"Sulit di jelaskan," kata Richad setelah selesai memakan satu suap nasi goreng buatan Rachel. Richad langsung mendorong jauh piring berisi nasi goreng tersebut. Rasanya benar-benar tidak bisa dia jelaskan. Campuran bumbu yang tidak sesuai sehingga menciptakan rasa pahit dan sepat yang tinggal di lidah selain itu dia juga bisa merasakan pedas di ujung lidahnya. Sulit untuk menjelaskan campuran dari rasa itu.
"Enak atau tidak? Kamu hanya perlu menjawab salah satu," kata Rachel.
"Tidak. Sama sekali tidak enak. Nasi goreng mu ini tidak layak untuk di makan bahkan untuk kucing sekali pun," ucap Richad menjelaskan dengan nada suara yang pelan namun, kata-katanya menusuk hingga ulu hati Rachel. Richad selalu begitu dia tidak repot-repot untuk memperhalus kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia mengutarakan pendapatnya secara gamblang.
"O-oke." Rachel menunduk lesu. Dia kecewa dengan rasa masakannya yang tidak enak dan diperburuk oleh kata-kata Richad. Rachel tidak tahu di mana letak salahnya, kenapa rasa nasi gorengnya jadi seperti itu. Dia tadi sangat yakin dengan rasa nasi gorengnya karena sudah menambahkan bumbu yang banyak.
"Mama jangan dimakan!" Richad bergegas menjauhkan nasi goreng itu dari hadapan mamanya. Dia tidak mau mamanya sakit perut karena memakan nasi goreng buatan Rachel. Karena Richad yakin mamanya akan tetap makan nasi goreng itu jika sudah berada di piringnya. Maka dari itu dia segera menjauhkan nasi goreng tersebut sebelum masuk piring mamanya bahkan dia membawa nasi goreng tersebut ke tempat sampah dan langsung membuangnya.
"Kenapa dibuang, sih, Nak?" Merilyn menatap putranya dengan tatapan heran.
"Itu benar-benar tidak layak untuk dimakan, Ma," bisik Richad pelan. Merilyn melirik putrinya yang menunduk lesu. Merilyn kemudian berdiri sembari melihat jam dinding. Dia masih punya waktu untuk membuatkan sarapan. Segera dia mengambil bahan makan dan mengolahnya dengan cepat. Merilyn memilih membuatkan sup ayam kampung karena tinggal itu yang tersisa di dalam lemari pendingin. Dia harus belanja di super market nanti untuk makan siang dan makan malam mereka.
"Rachel kamu mandi dan ganti baju, Nak. Setelah itu kita sarapan. Jangan lama-lama nanti terlambat sekolah!" kata Merilyn tanpa mengalihkan fokusnya dari masakannya.
"Baik, Ma," jawab Rachel lesu.
"Aku juga mau ke kamar dulu, Ma. Mau ganti baju." Richad sudah selesai mandi sebelum ke dapur tadi. Dia terbiasa langsung mandi setelah bangun pagi.
Merilyn menyajikan masakannya di meja makan. Dia kemudian menyendok nasi ke dalam piring untuk kedua anaknya. Richad dan Rachel datang bertepatan setelah dia selesai menambahkan lauk pada piring kedua anaknya.
Karena suasana hati Rachel yang mendung terjadi keheningan di meja makan tersebut. Hanya suara piring yang beradu dengan sendok yang terdengar. Sesekali Richad dan Merilyn saling tatap dan berkomunikasi melalui pandangan mata.
"Aku sudah selesai. Terima kasih atas makanannya, Ma." Rachel lebih dulu menyudahi sarapannya.
"Kenapa nggak dihabiskan, Sayang? Biasanya kamu suka sup ayam kampung." Rachel menyisakan setengah isi dari piringnya. Yang artinya dia hanya makan sedikit.
"Nggak apa-apa, Ma. Rachel udah kenyang," jawab Rachel pelan.
"Kamu nggak usah sedih, soal masakan kamu yang enggak enak. Dulu Mama juga gitu waktu awal belajar masak." Merilyn lebih parah dari Rachel. Masakan pertamanya berakhir di tempat sampah karena gosong. Masakan keduanya pun bernasib yang sama. Saat dia mencoba memasak yang ketiga kalinya dia hampir membakar dapur karena terlalu lama mengangkat ikan yang dia masak. Ikan tersebut sudah berubah jadi abu. Kemudian mamanya mengajarinya memasak hingga dia bisa.
Rachel hanya mengangguk lalu memunculkan senyum kecilnya. Perasaannya sedikit membaik setelah mendengar ucapan mamanya.
***
Merilyn mampir ke laundry miliknya setelah mengantarkan si kembar ke sekolah. Awal bulan seperti ini biasanya dia akan belanja kebutuhan laundry. Sekalian dia akan belanja bahan makanan.
"Ini apa aja yang habis?" Merilyn bertanya sembari mengecek ketersediaan bahan pewangi dan juga detergen.
"Stok detergen sama pewangi sudah tipis, Kak. Masing-masing sisa dua botol," jawab Hana. Perempuan berusia dua puluh lima tahun itu sudah bekerja di sana selama enam tahun. Merilyn sudah sangat percaya pada Hana. Sudah empat tahun dia mempercayakan Hana untuk bertanggung jawab pada keuangan laundry. Hanalah yang selalu menyetor pendapatan laundry ke rekening milik Merilyn.
"Oke, sudah saya list. Ada lagi yang mau ditambahkan?" Merilyn melihat ketersediaan air minum di laundry. Masih cukup dia tidak perlu memesan lagi untuk saat ini.
"Ini udah semua, Kak," kata Hana setelah membaca list yang Merilyn buat.
"Oke." Merilyn mengambil kunci mobil dari dalam laci kasir. Jika untuk belanja seperti ini Merilyn selalu menggunakan mobilnya. Mobil yang dia beli khusus untuk operasional laundry. Sejak permintaan pelanggan yang semakin meningkat Merilyn merelakan tabungannya untuk membeli mobil. Banyak dari pelanggannya yang memilih agar pakaian mereka dijemput dan diantarkan kembali ke rumah. Meskipun ada tambahan biaya mereka tidak mempermasalahkannya.
Merilyn mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, dia tidak ingin terburu-buru karena jalanan kota Medan cukup padat. Dan lagi supermarket tujuannya tidak jauh lagi.
Merilyn memutar setir ke kiri karena dia akan memasuki parkiran supermarket tujuannya. Setelah memarkirkan mobilnya, Merilyn mengambil tas lalu keluar menuju pintu masuk supermarket tersebut.
Merilyn mulai dengan belanja keperluan laundry, setelah selesai memastikan tidak ada yang terlewat barulah dia memasuki area bahan makanan. Merilyn mengambil daging karena dia ingat Richad sangat menyukai daging. Sapi lada hitam adalah favorit anak laki-lakinya itu. Dia juga mengambil daging ayam untuk Rachel. Keduanya memang memiliki selera yang berbeda namun, apapun yang dia masak keduanya anaknya akan makan dengan lahap. Hanya sesekali dia memasak dengan menu yang berbeda.
Setelah selesai untuk bahan masakan, Merilyn menyusuri rak buah. Untuk buah Richad dan Rachel memiliki selera yang sama. Mereka sama-sama pecinta buah melon. Merilyn memilih buah yang besar agar cukup dibagi untuk anak-anaknya. Dia sudah memegang buah yang besar namun, ada tangan lain yang juga ingin mengambil buah itu. Tangan pria itu berada tepat di atas tangannya.
"Maaf, saya sudah lebih dulu mengambilnya," kata Merilyn. Dia lalu terpaku setelah melihat siapa pemilik tangan tersebut. Pria itu Raiden, mantan suaminya. Jantung Merilyn berdetak lebih cepat ketika dia merasa hangat dibawah sentuhan Raiden. Pria itu memiliki selera buah yang sama seperti si kembar yang menyukai buah melon.
"Anda bisa mengambil buah yang lain. Yang ini sudah saya pilih." Merilyn lalu menarik tangannya yang memegang buah menjauh dari tangan Raiden. Meskipun sebenarnya dia merasa nyaman dan tidak rela kehilangan sentuhan tangan pria itu. Merilyn kemudian berbalik lalu pergi tanpa menoleh pada pria itu lagi. Dia masih ingat dengan jelas isi dari perjanjian mereka saat bercerai. Maka dari itu dia benar-benar bersikap seolah tidak mengenal pria itu. Merilyn melanjutkan memilih buah lagi untuk dirinya sendiri.
Merilyn suka buah stroberi. Saat dia hendak mengambil satu kotak, Raiden telah lebih dulu memasukkan satu kota ke dalam trolinya. Entah apa tujuan Raiden.
"Saya membantu Anda memilih buah yang rasanya dijamin manis," ucap Raiden datar.
"Terima kasih sebelumnya, tapi saya tidak menerima pilihan buah dari orang asing." Merilyn mengambil buah stroberi itu lalu mengembalikannya. Merilyn mengambil asal stroberi yang lain kemudian berlalu dari hadapan Raiden. Dia langsung menuju kasir dan membayar belanjaannya. Raiden berada tepat di belakangnya untuk mengantri membayar belanjaannya sendiri. Hal tersebut membuat Merilyn tidak fokus karena dia merasa tatapan Raiden seolah menusuk punggungnya.
"Sayang, aku sudah selesai." Merilyn melirik sekilas perempuan yang memeluk tangan Raiden.
"Apa yang kamu beli?" Perempuan itu bertanya lagi. Dia melihat keranjang belanja di tangan Raiden.
Merilyn diam-diam mendengarkan interaksi keduanya. Sesekali dia mencibir dalam hati kelakuan perempuan Raiden yang terus menempel pada Raiden. Perhatian Merilyn kemudian teralihkan saat mendengar telepon genggamnya berdering.
"Halo, Sayang," sapa Merilyn begitu menerima panggilan telepon dari putrinya.
"Ma, kami sudah di rumah." Rachel dan Richad di jemput oleh salah satu pegawainya di laundry. Merilyn terkadang meminta bantuan pegawainya dan untuk hal itu dia selalu menambahkan uang jajan untuk pegawainya tersebut.
"Oke, Nak. Mama pulang sekarang. Mau dibawakan makan siang apa?" Merilyn tidak sempat lagi memasak.
"Apa aja Rachel mau, Ma," jawab anak perempuan Merilyn itu.
"Iya sudah kalian langsung ganti baju dan tunggu Mama di rumah."
"Baik, Ma!" Kedua anak Merilyn menjawab serentak. Sambungan telepon terputus bertepatan dengan kasir yang telah selesai menghitung belanjaannya.
Setelah membayar, Merilyn tidak sengaja bertatapan mata dengan Raiden. Tatapan pria itu seolah menuntut penjelasan darinya. Merilyn memutus kontak mata dengan Raiden, dia merasa tidak perlu menjelaskan apapun pada pria itu. Lagipula mereka orang asing sekarang.
***