4. Bertemu Gabe

1558 Words
Setiap akhir bulan Merilyn biasanya akan mengajak anak-anak ke luar untuk menghabiskan waktu seharian. Bulan lalu mereka menghabiskan waktu di pantai. Rachel sangat menyukai pantai namun, dia tidak bisa berenang. Dia hanya suka bermain di pasir sambil sesekali membiarkan kakinya terendam air laut. Sementara itu Richad sudah mencoba semua permainan di sana. Mulai dari naik ban sampai naik banana boat sudah dia coba. Richad selalu penasaran akan hal baru karena itu dia tidak pernah melewatkannya. Setelah perdebatan yang panjang antara Rachel dan Richad, Merilyn akhirnya memutuskan untuk menghabiskan waktu akhir bulan di kebun binatang. Mengelilingi kebun binatang rupanya cukup melelahkan. Setelah dua jam melihat berbagai macam bentuk dan jenis binatang mereka memutuskan untuk pindah ke tempat lain. Tujuan akhirnya adalah restoran cepat saji. "Mama sama Rachel duduk aja, biar aku yang pesan." Layaknya pria sejati, Richad meminta Rachel dan mamanya untuk duduk sementara dia mengantri untuk memesan. Merilyn tersenyum kecil, dia selalu merasa bangga pada putranya yang terlihat lebih dewasa dari putrinya. Padahal Rachel yang lebih dulu lahir namun, dari segi sikap dan sifat Richadlah yang lebih dewasa. Merilyn pernah mendengar perkataan kalau sebenarnya anak kembar yang lahir belakangan lah yang merupakan kakaknya, karena dia mengalah dan membiarkan kembarannya yang lebih dulu lahir. Namun hal itu hanya teori. Di mana faktanya kembarannya yang lahir lebih dulu yang di sebut sebagai kakak. "Terima kasih, Kak," ucap Richad ramah pada pegawai yang mengantarkan pesanan mereka. Pegawai perempuan itu membalasnya dengan senyuman yang ramah. Sementara itu Rachel langsung mengambil bagiannya, dia hampir saja memasukkan ayam goreng ke mulutnya jika Richad tidak menegurnya. "Cuci tangan dulu baru makan!" Richad menarik makanan Rachel menjauh dari hadapan gadis kecil itu. Terkadang Richad lebih tegas pada Rachel dibandingkan Merilyn. "Ayo cuci tangan dulu, Hel." Merilyn langsung menarik tangan anak perempuannya itu ketika Rachel hendak mengambil tissue basah dari dalam tasnya. "Cuci tangan, Hel bukan lap tangan." Merilyn gemas melihat tingkah putrinya itu. "Padahal pakai tissue kan lebih mudah," sungut Rachel. "Cuci dengan air mengalir lebih bersih, Nak." Rachel mengangguk menuruti perkataan mamanya. Dia tidak akan jadi makan jika terus berdebat dengan mamanya. Rachel mempercepat langkahnya setelah selesai mencuci tangannya. Dia kemudian langsung menarik piringnya dan makan dengan lahap. Richad hanya menggeleng melihat tingkah laku kakak kembarnya itu. "Pelan-pelan, Hel. Nggak akan ada yang ambil makanan kamu," tegur Merilyn pada anaknya. Merilyn sesekali mengusap mulut putrinya. Cara makan Rachel yang terkesan tidak benar membuat banyak sisa makanan menempel di sekitar mulutnya. Saat mereka sibuk menyantap makanan mereka masing-masing, tiba-tiba seorang pria dengan pakaian yang rapi datang menghampiri. "Boleh saya bergabung di sini?" Pertanyaan itu membuat Merilyn menoleh. Untuk beberapa detik dia tidak fokus lalu dia kembali menguasai dirinya dengan benar. "Kami tidak ingin makan satu meja dengan orang yang tidak dikenal." Richad memberikan jawaban dengan wajah datarnya. Sementara pria itu menatap takjub pada Richad. "Benar-benar mirip," kata pria itu lagi seraya menatap lekat pada Richad. Dia adalah Gabe orang kepercayaan Raiden. Sejak melihat mereka tadi dia langsung bisa mengetahui siapa kedua orang tua anak itu. "Tidak ada tempat lain yang kosong. Sementara di sini masih tersisa satu kursi lagi. Jadi, Om boleh 'kan duduk di sini?" Gabe bertanya namun, dia sudah langsung duduk tanpa menunggu jawaban dari orang yang dia tanya. "Tidak sopan," Kata Rachel seraya menggelengkan kepalanya. Gabe hanya tersenyum tanpa tersinggung mendengar perkataan gadis kecil itu. "Om boleh tahu nama kamu siapa?" tanya Gabe pada Rachel. Gabe melirik Merilyn yang hanya diam. Perempuan itu pura-pura fokus pada makanan di hadapannya. Merilyn bertingkah seolah dia tidak mengenal pria itu. "Tidak boleh!" Richad berdiri memasang wajah garang. Dia menatap tajam pada Gabe. "Kami tidak mau diganggu! Jadi, Om silakan cari tempat duduk yang lain. Bila perlu cari tempat makan yang lain juga." "Mama sudah selesai makan. Kita pulang sekarang." Merilyn berdiri dan langsung diikuti oleh anak-anaknya. "Lyn, bukankah kita perlu bicara?" Gabe menghentikan pergerakan langkah Merilyn. Dia ingin mendengar penjelasan Merilyn tentang anak-anak itu meski sebenarnya hal itu bukan haknya. "Tidak ada yang perlu dibicarakan. Aku hanya minta agar hal ini tidak sampai ke pria itu." Merilyn enggan menyebut nama mantan suaminya di depan anak-anaknya. Sampai saat ini dia tidak pernah membahas masalah Raiden kepada si kembar. Sejauh ini mereka bertanya tentang papanya hanya satu kali setelahnya tidak pernah lagi. Sorot mata Gabe berubah teduh, dia tahu isi perjanjian yang harus Merilyn tandatangani. Merilyn tidak bersalah di sini. Yang bersalah adalah Raiden. Pria itu tidak bisa bersikap tegas terhadap keluarganya. Sehingga dia harus mengorbankan pernikahannya. "Kalaupun dia tahu, saya bisa pastikan hal itu tidak datang dari saya." Gabe mungkin tidak akan memberi tahu pada Raiden namun, tidak menutup kemungkinan kalau pria itu mencari tahu sendiri. "Saya mendoakan kamu menemukan pasangan yang jauh lebih baik dan menikah lagi, Lyn." Harapan itu dia panjatkan agar ada seseorang yang melindungi Merilyn dan anak-anaknya. "Aku nggak pernah berpikir untuk menikah lagi. Hidup bertiga dengan mereka sudah cukup." Merilyn lalu mengajak anak-anaknya pergi dari sana. Sepanjang perjalan pulang, Merilyn menutup rapat mulutnya. Dia tahu Richad dan Rachel sangat penasaran dengan pria tadi. Namun, dia tidak ingin membahas masa lalu karena itu akan membuatnya kembali terluka. *** "Aku tidak tertarik membahas apapun tentang masa lalu. Jadi sebaiknya tutup saja mulutmu jika itu membahas perempuan itu," kata Raiden yang sepertinya bisa membaca isi dari kepala Gabe. Gabe memang tidak mengatakan kalau dia bertemu dengan Merilyn hanya saja dia sering menyelipkan nama Merilyn di sela-sela obrolan mereka. Gabe hanya ingin terus mengingatkan kalau Raiden pernah hidup bahagia dengan seorang perempuan bernama Merilyn. Hanya saja Gabe tidak tahu kalau mendengar nama Merilyn membuat Raiden merasa bersalah sekaligus merindukan perempuan itu. Efeknya memang begitu berat namun, dia sudah memilih jalan hidupnya. Raiden hanya akan terus melangkah maju dia tidak akan memilih mundur karena akan banyak masalah yang muncul. Gabe hanya tersenyum melihat wajah datar atasannya itu. Dia ingat baru saja melihat wajah serupa beda usia satu jam yang lalu. "Bagaimana rasanya punya anak?" Tiba-tiba pertanyaan itu keluar dari mulut Gabe. Dia membayangkan Raiden dipanggil papa oleh anak itu. "Sana bikin anak sama kekasihmu itu! Jangan membicarakan hal-hal aneh di depanku!" Raiden mendengus kesal atas pertanyaan Gabe. Dia pernah memimpikan seorang anak perempuan memanggilnya papa. Dan sampai sekarang Raiden tidak pernah melupakan mimpi itu padahal sudah tujuh tahun berlalu saat dia tertidur di dalam mobil di depan rumah yang pernah dia tempati dengan Merilyn. Mimpi itu terasa sangat nyata hingga Raiden tidak bisa melupakannya. "Saya ingin mengadopsi anak. Mereka kembar satu laki-laki dan satu perempuan. Kira-kira Bapak Raiden mengizinkannya atau tidak?" "Kamu tidak perlu persetujuanku. Lakukan apapun itu tapi jangan mengabaikan pekerjaan. Di atas segala hal pekerjaan adalah hal yang paling utama dan yang terpenting." Andai Raiden tahu kalau anak yang dimaksud Gabe adalah anak-anaknya mungkin pria itu tidak akan bisa santai seperti sekarang ini. "Keluarga dan kesehatan adalah hal yang paling penting," ralat Gabe. Raiden tidak mengatakan apapun lagi. Dia hanya fokus pada komputer di hadapannya. Dia pernah mengutamakan keluarganya dari pada istrinya dan yang dia dapatkan bukan kebahagiaan melainkan perasaan kosong yang tidak ada artinya. Karena itu dia lebih mengutamakan pekerjaan di atas segala hal. Bahkan di hari libur seperti ini dia tetap bekerja. "Bagaimana dengan perkembangan proyek kita?" tanya Raiden tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputernya. "Tidak ada halangan, Pak. Semuanya berjalan sesuai target." Gabe memberikan rincian laporan yang sudah dia buat semalam. "Jika tidak ada halangan sampai dua minggu ke depan, kita bisa kembali ke Jakarta tiga minggu lagi, Pak." Raiden menaruh berkas laporan yang disiapkan Gabe. "Kerja bagus. Setelah ini proyek ini aku masih ingin tinggal untuk libur selama satu minggu. Tambahkan ke agenda." Gabe langsung menuliskan hal tersebut di buku agendanya. "Bagaimana dengan Patricia?" tanya Gabe pelan. "Dia bisa mengurus dirinya sendiri. Tidak perlu mengkhawatirkannya." Gabe mengangguk, sejujurnya dia tidak mengkhawatirkan perempuan itu. Dia lebih mengkhawatirkan Merilyn karena perempuan itu pulang dengan mengendarai motor bersama anak-anaknya. Ponsel Gabe berdering mengalihkan pikirannya dari Merilyn dan anak-anaknya. "Halo," sapa Gabe langsung menerima panggilan tersebut. "Saya sudah menemukan datanya, Pak. Yang laki-laki namanya, Richad sementara yang perempuan namanya, Rachel. Sekarang sedang menempuh pendidikan sekolah dasar kelas empat. Sementara ibunya memiliki usaha laundry. Mereka tinggal di jalan setia budi nomor tujuh puluh delapan." "Hal-hal lainnya akan saya kirimkan ke email Bapak." "Kerja bagus. Bonus mu akan saya kirimkan sekarang." Gabe tersenyum puas setelah mengetahui nama anak-anak itu. "Siapa Richad?" Pendengaran Raiden cukup tajam, dia mampu mendengar semua percakapan Gabe dengan orang tadi. "Bapak mendengarnya?" Gabe tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya. "Kamu berbicara tepat di hadapanku." "Jadi siapa mereka yang kamu cari tahu data-datanya?" Raiden kembali bertanya. Dia cukup penasaran karena ini pertama kali Gabe mencari tahu informasi seseorang tanpa dia minta. "Mereka anak-anak yang ingin saya adopsi, Pak," jawab Gabe tidak sepenuhnya berbohong. Dia kemudian membuka email dari orang suruhannya. "Mereka anak kembar yang menarik perhatian saya. Yang ini adalah saudara kembarnya yang perempuan." Gabe menunjukkan foto Rachel yang dikirimkan orang suruhannya tadi. Raiden hanya menatap sekilas foto itu karena dia tidak terlalu tertarik. "Hanya saja keinginan saya tidak akan terwujud, Pak. Orang tua anak itu tidak mau memberikan anaknya untuk diadopsi," kata Gabe. Dia menatap lekat pada atasannya karena penasaran dengan reaksi atasannya itu. "Saya tertarik karena nama belakang mereka sama seperti nama belakang Anda, Pak. Richad Hartawijawa nama anak laki-laki itu." "Siapa saja boleh menggunakan nama itu." Raiden nyatanya tidak memberikan reaksi apapun. Dia berpikir kalau siapapun boleh menggunakan nama itu. Dan lagi mereka bukan orang pertama yang menggunakan nama belakang seperti itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD