naya tidak tahu kalau kamar Abang adalah bagian dari rahasia ilahi sampai-sampai Sakha lengah dan terjerat olehnya. Ingin segera menutup pintu, tetapi Naya terlanjur menyusup. Sakha akan mengusir Naya, tetapi hilang fokus oleh keadaan kamarnya. Yang untungnya ... Naya belum sadar. Naya terlalu fokus menunjukkan harum rambut yang demi Tuhan, nggak penting. Sakha cuma meledek, dia tahu rambut Naya wangi. Dan saat Naya tersentak, sadar posisi, dia hendak berbalik. Detik itu ... Sakha menahan pinggangnya. Merapatkan tubuh Naya dan dia tenggelamkan kepala Naya di dadanya. "Abang!" Naya praktis memekik. Panik. Sakha jauh lebih panik. Ya ampun, kamarnya! Dengan susah payah Naya melepas diri. Mendorong tubuh Abang yang liat sekali. Alot. Sakha terlalu banyak mengeluarkan tenaga. "Diem, Nay." "ABANG APAAN, SIH?! LEPAS!" Naya malah teriak. Sakha menyisir isi kamarnya dengan pandangan ngeri. Oh, Tuhan! Naya nggak boleh lihat. "Naya!" "Abang!" "Ngapain di kamar?!" Itu suara mama. "Keluar!" "Turun!" Dan itu milik papa. Naya pukul-pukul tubuh lelaki 30 tahun yang mendekapnya. "Gak bisa napas aku--ABANG!" Kaget. Naya dibalik dan matanya dengan mudah ditutup oleh telapak tangan Sakha. Punggung Naya praktis terbentur pintu. Naya meringis. Sakha terlalu panik. Hingga saat Naya komat-kamit pun, Sakha tidak terusik. Dia fokus menutup mata Naya sambil memikirkan cara agar Naya keluar tanpa melihat isi kamar tercinta. "Abang kenapa, sih? Lepasin aku, nggak!" Sakha kian merapatkan diri dengan Naya. Alias memeluk kepala cewek itu supaya tenggelam di d**a dan lilitan lengannya. Naya pasti nggak lihat. "Aw!" Jidat dan pucuk hidung Naya terbentur tulang d**a Sakha. Jangankan lihat, Naya sesak napas. Ditambah telinga yang tergoda mendengar genderang jantung di d**a Bang Sakha. Telinga Naya tidak nempel saja suara deg-degannya sejelas itu. Wah, Naya curiga. Begitu Sakha sukses mengeluarkan Naya dari kamar rahasianya dengan posisi masih memeluk Naya, dan Sakha berjalan mundur agar punggung Naya saja yang menghadap isi kamar, saat itu ... Naya tanyakan, "Jujur, Abang suka aku, kan?" Adalah saat Sakha melihat Mama Rahee, Papa Altarik, dan Adrian yang heboh dengan, "Kalian ngapain peluk-peluk?!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD