Sampai kapan Chandni cukup dewasa untuk melindungi dirinya sendiri, Sarasvati tidak tahu. Hari demi hari dia selalu berusaha memahami perilaku Chandni. Suatu ketika anak itu akan berteriak ketakutan dan berlari tidak tentu arah seolah kesurupan. Hal itu diakibatkan jimat gelang keemasan terpisah dari tubuhnya. Sarasvati menyadari gangguan roh jahat yang dimaksud Dukun Abhijeet itu nyata.
“Bibi, aku takut ....” Anak berusia 5 tahun itu menangis di dekapan Sarasvati setelah Akash berhasil mengalungkan jimatnya. Sarasvati menepuk-nepuk punggung Chandni untuk menenangkannya. Sarasvati saling pandang dengan suaminya yang tampak kelelahan setelah mengejar Chandni dan menahan amukan anak itu.
“Ada wanita mencakar-cakar tubuhku. Sangat sakit. Dia berteriak kata-kata aneh. Stoute meid, stoute meid.”
Sarasvati membuka dekapannya dan menatap khawatir pada Chandni. “Apakah wanita itu wanita Eropa bergaun hitam dan bercadar hitam?” tanyanya. Tubuh Chandni gemetaran dan dia mengangguk cepat.
Sarasvati terkesiap. Gambaran sosok pengganggu itu persis sosok nyonya Belanda yang telah meninggal bertahun-tahun lalu. Rumah keluarga Belanda itu letaknya tidak jauh dari sanggar. Katanya nyonya itu mengalami gangguan jiwa lalu bunuh diri.
Sarasvati mulai memahami sumber keanehan perilaku Chandni. Sarasvati mengguncang tubuh mungil Chandni. “Makanya jangan pernah dilepas lagi kalung ini,” ujarnya sambil mengangkat gelang bertuah ke depan wajah Chandni. “ Mulai sekarang, apa pun yang tidak lazim yang kau lihat, jangan katakan pada siapa pun.”
Chandni terdiam tiba-tiba. Dia ketakutan dengan amarah sang bibi.
Sarasvati merasa bersalah memarahi Chandni. Dia menyadari anak itu pun pasti sangat ketakutan dengan penglihatannya. “Mulai sekarang, apa pun yang kau lihat dan membuatmu tidak nyaman, ceritakan saja padaku atau pamanmu. Ceritakan pada orang yang benar-benar bisa mengerti dirimu dan membantumu mengatasi ketakutanmu.”
Chandni hanya membalas tatapan Sarasvati. Sarasvati pun akhirnya luluh dan kembali mendekap Chandni. “Orang-orang tidak suka jika melihat sesuatu yang berbeda dari mereka. Mereka akan membenci dan menghakimimu tanpa mau mengerti apa dan kenapa. Mereka akan mengatakan kau terkutuk dan menyalahkanmu atas hal-hal yang membuat mereka ketakutan. Dirimu berbeda, Chandni, dan orang-orang di luar sana tidak siap dengan perbedaan. Rahasiakanlah kemampuanmu, Chandni. Demi kebaikanmu sendiri.”
Chandni mengangkat kepala menatap wajah bibi angkatnya yang tampak lebih tua dan lelah dari biasanya. Dia merasa telah membuat bibinya bersedih. Begitu pun terhadap pamannya. Chandni berjanji dalam hati tidak akan membuat bibi dan pamannya khawatir lagi. “Baik, Bibi. Aku akan berhati-hati.”
Bibi pun mengangguk lega dan mengusap rambut kecokelatan Chandni. Dukun Abhijeet berpesan bahwa kelak anak ini akan menjadi pendamping penguasa besar dan membawa kejayaan untuknya. Mungkin kemampuan inilah yang dimaksud dukun itu. Jika orang lain mengetahui kemampuan Chandni, mereka akan memanfaatkannya untuk mengeruk keuntungan. Sungguh tidak salah Yang Maha Agung menyerahkan Chandni ke tangannya.
Demi mencegah Chandni lepas dari pengawasannya, Chandni diikutkan menari di sanggar. Bersama puluhan anak dan wanita muda lainnya, keseharian Chandni tidak lepas dari menari, mendengarkan musik rancak dan syair-syair puja-pujaan pengiring tarian. Beragam jenis tarian diajarkan di sanggar itu. Namun yang paling disukai Chandni adalah tarian Kathak.
Tarian Kathak berasal dari gabungan budaya India Utara dan Pakistan. Gerakan Kathak berupa gerakan kaki yang lincah (tatkar) dan banyak gerakan berputar (chakkar). Kathak menceritakan Radha dan Krishna dalam gaya Natwari. Pada masa kesultanan Moghul, tarian ini beralih makna menjadi seni yang bertujuan menghibur.
Penari Kathak wanita mengenakan selendang sari dengan rok lebar Rajasthani, sedangkan penari pria memakai kurta atau sherwani. Gerakan yang menekankan permainan kaki membuat perhiasan kerincing kaki menjadi hiasan sempurna untuk penari wanita.
*
Tahun 1750
*
Tahun demi tahun berlalu tidak terasa. Usia Chandni sudah 10 tahun. Kelincahan dan keceriaan gadis belia itu semakin terpancar. Akan tetapi, karena menyimpan rahasia penglihatannya, Chandni kadang kala asyik dengan dunianya sendiri. Kadang kala dia tidak memedulikan makhluk kasat mata di sekitarnya. Hanya menari yang membuat Chandni fokus bersama anak-anak lainnya.
Chandni menyukai gerakan berputar puluhan kali dalam tarian Kathak. Dia merasa menari di sebuah tempat yang sangat indah dengan ratusan kupu-kupu warna-warni mengiringinya. Dia tertawa gembira dan merasa sangat lega ketika selesai melakukan chakkar sebanyak 40 kali.
Namun, bukannya senang, Sarasvati dan anak-anak lainnya justru marah kepadanya. “Chandni!” tegur Sarasvati. Gerakan Chandni yang di luar alur cerita membuat latihan itu kacau dan anak-anak lain terganggu. Sarasvati melotot pada gadis itu seolah siap menelannya.
Bukannya takut, Chandni malah terkikik geli dibalik selendang tipis bersulam yang menutupi kepalanya. Gadis-gadis lain menggerundel kesal di belakang Sarasvati. Sarasvati tidak ingin terlihat jelas memanjakan Chandni, dia mengambil sebilah rotan dan mengacungkannya ke arah Chandni. “Kau selalu membuat kacau, Chandni! Ini sudah keterlaluan! Kali ini kau harus dihukum!” Sarasvati mengayunkan bilah rotan ke arah kaki Chandni.
Namun kaki gadis itu lincah mengelak. Melompati bilah rotan seperti gerakan tatkar lalu berlari mengitari beranda luas tempat mereka berlatih. Ulah Chandni membuat Sarasvati kesal dan dia mengejar gadis itu. Gadis lain berusaha menangkapnya, tetapi Chandni selalu berhasil berkelit.
Sebagian dari penari malah tertawa senang, terutama anak laki-laki . Ulah Chandni meracau latihan membuat mereka terhibur dan beristirahat sejenak dari latihan yang ketat. Mereka berseru menyemangati Chandni. “Ayo, Chandni, terus lari, terus lari!”
“Dasar Chandni nakal! Awas, ya, di rumah nanti aku hajar kamu!” ancam Sarasvati.
Chandni malah menjulurkan lidahnya. Dia tidak takut karena Bibi Sarasvati tidak pernah benar-benar melaksanakan ancamannya.
“Chandni!” bentak Sarasvati dan gadis itu melompat ke tanah, keluar dari beranda, meloloskan diri dari kejarannya. Sarasvati mengentakkan kaki kesal dan menjatuhkan bilah rotannya. Sepertinya membuat ulah hanya alasan Chandni mangkir dari latihan. Gadis itu berlari sambil tertawa-tawa, memijak tanah tanpa alas kaki.
Chandni berlari menyenggol Akash, pamannya, membuat bakul berisi bunga krisan warna-warni yang diusungnya terlempar. Bunga-bunga mungil berhamburan di udara, lalu berjatuhan bagai konfeti menghujani Chandni. Gadis itu merentangkan tangan dan berputar di bawah taburan kelopak bunga. Dia adalah kecantikan yang dipuja setiap penjuru alam. Kesenangan dan kebahagiaan.
Sedetik kemudian, kegembiraan Chandni ambyar. Paman Akash menjewer telinganya dan menyeretnya ke tepi jalan. Anak-anak yang tadinya kesal dengan ulah Chandni sekarang menertawakannya.
“Aduuh, aduuh, sakit, Paman!” rengut Chandni.
“Bagus, ya, kelakuanmu!” omelnya. “Mau mangkir dari latihan? Tidak segampang itu, gadis muda! Kau pikir kau bisa berleha-leha? Sekarang kumpulkan semua bunga-bunga ini. Bunga ini akan dipakai untuk acara malam ini. Kau tidak mau 'kan dimarahi dan dihukum ibu kepala? Cepat kumpulkan!”
Chandni berjongkok memungut bunga-bunga yang berserakan dan memasukkannya kembali ke dalam keranjang. Mulutnya monyong karena menggerundel dan mencibir mengejek omelan pamannya. Akash tentu saja tidak melihatnya. Laki-laki tua bertubuh tambun itu berkacak pinggang menjaga orang yang hendak lewat agar tidak menginjak bunga-bunganya.
Namun ada seorang pemuda yang memperhatikan ulah Chandni sejak awal. Pemuda itu tersenyum di sela tirai jendela kereta kuda yang menjadi tempatnya menunggu. Kejadian kejahilan gadis itu membuatnya terhibur dan tanpa sadar tersenyum sendiri. Sungguh menyenangkan rasanya bisa berbuat usil dan mengacau aturan. Meskipun akhirnya dihukum, tetapi ada kegembiraan sejati terlihat dari wajah gadis itu. Dia bisa melakukan apa saja tanpa mengkhawatirkan celaan atau kesalahan. Dia bisa bebas membuat mimik wajahnya sesuka hati dan meledek orang-orang di sekitarnya. Sejenak, pemuda itu merasa iri.
Dalam pakaian sherwani bersulam emas dan turban berhias permata seukuran genggaman tangan serta jubah berat merangkulnya, mengendarai kereta kuda mewah, sedikit pun tidak membuat pemuda itu merasa tenang. Semua yang dimilikinya hanya atribut yang mengekang dan beban berat yang harus diemban turun temurun.
Pemuda itu adalah Rajputana Udai Singh, sang putra mahkota. Hari itu ia telah berusia 17 tahun. Malam nanti, ia akan dinikahkan dengan putri kerajaan tetangga dan kedatangannya ke sanggar Mohabbatein adalah mengiringi ayahnya mengurus persiapan pernikahan. Para penari di Mohabbatein akan menghibur tamu di acara pernikahannya dan sebagian akan menjadi selir-selirnya.
***
Bersambung ....