KETIKA mata memandang maka saat itulah hasrat dimulai. Apa yang terlihat di mata menjadi syarat awal ketertarikan. Hal yang lainnya menyusul kemudian.
Sentuhan ringan berkesan tidak sengaja serta takut-takut adalah kelanjutan dari ketertarikan itu. Rajputana sebagai laki-laki menjadi agresif lebih cepat dan pembawaannya adalah untuk memegang kendali. Jubah beledunya jatuh ke lantai dan ia mendekap erat Anuradha yang sejengkal saja dari tubuhnya.
Tidak ada percakapan malu-malu seperti sebelumnya. Yang dilakukan oleh mulut adalah mengeluarkan ekspresi kepasrahan dan ingin mengecap rasa masing-masing. Bibir saling menangkup. Indra pengecap Rajputana masuk menyusuri geligi Anuradha. Sesuai penampilannya, rasa Anuradha pun begitu manis memabukkan.
Sehelai sari merah yang semula di tubuh Anuradha, kini tergerai di lantai. Tubuh mungil yang baru matang membentuk lekuk indah serupa gunung di bagian d**a dan lembah montok di bagian belakang, terbaring pasrah dengan kaki terbuka lebar.
Awalnya enggan karena masih malu. Namun melihat lelakinya juga tidak menutup diri, malah menonjok dirinya dengan keras, Anuradha pun tidak mencegah Rajputana memasuki dirinya hingga seluruh tonggak milik laki-laki itu berada di dalam tubuhnya.
Gerakan yang sedikit kasar dan memaksa karena belum terbiasa membuat Anuradha terisak menahan sakit. Dia menggigit jari dan membiarkan Rajputana terus bergerak di atas tubuhnya, mengguncang tubuhnya dengan keras.
Hantaman tubuh Rajputana dalam tubuhnya nyaris tidak berirama pada awalnya. Akan tetapi semakin Anuradha memasrahkan diri, hantaman tubuh Rajputana berangsur-angsur menjadi dorongan berayun yang menggetarkan tubuhnya hingga ke sukma.
Terasa penuh dan sesak yang mencengangkan, membuat tidak bisa berpikir dan rasanya ingin mencengkeram sesuatu. Anuradha begitu ketakutan dirinya akan terpecah-belah. Kuku-kukunya menancap di punggung Rajputana dan tanpa sadar menggores kulit pemuda itu.
“Ah!” Rajputana memekik tertahan merasakan perih luka di punggungnya.
“Ah, ah, maafkan aku ... Tuanku,” desah Anuradha di antara isakannya. Dia terisak bukan lagi karena kesakitan, tetapi kenikmatan yang bertubi-tubi mengisi tubuhnya. Dia takut membuat kesalahan dan Rajputana gusar karenanya. Namun ketakutannya tidak beralasan karena Rajputana semakin gencar menggarap tubuhnya.
Rajputana tidak bisa menghentikan desakan liar dalam dirinya. Yang ingin dilakukannya hanya terus bergerak, merasakan miliknya dilingkupi cengkeraman lembut dalam rongga yang basah, hangat dan sempit.
Sekarang ia tahu sisi nikmatnya sebuah pernikahan. Bisa dipastikan ia ingin melakukannya terus menerus sepanjang waktu, setiap saat setiap waktu jika ia bisa. Melihat istri barunya begitu mungil dan lembut, ia jadi khawatir gadis itu tidak akan tahan. Pantas saja ayahnya menyediakan deretan perempuan lain untuknya.
Rajputana menyemburkan cairannya di dalam tubuh Anuradha. Ia melingkupi tubuh gadis itu dan membelai wajah Anuradha dengan lembut. “Apakah aku menyakitimu, jaan?” tanyanya penuh perhatian.
Mata zamrud Anuradha berkaca-kaca. Seraya tertunduk dia menggeleng. “Tidak, Tuanku, rasa sakitnya tidak seberapa.”
“Lalu kenapa kau menangis?”
Anuradha segera mengusap air matanya. “Eh, ini bukan karena kesakitan. Namun ini karena aku sangat bahagia.”
Anuradha menggigit jari, bersungut ke d**a Rajputana karena malu. “ Aku tidak tahu kenapa, itu tadi rasanya sangat aneh, tetapi aku menyukainya.”
Rajputana ingin beranjak, akan tetapi ia terkesiap melihat noda merah di bawah p****t Anuradha. Ia cukup jelas mengenali noda itu sebagai darah. Ia kembali menatap Anuradha dan merasa cemas. “Anuradha-ji, kamu berdarah. Apa kamu yakin kamu baik-baik saja?”
Anuradha tersenyum malu-malu. “Uhm, kata ibuku itu wajar saja. Itu tandanya aku telah menjadi wanita seutuhnya.”
Rajputana balas tersenyum. “Kalau begitu berarti aku telah menjadi pria seutuhnya,” ujarnya.
Rajputana lalu berbaring di sisi Anuradha dan merangkul gadis itu ke dalam dekapannya. Malam itu mereka resmi menjadi pasangan suami istri.
Bukan hanya pasangan pengantin yang mendapatkan kenikmatan dari penyatuan dua tubuh. Sukacita juga tercipta di antara Udai Singh dan Chaudori. Dua raja itu bersulang. Bersama seluruh warga istana dan warga kota, mereka berpesta pora selama tujuh hari tujuh malam.
***
TAHUN-TAHUN berlalu. 1757.
Kota Rajpur menjadi kota yang paling makmur dan berkembang pesat. Arus perdagangan meningkat dan orang-orang Eropa senang berbisnis di Rajpur.
Selain situasi yang aman dan kondusif, warga kota Rajpur terkenal ramah dan menerima baik pendatang asing. Di samping itu, pertunjukan seni tari di Rajpur menjadi daya tarik tersendiri. Pamor Sanggar Mohabbatein makin naik. Apalagi Mohabbatein terkenal dengan pertunjukan eksklusif mereka, yaitu tarian oleh gadis bertopeng.
Gadis itu bisa mementaskan tarian apa saja. Namun yang paling terkenal adalah tarian Kathak dengan 40 kali putaran yang hanya sanggup dilakukan gadis itu dengan sempurna. Orang-orang bersedia membayar mahal untuk menonton pertunjukan gadis itu. Orang-orang bersedia membayar untuk bisa mengetahui identitas gadis itu. Bersedia membayar untuk bisa melihat wajah gadis itu. Namun, selama bertahun-tahun pihak Mohabbatein merahasiakan gadis itu.
Ibu Kepala Mohabbatein yang punya ide mengadakan pertunjukan gadis bertopeng itu. Penyebab utamanya karena Chandni adalah penari yang sangat bagus, akan tetapi dia mengalami kepanikan jika pentas di hadapan orang banyak yang tidak dikenalnya. Dengan menggunakan topeng, rasa gugup Chandni menghilang.
Chandni membuat alasan itu karena penampakan para penonton kadang-kadang sangat mengganggunya. Semakin beragam orang dilihatnya, semakin beragam pula penampakan yang ditemuinya. Kadang kala berupa sosok aneh memancarkan energi yang sangat kuat. Energi mereka membuatnya gelisah bukan main. Lagi pula Bibi Sarasvati tidak ingin Chandni menjadi terkenal. Menutupi wajahnya adalah salah satu cara menyembunyikan identitasnya. Ada sesuatu di wajah Chandni yang membuat orang mudah tertarik padanya.
Gadis itu tumbuh menjadi gadis jelita. Usianya 17 tahun sekarang. Tubuhnya padat berisi dan berlekuk indah. Gerakannya gesit dan juga lincah. Yang paling memukau adalah ciri khas lekukan dalam di kedua pipinya yang terbentuk jika dia tersenyum.
Dipingit sejak kecil memudahkan menyembunyikan identitas penari bertopeng. Ditambah lagi masalah penglihatannya, Chandni merasa harapannya bisa keluar dari sanggar semakin tipis. Gadis-gadis yang lebih muda darinya sudah menemukan jodoh mereka dan bisa tinggal di luar sanggar. Lagi pula Bibi Sarasvati pun sepertinya tidak ada niat menikahkannya. Sedangkan umurnya semakin bertambah, bisa-bisa dia menghabiskan seluruh hidupnya di dalam sanggar saja.
Jadi, ketika ada gadis yang mengajaknya keluar diam-diam, Chandni memutuskan ikut rencana mereka.
Bibi dan pamannya sedang pergi ke luar kota bersama ibu kepala. Sanggar libur sehingga tidak banyak orang. Di kamarnya, Chandni menyiapkan bundelan berisi makanan dan pakaian.
“Chandni, jangan ikuti mereka!” tegur Prapti. “Mereka hanya ingin menjebakmu karena mereka iri.”
“Aku tahu!” Chandni menyahut tegas.
Prapti terenyak. “Lalu kenapa kau ikut?” tanyanya.
“Karena aku ingin pergi keluar dan kurasa ini kesempatanku. Lagi pula kau akan ikut menemaniku.”
“Tetapi aku tidak bisa meninggalkan tempat ini,” Prapti memelas.
Bergantian Chandni yang terenyak. “Kenapa?”
“Aku tidak tahu dari dulu memang begitu. Aku tidak bisa pergi jauh dari tempat ini.”
“Oh!” Chandni berseru pendek, menatap Prapti penuh rasa sesal. Chandni lalu menarik nafas dalam dan mengempit bundelannya. Dia membulatkan tekad. “Aku akan pergi. Aku tidak akan tahu rasanya jika aku belum mencobanya. Tidak apa-apa, aku hanya ingin melihat-lihat keluar sebentar. Jika sudah, aku akan kembali lagi ke sini.”
Chandni berlari kecil keluar dari paviliun Saraswati. Dia menemui tiga gadis yang menunggunya di pintu belakang sanggar.
Sebelum pergi bersama ketiga gadis itu, Chandni menoleh pada Prapti dan berujar, “Tunggu aku di sini. Aku akan kembali sebelum hari gelap.”
Kemudian keempat gadis itu menyelinap ke luar sanggar. Mereka berlarian ke dalam hutan.
***
Bersambung....