3. Merasa Tidak Asing

1701 Words
Sore harinya. "Mommy, kita akan ke mana?" Axel yang baru naik ke dalam mobil tidak bisa menahan rasa penasaran setelah sebelumnya Hanna berkata akan mengajak mereka ke suatu tempat. "Kita ...." Saat Hanna mau bicara tiba-tiba mulutnya kembali terkatup saat menyadari Axel datang tanpa Alex. "Di mana Alex?" "Alex ...." "Mommy, di sini!" Tepat saat itu pintu mobil di sisi yang lain terbuka dengan menampakkan Alex yang muncul di sana. "Cepat duduk, dan jangan lupa pasang sabuk pengaman. Kita akan mengunjungi kakek dan nenek." "Kakek? Nenek?" Alex dan Axel saling memandang. "Ya. Apa kalian masih ingat posisi kuburan kakek dan nenek?" "Emm ... Axel lupa." "Alex ... masih ingat." "Benarkah? Alex masih ingat?" Hanna menoleh ke belakang. "Jika begitu, nanti setelah sampai di tempat pemakaman. Alex yang pimpin jalan. Bagaimana?" Hanna sengaja meminta Alex untuk menunjukkan jalan jika benar putranya itu masih mengingatnya. Bukan berarti Hanna lupa di mana makam kedua orang tuanya, tapi lebih ingin menekankan pada kedua anaknya agar selalu mengingat di mana makam kakek nenek mereka. Setelah menempuh setengah jam perjalanan mereka pun sampai. Hanna turun dari mobil sambil membawa dua buket bunga. Alex memimpin jalan. Namun dia terlihat bingung saat sampai di sebuah persimpangan. Axel bertanya, "Alex, kamu sungguh masih ingat kuburan kakek dan nenek?" Pertanyaan tersebut membuat Alex semakin ragu. Dia menoleh ke belakang mencari Hanna, tetapi sang mommy hanya menaikkan kedua alisnya. "Alex?" Dia menunggu putranya menunjukkan jalan. Alex berdehem dengan wajah yang sedikit memerah. "Emn, itu ... Alex tidak menyangka sudah banyak yang berubah setelah tiga tahun. Alex sedikit bingung." Axel mendengus, "Huh! Bilang saja kamu juga lupa. Sama seperti ku." "Aku tidak lupa. Hanya ... Sedikit bingung." "Itu sama." "Tidak sama." "Sudah sudah. Jangan bertengkar!" Hanna segera melerai saat melihat keributan kedua putranya. Dia mulai memperhatikan persimpangan di depan yang memang cukup berubah dengan penampakan tiga tahun lalu. "Lewat sini!" serunya cukup yakin sambil mulai melangkah. Tidak mengherankan jika Alex bingung karena Hanna hanya dua kali mengajak mereka mengunjungi makam kakek neneknya. Pertama saat usia mereka dua tahun dan yang kedua saat usia mereka tiga setengah tahun. Bisa dikatakan hampir tiga tahun sejak terakhir kali mereka datang. Sudah cukup melebihi ekspektasi Hanna saat Alex mengingat beberapa blok pertama menuju makam kakek neneknya yang memang berada di area paling dalam. "Kita akan sampai!" Alex dan Axel sepertinya mulai familiar ketika mereka berada cukup dekat dengan posisi makam. Keduanya berlari, seperti ingin menunjukkan pada Hanna jika mereka benar-benar masih mengingat tempat kakek neneknya. "Mommy! Yang ini, kan?" Keduanya berusaha membaca nama yang tertulis di dua nisan tersebut. Bramantyo dan Yuliana. Hanna terkesan karena Alex dan Axel masih mengingat kakek neneknya. Namun, Hanna salah fokus dengan buket bunga yang ada di depan batu nisan. "Siapa yang datang mengunjungi ayah dan ibu? Mungkinkah ...." Rianti dan Bella adalah dua sosok yang langsung terbesit dalam kepala Hanna saat memikirkan siapa yang datang membawa buket bunga. Mereka adalah ibu dan saudara tirinya. Ya. Hanna memiliki ibu dan saudara tiri. Ayah Hanna menikah lagi dengan Rianti yang membawa Bella, yang merupakan anak dari pernikahan sebelumnya setelah ibu Hanna meninggal. "Alex, Axel, beri salam pada kakek dan nenek." Hanna tidak mau banyak berpikir. Tidak peduli siapa yang sudah datang membawa bunga. Tujuannya datang adalah mengunjungi ayah ibunya, serta mengingatkan putra-putranya dengan kakek nenek mereka. "Kakek, Nenek, kami datang mengunjungi kalian." Tanpa menunggu waktu yang lama, Alex dan Axel menghadap dua nisan lalu menundukkan kepala selayaknya sedang mengheningkan cipta. Hanna menaruh buket bunga di masing-masing nisan. Tak lupa juga menyapa mereka, berdoa, dan membersihkan area tersebut. "Maaf Ayah! Maaf Ibu! Hanna baru memiliki kesempatan untuk datang mengunjungi kalian." Hanna cukup menyesal ketika memikirkan sedikitnya kesempatan untuk mengunjungi Bram dan Yuli, terlebih setelah dirinya pergi meninggalkan kota. Sungguh, sebenarnya selalu ada niat untuk datang. Hanya saja Hanna terlalu mengkhawatirkan masa lalunya yang mana itu adalah ketakutannya sendiri. Hanna seharusnya sadar semua sudah berlalu. Terlebih Adam juga terlihat sudah menemukan pengganti untuknya. Tidak ada alasan untuk terjebak dalam lingkaran masa lalu yang sejatinya sama sekali tidak bermanfaat baginya. ... Dari jam empat sampai jam lima sore. Setidaknya itu adalah waktu yang cukup lama bagi Hanna dan kedua putranya berada di sana. Hanna melihat langit yang perlahan mulai berubah warna menjadi merah kekuningan. Dia merasa sudah waktunya untuk pulang. "Alex, Axel, ayo pulang!" Alex dan Axel tidak langsung mengikuti Hanna. Mereka masih bergeming di depan makam kakek neneknya dengan mulut yang tampak bergumam. "Kakek, Nenek! Kalian beristirahatlah dengan tenang. Jangan mengkhawatirkan Mommy karena kami akan melindungi Mommy." "Benar. Kakek Nenek yang tenang di alam sana. Kami berjanji tidak merepotkan Mommy." "Kami juga berjanji tidak akan mengeluh jika masakan Mommy tidak enak." "Benar. Kami tetap akan memakannya meski sedikit asin." Hanna yang sempat terharu dengan apa yang disampaikan kedua putranya langsung berwajah suram begitu mendengar kalimat terakhir yang mereka ucapkan. Dia sadar diri tentang kemampuan memasaknya yang payah. Namun tidakkah keterlaluan membicarakan hal itu di sini? "Alex! Axel! Ayo, cepat! Mommy akan tinggal jika kalian masih di sana." Axel mengangkat wajahnya. Dia berlari cepat dengan kaki pendeknya sambil memanggil Alex yang ada di belakang. "Cepat Alex! Jangan sampai ketinggalan atau kamu harus pulang jalan kaki." Alex pun mempercepat langkahnya. Namun apa daya kakinya yang pendek membuatnya cukup kesulitan saat mengejar Axel yang sudah jauh di depan. Hanna tak berhenti tertawa saat melihat kedua anaknya yang lari tergopoh-gopoh seolah dirinya benar akan meninggalkan mereka. "Kalian lelah?" Hanna bertanya begitu Alex dan Axel sampai. Nafas mereka masih terlihat ngos-ngosan. Wajah kecil mereka juga tampak memerah. "Mommy akan mampir untuk membeli cookies. Kalian mau?" Mata Axel langsung berbinar mendengar apa yang dikatakan Hanna. "Mommy, cookies? Mau mau! Axel mau." "Alex? Kamu tidak?" "Emm ... Alex lebih suka mochi." "Boleh. Mommy tahu tempat yang menjual cookies dan mochi yang enak." "Yeay asyik! Makan cookies!" Axel berseru dan segera naik ke mobil. Begitu pula dengan Alex. Mereka naik, kemudian Hanna menjalankan mobil menuju bakery. Saat mobil masuki halaman tempat parkir, Alex dan Axel tak sabar untuk turun. Mata mereka terus tertuju pada poster besar yang ada di dekat pintu masuk. Aneka ragam cookies serta mochi yang lezat dengan berbagai isiannya. "Axel, liur mu menetes." Axel lantas mengusap sudut bibirnya tetapi tidak menemukan apapun. Wajahnya tampak kesal. "Enak saja. Itu kamu. Kamu yang ngiler." "Hehe ...." Alex tak menggubris ucapan Axel dan mengikuti Hanna masuk ke dalam untuk mencari tempat duduk. Axel menyusul. Dia sangat bersemangat saat menatap banyak sekali cookies yang terpampang di etalase kaca. Saking bersemangatnya sampai tiba-tiba Axel merasa ingin buang air kecil. "Mommy, ...." Dia melambaikan tangan lalu berbisik dengan suara lirih. Hanna mengerutkan keningnya. "Sepertinya toilet ada di sebelah sana. Perlu Mommy temani?" Axel memandang ke tempat toilet berada. Dia langsung melompat turun dari tempat duduknya. "Tidak, itu tidak perlu. Axel bukan lagi anak usia lima tahun yang masih perlu diantar untuk ke kamar mandi. Mommy tetap di sini bersama Alex." "Ok, hati-hati di sana. Tetap perhatikan lantainya saat berjalan." Hanna beralih pada Alex. "Ingin rasa apa?" Alex terlihat menatap daftar menu yang ada di meja. "Mommy di sini saja, Alex yang pergi memesan." Setelah berkata Alex, turun dari kursi yang tingginya setara dengan pinggangnya. Dia berjalan dengan membawa satu lembar menu es krim. Hanna melihat dari tempat duduk. Sungguh tidak tahu ingin berkata apa. Sifat kedua putranya ini terlalu mandiri dari anak seusianya. Mereka seperti sudah mampu hidup sendiri tanpa bantuannya. Haih... ___ Sementara itu di toilet, Axel yang sudah selesai ingin langsung kembali karena tak sabar menikmati cookies. Dia berlari sedikit terburu-buru dan lupa dengan peringatan Hanna agar lebih berhati-hati. Terdapat tanda lantai basah di dekat pintu. Axel berlari tanpa menyadarinya. Tak ayal ketika kakinya menginjak bagian lantai yang basah, dia terpeleset. "Aarh ...." Axel hampir jatuh tengkurap seperti katak. Beruntung seseorang menahan tubuhnya yang tergelincir. Tapi tetap saja hal itu membuat mereka jatuh bersama. "Tuan?!" Dua orang berpakaian hitam menarik Axel untuk berdiri dan bertanya dengan khawatir pada sosok pria yang jatuh. "Anak kecil, kenapa kau berlarian di sini?" Pria berwajah galak yang ada di samping menatap Axel. Axel sedikit takut dengan ekspresinya. Namun pria yang baru saja menolongnya segera menghentikan pria berwajah galak. "Kita pergi, Luke!" Adam Wijaya, dia menatap anak kecil yang menabrak dan membuatnya terjatuh. Namun hanya sesaat karena sejurus kemudian dia melambaikan tangan pada asistennya, Luke. "Ayo pergi." Luke yang ingin menasehati anak kecil itu segera mengurungkan niatnya. Dia mengikuti sang tuan bersama dua bodyguard lainnya pergi dari sana. Mata bulat Axel menatap Adam. "Paman itu bukan hanya tampan. Tapi juga dijaga oleh dua pengawal. Ketika besar nanti aku juga akan mempekerjakan banyak orang untuk melindungi kami bertiga." Dalam persepsi Axel itu adalah suatu yang luar biasa. Ah... Axel menepuk keningnya pelan sesaat tersadar dari lamunan. "Mommy pasti sudah menunggu. Aku harus segera kembali." Sebenarnya Axel lebih tidak rela melewatkan cookies nya. Jadi segera kembali agar bagiannya tidak dihabiskan oleh Alex. Tidak akan. Ia tidak akan pernah membiarkannya. ... Kembali ke tempat Alex. Setelah mengantri beberapa waktu akhirnya sekarang adalah gilirannya. Alex berjinjit meletakkan kartu pesanan di atas etalase. Entah siapa yang menciptakan tempat pemesanan seperti itu. Sungguh tidak ramah untuk orang pendek sepertinya. Kakak cantik yang berdiri di balik etalase mengerutkan kening melihat tangan mungil yang berusaha meletakkan kartu pesanan. Dia mendekat ke etalase dan menjulurkan lehernya melihat Alex, di bawah. "Adik kecil, kau membutuhkan bantuan?" Alex mendorong kartu pesanan dengan ujung telunjuknya. "Dua paket cookies spesial, dan satu paket mochi." Kakak cantik mengambil kartu pesanan. "Dua paket cookies spesial, dan satu paket mochi. Baik!" "Bagaimana dengan isian mochinya?" tanya kakak cantik setelah membuat tiga pesanan es krim. "Apapun boleh yang penting jangan kacang." "Apapun boleh yang penting jangan kacang." Kalimat yang sama dikatakan di waktu yang sama pula. Tepatnya meja pemesanan nomor tiga, Adam meletakkan kartu pesanannya di atas etalase. "Apa ada tambahan lain, Tuan?" "Tidak ada," Luke sejak tadi berdiri di belakang sang tuan. Dia tampak memandangi ponselnya dan ekspresi wajahnya terus berubah. "Tuan, Ibu Anda kembali mengirim pesan. Meminta Anda pergi menjemput Nona Angel." Adam menghembuskan nafas kasar. "Hubungi Angel. Minta dia pesan taksi untuk pulang ke apartement nya." "Tapi Tuan ...." "Kurang jelas?" Tatapan Adam membuat tubuh Luke bergetar. "Ba-baik Tuan." Adam menerima pesanannya. Dia mengeluarkan uang, tetapi pada saat yang sama kepalanya memikirkan tentang anak kecil tadi yang menabraknya di toilet. "Anak itu ...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD