Rudi memastikan lagi alamat yang ada di ponsel dengan rumah yang berada di sebelah kiri mobilnya sebelum ia turun.
Rumah itu tidak terlalu besar. Pekarangan rumahnya kecil, mungkin hanya cukup menampung satu mobil namun nampak indah karena ditumbuhi rumput dan tanaman hias yang ditanam di tanah langsung.
Mengetuk beberapa kali pintu kayu rumah itu. Terdengar seseorang menyahuti dari dalam lalu pintu terbuka.
"Ia? Cari siapa?" Seorang perempuan dengan rambut sebahu menyembulkan kepala dari balik pintu yang dibuka hanya sedikit.
"Benar ini rumah Julian?"
"Iya betul. Saya adiknya. Tapi Bang Julian lagi nggak ada di rumah."
Tersenyum maklum akan ketidaktahuan wanita muda di hadapannya, "Saya Rudi, pengacara Pak Wiratama. Saya ke sini mau memberi kabar tentang kasus hukum yang melibatkan Kakak kamu."
"Kasus- hukum?" Ragu takut ia salah mendengar.
"Iya betul. Bisa kita bicara sambil duduk? Supaya bisa saya jelaskan lebih detail."
"Oh, maaf, silahkan duduk Pak."Mereka duduk di kursi yang ada di teras depan. Rudi menolak ketika ditawari minum.
"Jadi, beberapa hari yang lalu, Julian melakukan tindak pelecehan seksual terhadap putri Pak Wiratama. Saat ini, Julian berada di kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut terkait kasusnya."
Menggeleng tak percaya, "nggak mungkin Pak. Maksud Bapak Kakak saya melecehkan Lita? Anak Pak Wiratama yang bahkan selalu menghina Kakak saya itu?"
"Kenyataannya memang seperti itu. Kakak kamu melakukan pelecehan dan dia sudah mengakui perbuatannya."
"Tidak masuk akal. Kakak saya bukan laki-laki b***t seperti itu. Pasti Lita yang memaksa Bang Julian atau merekayasa kejadian ini!"
"Saat kejadian itu putri Pak Wiratama sedang di bawah pengaruh minuman beralkohol jadi menurut keterangannya ia tidak sepenuhnya sadar atas perlakuan Julian padanya."
"Saya tetap tidak percaya. Saya tahu betul bagaimana sifat kakak saya. Dia nggak mungkin melakukan hal sejahat itu pada perempuan ..."
"Melakukan apa Kak?"
Seorang remaja perempuan dengan seragam putih abu-abu menatap bingung kepada kakak perempuannya dan Rudi.
"Kamu udah pulang Yul? Sana masuk ganti baju-"
"Aku tanya, Bang julian kenapa? Kakak jangan nutupin apapun dari aku ya." Menoleh pada tamu yang tak dia kenal, "Abang saya kenapa Pak?"
"Julian sa-"
"Biar Kakak aja yang jelasin ya, Yul. Kamu masuk dulu nanti Kakak susul."
Meski enggan akhirnya Yuli, adik bungsu Julian masuk ke dalam rumah. Duduk di kursi depan televisi seraya menunggu kakaknya masuk.
"Tamunya udah pulang Kak?"
Putri mengangguk lemah lalu melangkah dan duduk di sebelah adiknya.
"Sebenarnya orang itu siapa Kak? Tadi aku denger sekilas kalau Bang Julian melakukan hal jahat. Hal jahat apa Kak?"
Menatap tangan mereka yang saling menggenggam, Putri harap adiknya yang kini baru masuk SMA bisa kuat mendengar berita tentang Abang yang sangat mereka sayangi.
"Orang itu ... pengacara keluarga Pak Wiratama Dek. Dia ke sini mau ngasih tahu kita kalau- Bang Julian ada di kantor polisi." Jelas Putri dengan gugup.
"Kantor polisi? Bukannya Abang kerja Kak? Waktu itu kan, Bang Julian pamit mau ikut Pak Wiratama ketemu klien di luar kota."
Seingat Yuli memang sang kakak laki-laki pamit untuk ikut pergi ke luar kota mendampingi Pak Wiratama seperti biasa.
"Iya, Kakak juga nggak tahu pasti Yul. Tapi pengacara tadi bilang kalau Bang Julian melakukan pelecehan ke Lita beberapa hari lalu dan sek-"
"Nggak mungkin Kak!" Potong Yuli cepat. "Bang Ian nggak mungkin kaya gitu sama perempuan, apalagi sama Lita." Ujarnya yakin.
Dengan mata yang berkaca-kaca Putri mengangguk, "Kakak juga belum bisa percaya Yul. Tapi sekarang Abang ada di kantor polisi."
"Yaudah, kalau gitu kita jemput Abang. Yuli yakin Abang nggak salah Kak."
Tersenyum sendu, tak ada jawaban lain selain mengangguk lalu ikut bersiap untuk menemui sang kakak yang ada di kantor polisi.
*.*.*.
Lagi-lagi seorang polisi mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. Dalam hati ia terus merapal doa agar bukan kedua adiknya yang datang kali ini. Lebih baik ia kembali bertemu Pak Wiratama yang akan memukulnya hingga babak belur lagi daripada bertemu dengan adik-adiknya.
Namun di sanalah mereka. Putri yang matanya sudah memerah dan Yuliana yang memandangnya tajam. Tetapi Julian tahu dibalik tatapan tajam itu, ada kesedihan yang tak terbendung ketika melihat ia datang mendekat dengan menggunakan baju tahanan juga wajah membiru yang belum sepenuhnya sembuh.
"Abang!" Putri menubruk dan memeluk erat tubuh Julian. Isakan kecil lolos begitu saja saat di rasa sang abang balas memeluk.
Setelah pelukan mereka terlepas, dengan berat hati Lelaki itu tersenyum kepada si bungsu yang hanya menatap kedua kakaknya dengan air mata yang sudah meleleh.
"Maaf Yul," ucap Julian saat bisa memeluk Yuliana. "Maafin Abang ya Dek." Lalu isakan Julian tak dapat ditahan kembali. Mereka bertiga berpelukan dalam kesedihan, menangisi takdir yang membawa mereka berada di titik ini.
*.*.*.
"Wajah Bang Ian jadi aneh. Badan abang juga kurusan, padahal, kita baru sebentar nggak ketemu."
Lelaki dua puluh tujuh tahun itu tersenyum sendu. Kondisinya saat ini sangat tak baik-baik saja tapi memikirkan kondisi adik-adiknya yang harus terpisah darinya makin membuat buruk.
"Maafin Abang ya, Dek. Bang Ian buat kalian sedih karena kesalahan Abang.”
"Tapi Lita juga salah Bang, dia konsumsi alkohol sampai mabuk lalu maksa Abang buat melakukan itu. Harusnya Abang jujur sama penyidik dan Pak wiratama kalau abang nggak sepenuhnya salah. Bukan malah pasrah begini.”
Menggeleng lesu, “tidak semudah itu Put, dari segi manapun Abang tetap salah karena kondisi abang yang sadar saat kejadian. Lagi pula, yang melaporkan Abang Pak Wiratama sendiri. Beliau pasti kecewa berat sama Abang.”
“Terus kita harus bagaimana Bang? Kita nggak bisa bayar pengacara buat bela Bang Ian. Sedangkan Lita dan keluarganya punya kuasa dan juga kemampuan buat menangin kasus ini.”
“Nggak ada yang harus dibela, Put. Abang memang salah, Abang bakal berusaha menjalani dan menerima apapun keputusan kasus ini.” Menggenggam tangan Putri dan Yuli dengan kedua belah tangannya, Julian lalu meminta, “apapun yang terjadi nanti, Abang minta kalian harus kuat, kalian harus bisa jaga diri baik-baik di luar sana. Untuk masalah biaya jangan dipikirin, Abang masih punya tabungan yang bisa kalian pakai. Dan yang paling penting Abang minta sama kalian ... tolong jangan benci sama Abang.”
Putri dan Yuliana kembali menangis mendengar permintaan abang mereka. Julian pun tak kalah sedih dari kedua adiknya, hanya saja lelaki itu berusaha untuk menahan tangis karena polisi sudah mengingatkan bahwa jam besuk sudah berakhir. Itu tandanya ia harus berpisah dengan adiknya dan kembali mendekam di ruang sempit bersama beberapa orang lain di dalamnya.
*.*.*.*.
To Be Continue~