Luka memar.

1051 Words
Pagi pagi sekali Sherin telah bangun dari tidurnya dan keluar dari kamar milik Veldian yang di tempatinya semalam.  Kaki Sherin melangkah ke arah belakang hingga terhenti di dapur. Di sana ia bertemu beberapa pelayan rumah tangga dan Rika yang berkutat di dapur.  Sherin yang telah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah pun tak bisa menahan dirinya untuk bergabung dengan Rika yang terlihat sedang mengiris iris sayuran. "Selamat pagi, Nona... Apa ada yang anda inginkan?" Tanya salah satu pelayan rumah tangga. Sherin membalas sapaan dengan tersenyum hangat. "Ah, tidak. Aku tidak menginginkan apa apa."  "Nona, apa yang kau lakukan disini?" Tanya Rika saat menyadari suara Sherin yang telah berada di belakangnya. Sherin mendekati Rika yang bersiap mendekatinya. "Aku ingin membantumu memasak." Sahutnya mengedarkan matanya keseluruh perkakas masak yang ada di dapur. "Jangan, Nona. Anda tunggu di ruang makan saja. Saya akan menyiapkan makanan untuk anda." Rika memohon pada Sherin untuk mendengarkan ucapannya. Tapi Sherin tak perduli, ia justru telah memakai apron di tubuhnya. Mengambil alih pisau yang di letakkan oleh Rika di atas papan pengiris sayuran. "Nona, saya mohon jangan lakukan ini. Tuan dan Nyonya bisa marah jika melihatnya." Ucap Rika dari belakang. "Tenang saja, mereka tidak melihatnya. Lagipula aku sudah terbiasa memasak sewaktu di rumah paman dulu. Hanya saja menunya tak seenak di rumah ini." Sahut Sherin santai dengan kedua tangan yang lihai mengiris sayuran. "Tapi, No-" "Ini mau masak salad?" Tanya Sherin memotong perkataan Rika. "Iya, nona..." Sahut Rika menganggukkan kepalanya. "Baiklah, kau cukup menyiapkan piringnya. Biar aku yang menatanya." Sherin terus fokus pada pekerjaannya.  Tak bisa berbuat apa apa, Rika hanya bisa menuruti permintaan Sherin. Namun pandangan mata Rika tak lepas dari kedua tangan Sherin. Ia takut jika nonanya akan mengalami luka iris karena pisau yang terlalu tajam. Tak butuh waktu lama, Sherin telah selesai menata salad di beberapa piring serta ice lemon madu yang di buatnya.  "Ini untukmu." Sherin menyodorkan sepiring salad pada Rika. "Terima kasih, nona. Tapi aku bisa membuatnya sendiri." Rika menundukkan kepalanya hormat. Sherin menghela nafas berat, lalu menyendokkan salad sayuran. "Buka mulutmu." Sherin menyodorkan sendok yang berisikan salad sayur ke depan mulut Rika. "Nona, tapi sa-" "Ayo, buka mulutmu. Atau kau merasa aku akan meracunimu?" Sherin memasang wajah memelasnya. "Bukan, bukan begitu. Baiklah, baiklah..." Ucap Rika lalu membuka mulutnya dan memasukkan sendok yang berisi salad sayuran ke dalam mulutnya. Sherin tersenyum melihat Rika yang sedang mengunyah makanannya. "Emm... Ini benar benar lezat, nona. Tak kalah dari restoran ternama." Ucap Rika dengan mulut yang penuh. Sherin tertawa melihat perempuan bertubuh gempal itu berbicara dengan mulut yang berisi makanan. Sherin kemudian melepaskan apronnya dan memberikannya pada Rika, bersamaan dengan kehadiran Adrian yang telah tiba di ruang makan. Sherin berjalan keluar dari dapur, niat hatinya ingin berjalan menuju taman belakang. Tapi tak sengaja matanya menangkap sosok Adrian yang tengah menikmati sarapan yang telah di buatnya. "Oh, ternyata dia seorang dokter." Ucap Sherin pelan. Sherin terus memperhatikan Adrian yang sedang makan yang tak menyadari keberadaannya sambil bersembunyi di sebelah lemari hias. Sebuah senyum mengembang di bibir Sherin saat melihat ekspresi wajah Adrian ketika terburu buru untuk menghabiskan makanan dan minuman yang tanpa di sadarinya telah di siapkan oleh Sherin. Bruk... Tiba tiba kepala Sherin terbentur lemari hias di sebelahnya saat dirinya hendak berbalik. "Aww..." Sherin