Kabur

1071 Words
“Bagaimana caranya membuka gembok ini?!” teriak Sara frustasi. Sejenak ia menangis dan kemudian sudut matanya melihat sebuah batu besar yang ada di atas tanah. Ide pun muncul, ia langsung mengambil bongkahan batu tersebut dengan kedua tangannya. Dengan mata sembab yang berkaca-kaca, ia mulai berteriak dan mengayunkan batu ke arah gembok hitam besar itu. “Aaaa!” Walau Sara berteriak kencang. Tidak ada yang mendengarnya. Lokasinya sudah sepi. Orang-orang baik para narapidana atau pun sipir. Mana ada yang memiliki nyali besar dan malah semakin mendekat ke bagian utara lapas. Semua orang pasti akan menghindari kobaran api besar ini. Tapi tidak untuk Sara. Ia harus berani demi untuk melarikan diri lewat pintu belakang yang berada di dekat dapur. Sara mengayunkan kedua kalinya bongkahan batu itu ke gembok yang menggantung. Namun naas justru jari manis dan kelingking sebelah kirinya yang membentur dan terjepit di antara batu dan gembok. “Aaaa!” Sara sontak berteriak. Ia sangat kesakitan. Namun pengorbanannya tidak sia-sia. Gembok yang terkunci itu akhirnya terbuka. Sepasang matanya yang sembab karena air mata, seketika berbinar. Ia langsung menyingkirkan gembok hitam itu, lalu membuka pintunya. “Braaaak!” Pintu besi dengan papan baja terbuka. Hembusan angin langsung menerpa muka Sara. Seperti ada semangat baru yang timbul saat angin tersebut menghembus wajahnya. Ia melihat hamparan kebun pohon alpukat yang luas di depannya. Sara segera bergegas melangkah keluar. Di sebelah kanan, dilihatnya beberapa mobil pemadam kebakaran dan riuhnya suara semua orang yang panik. Sara memutuskan memilih ke arah kanan. Ia langsung berlari menyusuri jalanan kecil dengan lebar sekitar satu meter. Dan setelah berlari sekitar dua meter, ia mendengar suara pria berteriak padanya. “Hei! Berhenti! Diam di tempat! Lihat di sebelah sana! Ada satu narapidana yang kabur!” Sara terkesiap, ia langsung melompat ke dalam kebun alpukat yang tinggi dan rimbun. Hingga kepalanya pun tidak terlihat oleh jajaran pohon-pohon tersebut. “Aku tidak boleh tertangkap!” serunya pada diri sendiri. Ia berjalan perlahan, tapi pasti hingga sekitar satu hektar kebun alpukat dilewati. Saat sudah berada di sisi kebun bagian seberang, Sara mengintip sedikit keluar. Ia sangat hati-hati sehingga tidak langsung berlari. Manik matanya memastikan keadaan. Sunyi. Karena ini waktu dini hari. Tidak terlihat sama sekali penduduk lokal yang melintas. Nafas Sara tersengal. Ia melihat ada satu rumah penduduk di seberang kebun luas ini. Rumah tingkat tiga dengan banyak kamar berjajar. Seperti rumah kos. Secepat kilat ia segera masuk ke halaman rumah yang kebetulan tidak ada pagarnya. Di sana, ia mulai acak mencari pintu kamar yang tidak terkunci. Hingga saat tangannya memegangi knop pintu kamar kos keenam pada lantai dua, pintu itu terbuka. Sara lega. Ia langsung masuk. *** “Drrrrr!!!”Suara klasik alarm jam diponsel Bram berdering. Tangannya mencari-cari ponsel yang ada di pinggiran kasur. Sembari terpejam, ia mengambil ponsel dan mematikan alarm. Dengan malas-malasan ia terbangun dan mulai beranjak berdiri. Langkah gontai dan mata terpejam, Bram masuk ke dalam kamar mandi dan mulai membasuh mukanya, lalu menggosok gigi. “Ngantuk sekali. Tapi aku harus kerja ...,” gerutunya sembari keluar kamar mandi dan berjalan menuju dapur kecil yang ada disisi kamar mandi. Ia membuka pintu kulkas. Lalu menenggak s**u dingin langsung dari kemasannya. Setelah tenggorokannya terbasahi dan mulai sadar sepenuhnya dari rasa kantuk yang berat. Bram terdiam sesaat. Berpikir sebentar. Tadi ia merasa di samping pintu ada seorang gadis berambut panjang kusut berdiri memandanginya. Kedua alisnya bertaut. Keningnya berkerut. “Siapa tadi?” tanyanya lirih pada diri sendiri. Lalu perlahan tapi pasti pintu kulkas ditutup. Sepasang mata Bram membulat, nyaris melotot kaget. Seorang wanita berambut panjang kusut dan berkulit pucat pasi berdiri di sisi lemari es sembari menatapnya. “Aaaaa!” Bram berteriak karena dipikirnya ia melihat kuntilanak. Tapi ternyata yang dilihatnya memang manusia. Wanita itu langsung menyekap mulut Bram. “Tolong diam. Jangan berteriak. Aku tidak berniat jahat. Aku hanya lapar.” Bram terdiam. Manik matanya dan wanita misterius di rumahnya itu saling bertemu. Sara menurunkan perlahan telapak tangannya yang menutup mulut Bram. Netra Bara melihat baju Narapidana yang dikenakan oleh Zara. Kaos biru tua dengan tulisan 580080. Bram baru sadar jika wanita yang di hadapannya ini adalah narapidana yang pasti kabur dari lapas. Mengingat memang lokasi rutan khusus wanita tidak jauh dari kosannya. “Maaf, aku tidak berniat jahat,” ujar Sara lagi. Namun Bram tidak percaya. Ia kembali berteriak. Dan Sara spontan memukul muka Bram dengan kepalan tangan. Kencang dan sangat cepat. Bram langsung jatuh terjengkang. Lubang hidungnya mengalir darah. Spontan ia memegangi hidungnya yang terasa amat sakit. “Kataku jangan berteriak! Kenapa kamu berteriak?!” Sara mengomel. “Katamu bukan orang jahat, kenapa menyelinap dan memukulku? Ini aku jadi mimisan kan?!” “Maaf. Tadi gerakan spontan!” Sara membela diri. Bram marah. Ia memicingkan matanya memandang Sara yang terlihat kacau. “Aku mohon abang jangan berteriak. Aku tidak jahat. Aku hanya menumpang bersembunyi,” kata Sara jujur. “Kamu narapidana yang kabur kan?” Bram langsung menerka. Sara mengatupkan bibirnya dan menganggukkan kepalanya. “Ya benar, aku adalah narapidana,” jawabnya lesu. “Walau aku seorang narapidana. Tapi aku tidak pernah melakukan kejahatan.” “Tidak pernah melakukan kejahatan, tapi kok dipenjara?” tuding Bram sembari menyeka darah yang mengalir dari lubang hidungnya. “Ceritanya panjang,” jawab Sara. “Bila aku bercerita padamu. Apa kamu percaya?” Bram tidak langsung menjawab. “Tergantung,” jawabnya lirih. Hening. Sara tidak jadi menceritakan masalahnya. Karena sepertinya pria yang ada di hadapannya ini tidak akan mempercayainya. Netra Bram melihat ke arah lantai. Di sana berserakan makanan siap saji dan bekas kulit buah pisang yang sudah dimakan. Lalu tatapan Bram beralih pada Sara yang penampilannya sangat kacau. Rambut panjang sebahunya berantakan. Kaos narapidana yang dikenakannya pun lusuh. Lalu jari manis dan kelingking sebelah kiri Sara terlihat berdarah. Bram menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Hatinya tidak tega untuk mengusir. Apa lagi melaporkan pada polisi jika ada narapidana bersembunyi di tempatnya. “Jarimu terluka?” tanyanya sembari menunjuk. Sara melihat ke arah tangannya. Lalu kemudian menggenggam dua jari yang terluka tersebut. “Tidak apa-apa. Aku sudah biasa seperti ini." “Kamu mengalami kekerasan di sana?” Bram mendadak ingin tahu. Sara tidak menjawab. Ia malah mengajukan pertanyaan lain. “Apa boleh aku menumpang sementara di sini? Aku mohon. Hanya sampai saat malam ini saja. Setelah itu aku berjanji akan pergi dari sini ....” Mereka saling bertatapan. “Aku mohon sekali izinkan aku menumpang di sini hanya sampai malam tiba.” "Tidak, aku tidak mau terlibat. Tolong pergi dari sini ...."

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD