Pilihan

1815 Words
Bik Ina seketika mengelus dadanya ketika pasangan suami istri itu sampai ke dalam rumah. Teresa berjalan cepat menaiki tangga, sedangkan Elang mencoba mengejar untuk menjelaskan sesuatu. Ini kali pertama setelah mereka menikah ribut seperti ini. Bik Ina yang menyaksikan semua itu tidak berani berucap atau bergerak dari posisinya, di depan dapur. Mereka berbeda seperti beberapa bulan yang lalu, terlihat begitu mesra bahkan membuat bik Ina merasakan jiwa mudahnya kembali lagi. Teresa dan Elang selalu mesra di mana saja. Bahkan di dapur tak luput menjadi tempat romantis mereka berdua, Elang tak pernah melepaskan satu kesempatan pun untuk membelai istrinya yang masih muda itu. Namun, apa sekarang yang terjadi? Teresa terlihat begitu kesal bahkan tanpa menyapanya saat melewatinya tadi. Tak lama berselang, saat bik Ina memantau ke kamar lantai atas. Tiba-tiba ada suara telepon dari ruang tengah. Wanita berusia empat puluh tahun itu segera bergegas mengangkat telepon. Suara yang tidak asing menyapanya. Yaitu Dera, Ibu Elang. "Bik, apa Elang sama Tere ada di rumah?" "Iya, Nyonya." "Ku telepon dari tadi kenapa nggak aktif ya?" "Saya nggak tau, Nya. Tapi ... mereka berdua baru saja datang dari luar," balas Bik Ina. "Mereka baru datang?" Bik Ina mengangguk. "Iya Nyonya." "Oke, sekarang  aku minta tolong bisa, Bik?" ____ "Tolong bilang sama mereka buat angkat telepon dariku." "Iya, Nyonya, tapi ....." "Bik, Mereka nggak sedang ada masalah, kan?" "Sepertinya tidak." Bik Ina berbohong sebab tidak ingin membuat nyonya yang telah memberinya kepercayaan untuk menjaga Elang sejak kecil merasa khawatir. "Baguslah, habis ini kamu langsung aja ya, kasih tau mereka. Aku nunggu." "Iya Nyonya." Setelah menutup telepon Bik Ina meremas jari-jarinya gelisah. Sambil terus saja menatap ke atas, arah kamar Elang dan Teresa. Ia merasa ragu sebab, situasi sedang tidak baik kini. "Maksud kamu apa, Re. Aku biarin kamu nongkrong sama temen-teman kamu, bahkan ada mantan pacarmu juga di sana. Aku marah? Nggak kan?" "Bahkan kamu pulang nggak mau sama aku, maksudnya apa? Apa yang pengen kamu tunjukkin." Teresa memalingkan wajah sambil melipat tangan di depan d**a. Begitu enggan menatap Elang saat ini. "Dengerin aku, Re. Akhir-akhir ini aku stress banget, masalah kerjaan belum lagi masalah kembalinya Keyla. Tere, please ... tolong bersabarlah. Aku cuma cinta sama kamu, bukan Keyla." "Kamu cinta sama aku, tapi tiap hari sama Kak Keyla ya sama aja, Mas!" jawab Tere ketus. "Kata-kata cinta nggak ada gunanya sama sekali, paham?" Teresa menatap wajah Elang begitu serius sebelum kemudian memalingkan muka lagi. "Kan aku udah jelasin, Re. Kalau aku ke apartemen cuma khawatir sama bayi yang ada di dalam kandungan Keyla. Ibunya yang salah, kita nggak seharusnya menghukum anaknya, dia anakku, butuh perhatianku." Elang menjambak rambut sendiri terlihat putus asa. Sudah berulangkali menjelaskan pada Tere, tapi tampak istrinya itu sama sekali tidak mengerti. Entah dengan cara apa lagi membuat Teresa paham, apa artinya tanggung jawab. "Oke, kalau masalah itu aku ngerti, Mas. Karena aku sendiri juga terlahir seperti anak yang di dalam kandungan kak Keyla. Aku tau, gimana rasanya di posisi dia. Tapi ... apa harus selalu ada di sampingnya seperti itu? Kamu nggak mikirin perasaanku gimana, ditinggalkan ke rumah cewek lain yang lagi hamil anak dia?" Duduk di sofa Teresa menegakkan wajah menahan air mata yang akan tumpah. "Perlu kamu tahu, Mas, aku juga butuh perhatian, aku juga sedang--" Teresa menghentikan kalimatnya. Dia tidak akan menangis. Karena dia bukanlah tipe wanita yang cengeng. Kamu kuat Re. Pasti bisa. Kata-kata penyemangat itu selalu datang dari dalam hati ketika bersedih. Ia memang terlahir dari seorang yang tidak inginkan. Tapi kenapa harus dia yang mendapatkan balasan seperti ini. "Aku minta maaf, Re. Tapi kamu harus tahu, sifat Keyla sama sekali nggak nunjukin kedewasaan. Dia selalu ngancam mau jatuhin diri dan buat anak dalam kandungannya meninggal. Hanya ini yang bisa kulakukan, Re. Kumohon mengertilah, bantu aku keluar dari situasi ini." Tatapan Elang nanar. Teresa mendongak ke atas menahan sesaknya dalam dadaa. Semua teramat menyiksa, sampai kapan pun Keyla jadi prioritas entah dalam keluarganya mau pun sekarang bagi Elang. "Kamu nggak akan selesaikan ini kalau kamu masih aja kayak gini, Mas." Kemudian menoleh menatap Elang dengan tajam dengan seluruh keberanian yang ada. "Sekarang aku mau tanya, sebenarnya apa yang kamu inginkan, Mas? Jawab aja jujur, aku siap dengerin apa pun mau kamu." Anggap saja Teresa memberi kesempatan terakhir untuk Elang mengutarakan keinginannya. Elang yang berdiri mengayunkan kaki. Terdengar suara helaan napas berat ketika lelaki itu duduk di samping Teresa. Telapak tangan hangatnya meraih jari-jemari Teresa tatapan matanya dalam seolah memenjarakan Teresa di dalam sana. "Aku mau kita tetap sama-sama, Re. Sampai kapan pun. Aku sayang banget sama kamu." Mengusap rambut Teresa, membelai dengan lembut. "Setelah anak itu lahir, aku akan mengambilnya lalu kita rawat sama-sama. Dengan begitu Keyla nggak akan bisa ngancem- ngancem aku lagi." "Terus tentang perasaan Kak Keyla?" Teresa membalik perkataan Elang, yang kini membuat lelaki itu bergeming. "Nggak bisa jawab, kan?" "Kita nggak bisa tutup mata buat kebahagiaan sendiri mengabaikan kesedihan orang, Mas. Aku tahu gimana rasanya hidup berpisah dengan orang yang telah mengandung kita. Benar ... kalau Papi dan Mami juga menyayangi aku. Tapi tentu nggak bisa disama ratakan seperti ke kak Keyla, Mas. Aku masih kangen sesosok Ibuku yang sudah melahirkanku. Dan kamu berencana mau pisahkan anak dan ibunya?" Akhirnya air mata yang dia tahan-tahan sejak tadi jatuh juga. Teresa segera dengan cepat mengusap air matanya, sebelum merembes ke mana-mana. Elang seolah merasakan apa yang dirasakan Teresa, ia tidak tahan melihat perempuan yang begitu dicintai itu menangis. "Semua ini salahku, Re. Maaf, tapi dengan cara inilah kita bisa melanjutkan kehidupan kita. Maka kita harus mengorbankan satu orang demi kita semua." "Kamu harus pilih salah satu, Mas. Aku atau kak Keyla? Kalau kamu mau dua-duanya maaf, aku nggak bisa. Aku lebih baik hidup sendirian. Kalau kamu memilih aku, tentunya juga harus tinggalkan kak Keyla. Aku egois, memang iya, tapi ... harus kamu tahu, Mas, aku juga pengen hidup bahagia tanpa gangguan siapa pun." Elang meraup wajahnya sendiri putus asa. "Gimana bisa kamu ngomong seperti itu, Re. Bayi itu butuh aku dia sedang lemah di dalam kandungan itu." Intinya Elang memilih Keyla dan bayinya, kan? Teresa hanya menyeringai sambil melirik sekilas ke arah Elang dengan ekor matanya. "Sudah jelaskan, semua? Kamu pasti pilih kak Keyla." Elang membalik tubuh Tere dengan tiba-tiba. Teresa membulatkan mata ketika bibir Elang menyapu bibirnya tidak memberi kesempatan untuknya bicara walau hanya menolak. Ia berusaha menggelengkan kepala saat Elang terus saja menindihnya hingga pasokan oksigen dalam rongga dadanya hampir habis. "Jangan katakan seperti itu, karena aku nggak akan pilih Keyla. Kamu adalah wanita satu-satunya yang kucintai." Kemudian melabuhkan kembali bibirnya dengan gerakan lembut yang semakin lama semakin menuntut. Tangan Teresa meremas bahu Elang sebagai perlawanan. Akan tetapi lelaki itu terus saja berkuasa di atasnya. Tak memberi celah sedikit saja. Elang mengakhiri saat Teresa tersengal menghirup oksigen sebanyak-banyaknya untuk menstabilkan pernafasannya. Seringai tipis terukir seiring dengan jemarinya mengusap lembut bibirnya sendiri yang basah. Seakan puas dengan apa yang telah dilakukan pada istrinya itu. "Kamu brengseek, Mas. Aku nggak suka sama caramu seperti ini," ucap Teresa mulai bernapas normal. "Aku nggak akan lakukan ini, kalau kamu mau diam dan dengerin aku." Meraih satu tangan Teresa. Kemudian meletakkan di atas telapak tangannya. "Re, tolong ngertiin aku. Kita akan rawat anak Keyla sama-sama. Kamu mau, kan?" Tatapan Elang begitu dalam penuh permohonan. Namun dengan cepat Teresa menarik tangannya. "Kalau kamu punya keinginan kayak