meringis kesakitan sembari memegang ujung dahinya. Mendengar suara keras yang di timbulkan dari arah lemari hias tak jauh dari ruang makan, Adrian pun bergegas mendekati asal suara tersebut. "Kau? Sedang apa kau di sana?" Tanya Adrian mengerutkan dahinya melihat Sherin yang sedang meringis kesakitan. "Aa...aku... Hanya..." Sahutnya terbata dengan wajah yang menunduk. Adrian menarik tangan Sherin dan membawanya duduk di kursi dekat kolam berenang yang ada di bagian samping ruang makan. "Duduk diam disini sebentar." Perintahnya pada Sherin dengan nada datar. Sherin hanya bisa menganggukkan kepalanya cepat, tangannya masih memegangi ujung dahinya yang terbentur keras. Tak butuh waktu lama, Adrian telah kembali dengan membawa sebuah mangkuk yang berisikan beberapa batu es yang berbentuk kotak kecil serta handuk kecil. "Eh, mau apa?" Tanya Sherin sembari memundurkan wajahnya saat tangan Adrian bersiap menyentuh bagian kepala Sherin yang terbentur. Adrian hanya menatap Sherin tanpa kata kata, lalu menarik bagian kepala Sherin hingga jarak keduanya yang cukup dekat. Tangan Adrian yang memegang handuk yang berisikan batu es telah berada di ujung dahi Sherin yang terbentur. Deg... Deg... Deg... Entah kenapa, setiap kali berada di dekat Adrian jantung Sherin berpacu lebih cepat. Walaupun Adrian sering bertindak kasar, tapi sejatinya Sherin merasa jika Adrian adalah orang yang sangat peduli. "Aa...aku bisa melakukannya sendiri." Sherin mengambil alih handuk yang tertempel di dahinya dari tangan Adrian. Adrian melepaskan tangannya, namun matanya justru terfokus pada luka memar lainnya di pelipis Sherin yang masih terlihat jelas. "Dasar ceroboh." Ucapnya ketus. "Oleskan itu pada pelipismu." Sambil melemparkan obat oleh yang telah di bawanya. "Emm..." Sherin mengangguk pelan. Adrian pergi begitu saja meninggalkan Sherin yang masih duduk mengompreskan dahinya. "Dasar pria aneh." Ucapnya pelan sembari melihat punggung Adrian yang hampir menghilang dari pandangannya. ***** "Sherin... Kemari..." Panggil Lina saat melihat Sherin yang baru saja mencapai anak tangga terakhir. Sherin mengangguk sopan dan berjalan mendekati Lina. "Duduklah..." Menepuk nepuk pelan bagian kursi yang kosong di sebelahnya. "Ada apa nyonya?" Tanya Sherin lalu tersenyum tipis. "Jangan panggil aku nyonya, sebentar lagi kau akan menjadi menantuku yang sesungguhnya." Lina terlihat tersenyum bahagia sambil mengelus elus rambut Sherin. "Tt..tapi... Aa...ku belum siap untuk menikah." Sherin tertunduk, bukan belum siap. Tepatnya ia merasa enak hati pada Adrian yang akan menjadi suaminya. "Sst... Sudah jangan banyak berfikir. Hari ini kita akan memilih gaun pernikahan yang cocok untukmu. Tadi mama juga sudah meminta pada Adrian untuk menyusul setelah jadwal operasinya selesai." Lina menyampaikan tujuannya memanggil Sherin. Sherin menghela nafas perlahan, ia tak tahu lagi harus berbicara apa lagi pada Lina. "Mm...a... Apa boleh aku kembali ke rumah pamanku sebentar nanti?" Tanya Sherin ragu. "Untuk apa? Kau tidak takut jika pamanmu nanti akan berbuat jahat padamu?" Lina memandang Sherin dengan lekat, ia melihat ada kesedihan yang tertangkap dari wajah cantiknya. Sherin menggeleng pelan. "Aku hanya ingin mengambil beberapa barangku yang ada di sana. Aku janji tidak akan lama." Ucapnya memohon berharap mendapat izin dari Lina. Lina tampak berfikir beberapa saat, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mengabulkan permintaan Sherin. "Baiklah, nanti pak Joko akan mengantarmu."  Sherin mengembangkan senyumnya, matanya menatap Lina. "Terimakasih ma." Lina mengangguk pelan di iringi senyuman, dan tangannya yang mengelus rambut panjang Sherin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD