Tubuh yang dibalut pakaian dari merk terkenal itu menjadi pusat perhatian orang, namun hal itu tidak terasa mengganggu bagi Prita. Sudah biasa bagi Prita menjadi perhatian termasuk gadis yang baru saja meliriknya sekilas yang ada dipikirannya saat ini adalah secepatnya bertemu dengan Akarsana.
Setelah memastikan ruang rawat sudah benar, Prita langsung menekan pegangan pintu dan mendorongnya pelan. Dia bisa melihat Akarsana yang terlihat begitu lemah dengan jarum infus di tangan kanan.
Prita melangkah perlahan memastikan suara ketukan heels yang dikenakan tidak mengganggu istirahat Akarsana. Sayang, harapannya tidak terkabul saat melihat Akarsana perlahan membuka mata.
Oh Tuhan, hati Prita bergetar melihat tatapan lemah Akarsana.
“Nak, bagaimana keadaan kamu? Masih ada yang sakit?” tanya Prita seraya mengusap puncak kepala Akarsana dengan lembut.
“Ma … Na, Naomi di mana?” tanya Akarsana dengan suara lemah. "Aku mau bertemu dengan dia, Ma. Aku mau tanya kenapa di pergi begitu saja."
Raut wajah Prita yang semula khawatir berubah menjadi kesal. Dia tidak suka Akarsana menanyakan wanita yang berani meninggalkan anaknya di hari pernikahan tanpa alasan yang jelas.
Kurang apa Akarsana sampai Naomi pergi begitu saja? Sungguh sebagai seorang ibu hatinya begitu kesal sekaligus marah. Anaknya dipermainkan dan keluarganya dipermalukan.
“Jangan bertanya tentang Naomi lagi, Nak!” Prita berbicara begitu tegas. “Wanita itu, wanita itu tidak tahu diri, karena sudah mempermainkan kamu dan mempermalukan keluarga kita. Wanita itu tidak pantas untuk kamu!”
“Ma, tap–”
“Tidak ada, Sayang! Tidak ada tapi-tapian dan perlu kamu ingat lagi, Naomi itu sudah menjadi mantan tunangan kamu. Sudah tidak ada lagi hubungan yang mengikat kalian!”
"Ma, tapi aku perlu tahu alasan Naomi pergi begitu saja." Akarsana memejamkan mata. "Kalau dia tahu aku sakit pasti Naomi akan datang ke sini. "Percaya, Ma, dia mencintai aku. Tidak seperti yang Mama pikirkan.
"Sekali tidak, ya Tidak! Jangan membantah Mama, Akarsana!"
Akarsana hanya bisa memejamkan mata mendengar Prita yang terdengar sangat marah. Tenaganya masih belum pulih hanya sekadar membalas. Biarlah Prita berkata apapun untuk saat ini.
Prita menghela nafas nafas dan kembali menatap Akarsana yang kembali memejamkan mata. "Lebih baik kamu istirahat saja, Nak. Jangan memikirkan apapun terlebih dahulu. Yang paling penting adalah kesehatan kamu."
"Iya, Ma."
***
Di lain sisi, Pelangi berjalan dengan senyum mengembang. Tujuannya adalah tempat Ayahnya di rawat. Dia ingin melihat bagaimana keadaan sang Ayah setelah terkena serangan jantung.
"Pelangi," panggil sang Ayah saat melihat Pelangi membuka pintu.
Pelangi langsung berlari kecil dan memeluk sang Ayah. Jujur saja Pelangi sangat lega melihat keadaan ayahnya yang semakin membaik.
"Kangen sama Ayah," ucap Pelangi begitu manja.
"Ayah juga rindu sama kamu dan adik."
Keduanya langsung melepas rindu dengan mengobrol santai. Pelangi juga tidak ragu menceritakan bahwa dirinya tengah tertarik dengan seorang pria. Saat ditanya sang Ayah, Pelangi mengelak bahwa mereka tidak ada hubungan apapun.
"Kenalin sama Ayah," pinta Ayah yang membuat Pelangi bersemu merah.
"Ayah, Pelangi cuma mengagumi saja. Sebatas itu."
"Lebih juga tidak apa, Sayang. Ayah lebih tenang kalau sudah ada laki-laki yang berhasil memikat hati kamu. Setidaknya kalau ayah me—"
"Ayah, Pelangi tidak suka ayah berbicara seperti itu. Ayah akan sehat-sehat saja. Tidak akan terjadi apapun pada Ayah." Mata Pelangi berkaca-kaca mendengar ucapan sang Ayah. Dia tidak akan sanggup jika terjadi sesuatu padanya. Bagi Pelangi, keberadaan ayahnya sangat penting.
"Sudah, jangan menangis," ucap ayah sambil terkekeh, merasa lucu dengan reaksi Pelangi yang sampai berkaca-kaca.
"Ayah hanya bercanda, Sayang. Jangan menangis!" ucap ayah yang merasa bersalah, karena telah membuat keadaan sang Anak sedih hingga berkaca-kaca.
"Pelangi tidak suka ayah berbicara seperti itu. Ayah akan sehat, menemani aku sama adik."
Pelangi langsung memeluk ayahnya sambil berlinang air mata. Perlahan tangisnya mereda saat merasakan usapan penuh halus nan menenangkan yang diberikan oleh ayahnya.
"Jangan nangis ya, Sayang! Malu sama pacar kamu."
"Ayah," rengek Pelangi yang kembali digoda oleh Ayah. "Pelangi hanya sebatas mengagumi, Yah. Tidak lebih."
"Lebih juga tidak apa, Sayang."
Percakapan itu berakhir dengan godaan yang terus dilontarkan Ayah pada Pelangi. Setelah memastikan sendiri kondisi sang Ayah baik-baik saja, Pelangi memutuskan untuk kembali ke rumah.
Ah iya. Tujuanku tadi untuk menjenguk laki-laki itu, kan?" ucapnya dalam hati.
Langkah Pelangi berubah. Tujuannya sekarang ruangan rawat inap laki-laki yang ia kenali sebagai Akarsana. Dia ingin memastikan apakah Akarsana benar-benar sudah siuman seperti kata Ardian atau tidak.
Kepala Pelangi menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada orang disekitarnya. Pelangi tidak ingin dicurigai sebagai penguntit yang memiliki rencana buruk.
"Aman," ucap Pelangi saat situasi di sekeliling aman.
Matanya menatap laki-laki yang tengah memejamkan mata dan menghadap jendela dengan hembusan nafas begitu teratur. Melihat dari tidak banyak alat-alat yang menempel di tubuh seperti kemarin, Pelangi yakin jika kondisinya jauh lebih baik dan stabil.
Dari tempatnya berdiri saat ini, Pelangi tidak yakin apakah laki-laki itu tidur atau tidak. Berulang kali tangannya menggantung di udara. Hatinya seolah mendorong untuk masuk dan melihat dari jarak dekat, namun logika membuat Pelangi berpikir rasional. Dia tidak ingin ketahuan dan mengganggu istirahat orang sakit.
"Semoga kamu cepat sembuh," doa Pelangi dengan tangan mengusap kaca seolah tengah mengusap wajah Akarsana.
Cukup lama berada di depan pintu, Pelangi akhirnya memutuskan untuk pulang. Sudah cukup rasanya memandang wajah itu dan memastikan sendiri bagaimana keadaannya. Setidaknya, Ardian tidak berbohong.
Di dalam ruang rawat itu berulang kali Akarsana memejamkan mata mungkin hanya halusinasinya saja, namun itu wanita dan berambut ikal.
"Naomi," gumam Akarsana.
"Naomi!" teriak Akarsana sambil berusaha bangun dari brankar saat melihat orang itu pergi dari depan pintu.
"Naomi, tunggu!"
Akarsana semakin histeris. Saat orang itu tidak terlihat lagi, bahkan Akarsana nekad mencabut jarum infus secara paksa hingga menimbulkan luka berdarah.
"Akarsana, kamu kenapa?!"
Teriakan itu membuat Akarsana yang terjatuh lantas menengadahkan kepala. Tangan laki-laki itu menunjuk arah pintu.
"Ma, aku tadi melihat Naomi di sana." Akarsana memaksakan dirinya untuk bangun dan mengejar seorang wanita yang ia kira Naomi.
"Naomi siapa? Mama tidak melihat siapa-siapa, Nak," ucap Prita sembari membantu Arkana berdiri.
"Ma, tadi aku lihat Naomi berdiri di sana."
Tanpa mendengar ucapan Akarsana, Prita lantas menekan tombol nurse call. Tangannya tidak henti memberikan usapan pada puncak kepala Akarsana berharap usapan itu membuat sang Anak menjadi lebih tenang.
"Ma, tadi aku beneran lihat Na—"
"Sudah cukup, Akarsana! Tidak ada Naomi. Ingat! Wanita itu sudah pergi meninggalkan kamu. Lupakan dia!"