gitu, aku juga punya keinginan, Mas. Aku mau kamu ninggalin mereka, Keyla dan bayinya. Kalau perlu kita pergi pindah tempat lupain semua, kita mulai hidup baru. Di desa pun aku nggak masalah, Mas." Elang menggeleng. "Pilihan yang kamu berikan sulit, Re. Butuh risiko kalau aku pergi gitu aja pindah tempat. Papa sudah mulai sakit-sakitan, dan mama, dia gimana kalau tau, aku nggak tanggung jawab sama anak yang dikandung sama Keyla?" Elang memijat pangkal hidungnya. Memejamkan mata beberapa saat. "Jadi intinya kita sama-sama nggak mau saling ngalah keinginan masing-masing, Mas. Baik," ucap Tere menggantung. Saat terdengar suara ketukan pintu. "Ada apa, Bik?" tanya Elang setelah membukakan pintu. "Itu, Pak, hemm, Nyonya tadi telepon. Mengatakan kalau meminta Bapak atau neng Teresa mengangkat teleponnya." Teresa duduk di sofa terlihat mengerutkan alis. Bertanya-tanya ada apa dengan mertuanya itu. Tidak biasanya menelepon begitu penting seperti ini. Teresa mengambil ponselnya yang sedari tadi masih di dalam tas. Benar adanya, ternyata mati. Ia duduk di tepi ranjang memasang charger pada ponselnya sambil menghidupkan. Belum ada sepuluh menit ia menghidupkan ponsel. Panggilan dari mama Dera langsung masuk. Dengan kedua alis mengerut penasaran. Kemudian ia menggeser layar ponselnya tersambung dengan panggilan. "Iya, Ma?" Menatap Elang yang berdiri tak jauh darinya memperhatikan. "Re, ditelepon mama dari tadi kenapa nggak aktif?" "Iya, Ma, maaf, hp Tere lowbat tadi. Kenapa mama nelepon?" "Ada hal penting yang mama pengen bicarakan sama kalian sebenarnya, Re. Tapi ... kalau kalian sibuk ya nggak papa, lain kali aja." Teresa penasaran sebenarnya apa yang ingin dikatakan oleh ibu mertuanya itu. Kenapa terdengar begitu penting. Elang terus saja berdiri memperhatikan Teresa. Dengan celana hitam dan kemeja digulung sampai ke siku lelaki tinggi itu ingin mendengar apa yang dibicarakan oleh mamanya. "Atau nggak, gini aja, Re. Kalau kalian ada di rumah. Biarkan mama aja yang ke sana, gimana?" Teresa mengangguk. "Bisa aja sih, Ma. Tapi Mas Elang nggak bisa diprediksi kapan di rumah atau enggaknya." Teresa melirik ke arah Elang berniat menyindir. "Terus, Elangnya kapan di rumah?" "Sekarang, Ma. Dia ada di sini," jawab Teresa. "Tapi nggak tau satu jam kemudian." "Oh, kalau gitu biar mama sekarang aja ke sana. Kalian jangan ke mana-mana. Mama mau minta tolong mang Soni buat antara. Udah ditutup dulu ya, teleponnya. Sampai ketemu nanti di rumah kalian." Teresa mendesah melihat Elang sibuk dengan ponselnya. Benar-benar sama sekali tidak menghargai dirinya sebagai istri. Pasti itu sedang mendapat pesan dari Keyla. "Mama sebentar lagi akan datang, Mas. Aku mau kamu jujur sama dia, tentang kehamilan Keyla. Dia juga harus tau gimana hubungan kita. Aku juga mau minta pendapat tentang perceraian kita." "Kamu jangan seperti ini, Re!" "Terus, kamu mau aku gimana lagi?" tanya Teresa balik. "Kamu nggak mau ngikutin permintaanku, Mas. Kenapa aku harus ngikutin kamu." "Karena aku adalah suamimu!" Suara Elang naik satu oktaf. Memekik hingga memenuhi gendang telinga Tere. "Walaupun kamu suamiku, aku juga berhak sampai kan pendapat, Mas. Kamu mau terus perhatiin anak itu. Bukan tidak mungkin kalau kamu juga bakalan nikahin kak Keyla demi dia juga. Buat sekarang mungkin kamu bilang nggak akan, tapi ... ke depannya siapa yang tahu?" Bik Ina yang mendengar pertengkaran mereka berdua mengeluarkan air mata. Sambil berdoa dalam hati, berharap kalau salah satu dari mereka ada yang mengalah. "Kenapa kamu suka beranggapan sendiri, kalau aku bilang nggak akan ya nggak mungkin!" Suara Elang terdengar sampai ke luar kamar. Bik Ina pergi meninggalkan kamar yang dipenuhi dengan emosi yang meluap-luap itu. "Pisah sama aku, atau kamu milih hidup sama aku tapi tinggalin semua, kak Keyla dan bayinya salah satunya?" Elang diam sambil terus saja memijat pangkal hidung. Memikirkan keputusan yang akan dia ambil. Keputusan yang akan menentukan hidupnya mendatang. -TBC-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD