Suasana di sebuah butik ternama begitu padat dengan aktivitas pembeli dan juga karyawan. Mendadak butik ramai pengunjung sampai beberapa karyawan office turun tangan untuk membantu. Bukan karena biasanya tidak ada pembeli, hanya saja dua karyawan yang bertugas melayani, mengambil cuti akibat sakit. Ditambah yang datang dua kali lipat dari biasanya, sehingga takut tidak bisa memberi pelayanan terbaik.
“Eve, thanks ya sudah bantu di sini. Aku tahu kerjaan kamu banyak, tapi masih sempat turun.”
“Iya sama-sama. Enggak masalah kok, kerjaanku belum ada yang urgent.”
“Nanti aku traktir makan bakso di depan dua mangkuk. Oke?”
Eve terkekeh pelan. “Baiklah, dengan senang hati.”
Hampir 3 bulan Eve bekerja di sebuah butik bernama ForLady, sebagai akunting. Sebelumnya, sejak lulus sekolah menengah atas, ia bekerja di restoran cepat saji sambil kuliah. Sayang, kariernya yang cukup bagus harus berakhir karena fitnah serta tekanan yang datang dari sesama karyawan. Akhirnya Eve mundur lalu sekarang berakhir di butik ini.
“Terima kasih sudah berkunjung. Silakan datang kembali.”
Eve menghela napas pelan begitu pengunjung terakhir keluar dari tempat itu. Sudah terbiasa bekerja di back office, membuat kaki Eve terasa pegal karena harus berdiri hampir dua jam. Melayani pembeli dengan sabar dan sepenuh hati. Pengalaman yang cukup berharga baginya.
“Eve, dipanggil sama Miss Lady.”
Suara tersebut membuat Eve mengalihkan pandangan yang sempat melamun. Sedikit kaget dan juga gugup. Dipanggil oleh bos besar, siapa yang tidak cemas.
“Ada apa, Ran?”
Ranza mengangkat bahunya ringan. “Kurang tahu. Dia nggak bilang apa-apa selain nyuruh kamu datang,” bisiknya.
Eve mengangguk ragu. “Baiklah. Aku ke ruangannya sekarang.”
Ada rasa penasaran yang menghampiri. Takut jika pemilik dari butik ini tidak suka jika ia membantu, sedangkan ia punya tanggung jawab lain. Namun satu sisi ia cemas, apakah pemanggilannya terkait kelangsungannya sebagai karyawan ForLady?
Begitu sampai di depan ruang kerja Lady, tangan Eve siap mengetuk pintu yang sedikit terbuka. Namun belum niatnya terlaksana, gerakan tangannya tertahan. Eve diam di tempat karena Lady sedang bicara, entah dengan siapa.
“Beb, kapan kita bisa bertemu lagi? Rasanya aku merindukan malam panas kita beberapa waktu lalu.”
Napas Eve tertahan begitu mendengar suara Lady. Kalimat yang membuatnya bulu kuduknya meremang. Eve langsung ingat dengan kejadian malam tiga hari yang lalu. Bagaimana seorang wanita sedang dicumbui oleh pemilik apartemen tempat bibinya bekerja.
Eve menggelengkan kepala, mengusir pikiran yang tidak-tidak. Menghela napas pelan, dan berpura-pura tidak mendengar percakapan Lady.
“Mana mungkin wanita malam itu adalah Miss Lady. Dunia tidak sesempit itu, kan,” gumamnya dalam hati.
Tangan Eve kembali bergerak, mengetuk pintu kayu tersebut. Setelah mendapat izin masuk oleh Lady, barulah kaki Eve melangkah, menghampiri wanita itu.
“Iya Beb, nanti kabari aku, kalau kamu sudah nggak sibuk.”
Eve menunggu dengan sabar Lady selesai bicara. Wajahnya tertunduk, takut dengan tatapan tajam bosnya yang terlihat mengintimidasi. Padahal sikap Lady sangat baik kepada karyawannya, namun pembawaannya yang tegas, membuatnya dihormati.
“Sorry kalau menunggu lama,” ucap Lady santai.
“Tidak apa-apa, Miss.”
Lady mengulurkan tangan, memberi isyarat agar Eve duduk di kursi depan meja kerjanya.
“Saya manggil kamu karena ada yang mau saya sampaikan.”
Jantung Eve berdetak cepat. Takut sekali jika Lady tidak puas dengan kinerjanya selama masa percobaan. Ia belum siap jika harus kehilangan pekerjaan. Hidup di Jakarta, tentu tidak mudah mencari penggantinya.
“Ada apa ya, Miss?”
Lady tidak langsung menjawab. Ia membuka laci meja, kemudian tangannya mengambil sesuatu dari dalam sana. Sebuah amplop berwarna cokelat, Lady berikan kepada Eve.
“Silakan dibuka dan dibaca baik-baik.”
Wajah Eve seketika memucat serta menegang. Bahkan tangannya gemetar. Di pikirannya saat ini, hari ini adalah hari terakhirnya bekerja. Rasanya Eve ingin menangis, membayankan semua itu terjadi.
“Kenapa diam? Kamu nggak mau menuruti perkataan saya?”
Eve menggeleng. “Miss, apa saya melakukan kesalahan?”
“Kesalahan?”
“Iya. Masa training selesai beberapa hari yang akan datang. Itu artinya, saya tidak bisa menjadi karyawan kontrak di sini? Apa saya melakukan kesalahan dalam bekerja sehingga saya diberhentikan?”
Lady benar-benar bingung. Namun tidak lama, wanita berambut pirang itu tertawa. Tentu saja sikapnya membuat Eve menjadi bingung.
“Eve, pikiran kamu sempit sekali. Buka dulu amplopnya, baru kamu bertanya sama saya.”
Semakin penasaran, lantas Eve menuruti perkataan Lady. Dengan tangan gemetar, ia membuka amplop tersebut. Membaca dengan seksama dokumen di dalamnya, sampai akhirnya kedua matanya membola sempurna.
“Gimana? Kamu masih berpikir negatif terhadap saya?”
Eve menatap Lady. Wajahnya masih menampakkan raut terkejut. Namun perlahan, kedua matanya mulai berkaca-kaca.
“Miss, jadi saya diterima sebagai karyawan kontrak di ForLady?”
Lady mengangguk. “Akhir-akhir ini, suasana hati saya sangat baik. Ditambah, saya juga mendapat laporan kalau kamu bekerja dengan baik dan tekun. Saya juga melihatnya sendiri. Jadi saya putuskan, kamu tetap bekerja di sini, sebagai pegawai kontrak. Kalau ke depan butik ini semakin berkembang, dan kamu menunjukkan kemampuan terbaik, bisa saja saya angkat kamu sebagai karyawan tetap,” jelas wanita itu.
“Ya Tuhan, terima kasih banyak, Miss. Saya benar-benar bahagia. Sekali lagi terima kasih.”
“Iya. Tapi jangan kecewakan saya. Kamu harus bekerja dengan baik.”
“Pasti Miss. Saya akan melakukan yang terbaik untuk ForLady.”
***
Hari ini menjadi hari yang membahagiakan bagi Eve. Pulang dari butik, dengan perasaan yang ringan. Masa percobaan berakhir dan ia sudah tanda tangan kontrak sebagai karyawan butik. Meski harus kembali melakukan pekerjaan bibinya, tapi Eve tidak merasa keberatan.
Seperti biasa, Eve membersihkan seluruh area apartemen yang cukup luas. Ada rasa lelah, tapi Eve berusaha melakukannya dengan senang agar semua berjalan cepat.
Ketika Eve melakukan pekerjaannya, bayangan mengenai suara yang pernah ia dengan beberapa hari yang lalu, terus menggema di telinganya. Membuat perasaannya gugup dan juga gusar.
“Aku harap malam ini dia ngggak pulang seperti malam sebelumnya. Biar pekerjaanku selesai dulu. Setelahnya, terserah mau bagaimana,” gumamnya.
Beberapa kali Eve menguap dengan mulut terbuka lebar dan sampai mengeluarkan ari mata. Ternyata, meski perasaannya sedang bahagia, tubuhnya tetap mengirim sinyal lelah dan juga mengantuk. Eve berusaha menghalau dan bertahan dari serangan ini.
Eve menatap temnpat tidur di kamar utama. Luas dan terlihat sangat nyaman. Seperti memanggil untuk disentuh. Perlahan kakinya mendekat, lalu tangannya mengusap permukaan tempat tidur itu.
“Orang kaya, kasurnya saja sudah beda,” ucapnya. “Nyaman dan empuk sekali. Kalau tidur di sini, pasti jadi susah bangun saking enaknya.”
Awalnya penasaran dan hanya ingin menyentuh, kini timbul perasaan ingin tahu bagaimana rasanya berbaring di sana. Dengan perasaan ragu dan juga gugup, Eve mulai berani duduk di pinggir kasur.
“Cuma coba sebentar, rasanya nggak akan masalah.”
Eve lantas semakin melewati batas. Wanita itu tidak hanya duduk, tapi juga berbaring di tempat tidur milik pria asing yang sama sekali tidak ia kenal. Bahkan nama dan wujudnya, tidak pernah ia tahu.
“Rasanya nyaman sekali. Hangat dan empuk,” ucapnya senang. “Kapan aku jadi orang kaya, biar bisa punya tempat tidur senyaman ini?”
Kedua mata Eve memandang langit-langit kamar. Pikirannya tertuju pada si pemilik tempat ini.
“Kenapa ya, bibi nggak pernah kasih tahu siapa nama pemilik apartemen ini. Bahkan fotonya saja nggak ada. Apa mungkin orang ini sudah tua?” gumamnya penasaran. Tidak lama, ia menggeleng cepat. “Tapi malam itu, aku dengar suaranya masih cukup berat dan tegas. Bukan tipe akik-akik tua renta. Jadi sudah pasti dugaanku salah.”