Kekesalan Alika.

1058 Words
Dokter itu terdiam, matanya menyoroti Sherin dari ujung rambut sampai ujung kaki, seperti sedang memastikan gadis yang ada di hadapannya. 'Jadi, pasien yang baru saja aku operasi itu pamannya?' Batin sang dokter tanpa melepaskan pandangannya. 'Gadis ini, kenapa melihatnya menangis seperti ini hati ku seperti ikut terseret untuk menangis juga?' Sambungnya. Butir butir bening yang jatuh dari pelupuk mata Sherin mewakili setiap perasaannya yang bercampur aduk. Entah apa yang paling mendasarinya untuk menangis saat ini, terlalu banyak hal yang pantas untuk di tangisinya. Ingin mengadu? Tentu saja. Tapi sayangnya tak ada tempat mengadu selain pada tuhannya. Dokter itu masih terdiam melihat iris coklat bening milik Sherin yang masih basah, hingga dirinya harus tersadar saat suara Sherin kembali mendominasi.  "Dok, katakan dok. Bagaimana hasil operasinya? Bagaimana keadaan pamanku?" Ucapnya lirih. Dokter yang masih enggan membuka masker yang menutupi setengah wajahnya itu akhirnya bersuara. "Operasinya berjalan dengan lancar. Jangan khawatir." Sherin merasa begitu familiar dengan suara sang dokter, dahinya berkerut dengan kedua mata yang mencoba mencari tahu wajah asli sang dokter. Gadis cantik itu lantas mendongakkan wajahnya dan sedikit mendekat untuk mencapai wajah sang dokter dengan air mata yang masih membekas di pipinya. "Kau... Sepertinya aku mengenalimu." Dokter yang memiliki tinggi kisaran 183cm itu mundur kebelakang melihat Sherin yang terus mencoba mendominasinya. "Eeh... Apa yang ingin kau lakukan?"  "Nah benar kan... Suaramu itu, kau Ad-" "Sherin..." Suara seorang perempuan yang sedang berlari menghentikan rasa penasaran Sherin pada sang dokter bertubuh tinggi itu. Gadis bertubuh ramping itu segera menyeka air matanya dengan kedua telapak tangannya saat melihat sang pemilik suara yang memanggil namanya semakin mendekat. "Astaga, dia benar benar datang. Aku harus kuat... Jangan menangis Sherin jangan menangis." Ucapnya pelan. Tanpa Sherin sadari, dokter itu mendengar dan melihat semua yang dilakukan Sherin. Mulai dari menyeka paksa air mata hingga berlatih tersenyum sebelum bertemu seorang yang memanggilnya. "Alika, kau datang?" Sembari memegang kedua tangan Alika dengan senyum di wajahnya. "Tentu saja aku datang, apa kau gila Sher? Bagaimana kalau pamanmu akan bertindak kasar padamu? kenapa kau tidak menghubungi ku disaat seperti ini? Bahkan beberapa hari terakhir ponselmu tidak bisa di hubungi." Cerocos Alika dengan wajah kesal bercampur panik. Alika satu satunya sahabat yang Sherin punya sejak duduk di bangku sekolah menengah. Selain Kevin, Alika lah orang yang selalu perhatian dan mengkhawatirkan Sherin dengan tulus. Bahkan Alika siap pasang badan untuk membela Sherin dalam kondisi apapun, terlebih jika mengetahui dirinya mendapat perlakuan kasar dari sang paman. Jiwa bar bar Alika seketika keluar begitu saja hingga ia pun tak sungkan untuk mendatangi paman Sherin untuk mengatakan hal hal yang bisa menyakiti hati Romi lebih dari pada tindakan kasar yang di lakukannya pada Sherin. "Alikaaa... Jangan berbicara seperti itu. Bagaimanapun juga dia tetap pamanku, satu darah dengan mamaku." Sherin selalu memberikan pengertian yang baik tentang sang paman, walau sang paman tak pernah berkata baik tentangnya. Perempuan berusia dua puluh dua tahun yang memiliki rambut sebahu itu memeluk tubuh Sherin dengan erat. "Kau ini benar benar bodoh. Bagaimana kau bisa berbuat seperti ini setelah pria gila itu menjualmu?" Tangis Alika pecah di pelukan Sherin. Ia sudah tak tahan lagi melihat penderitaan yang di alami sahabat baiknya itu. "Kau... Kau sudah tahu?" Tanya Sherin ragu. Alika melepaskan pelukannya hingga keduanya kembali berhadapan. Alika menarik tangan Sherin untuk duduk di kursi panjang yang ada di sana. "Kevin sudah menceritakan semuanya padaku. Sher, kenapa kau menolak bantuan Kevin? Apa kau benar benar ingin rela di nikahi oleh pria yang tak kau kenal? Bahkan kau tak mencintainya sama sekali." Pertanyaan itu benar benar membuat Sherin terdiam untuk sesaat. Dadanya terasa sesak saat mengingat kembali pertemuan terakhirnya dengan Kevin yang menyisakan luka tersendiri untuknya, terutama Kevin. Sherin akhirnya memilih untuk menceritakan awal kejadian naas dirinya saat di club hingga akhirnya sang paman tega menjualnya. Ia juga menceritakan apa yang telah terjadi padanya beberapa hari ini hingga ia memilih untuk tak menerima bantuan Kevin lagi. Sherin benar benar merasa malu pada Kevin, ia seperti perempuan yang tak punya harga diri lagi setelah dirinya di jual oleh sang paman. Sherin juga tak ingin menjadi orang yang tak sadar diri pada keluarga Heri dan Lina. Sebelum ia bisa membayar kembali uang lima ratus juta yang di berikan Heri pada sang paman, ia tak akan pernah bisa pergi dari mereka. Mata Sherin berkaca kaca, batinnya sungguh menangis pilu. Tapi, sebisa mungkin ia tak meneteskan air mata di hadapan Alika. Gadis cantik itu selalu seperti itu, ia tak ingin terlihat lemah di hadapan orang orang yang ia sayangi.  Di ujung sana, di balik pintu ruang operasi yang sengaja tak ditutup rapat. Seorang pria masih lengkap dengan pakaian berwarna hijau serta penutup kepala dan masker terlihat sedang mencuri dengar obrolan kedua sahabat itu. Perlahan ia membuka masker yang menutupi setengah wajahnya hingga memperlihatkan wajah asli sang dokter. Dialah Adrian, dokter ahli bedah yang bertanggung jawab pada berlangsungnya operasi Romi. Adrian tak menyangka jika Sherin benar benar harus menjalani kisah hidup yang rumit semenjak kepergian kedua orang tuanya. Adrian juga bisa menangkap jelas bahwa Sherin sebenarnya adalah gadis yang rapuh di balik sikap ceria yang selalu di tunjukkannya pada orang sekitar. 'Kau benar benar gadis bodoh, Sherin. Dari apa hatimu terbuat? Bahkan kau tidak bisa membenci orang yang telah menjualmu.' Batin Adrian. Ia merasa sedikit bersalah karena menuduh Sherin telah bersekongkol dengan sang paman untuk meraup keuntungan darinya dan keluarganya. ***** "Maaf, aku mau tanya kira kira berapa biaya rawat inap dan operasi pasien atas nama Romi sampai tiga hari kedepan?" Sherin memberanikan diri untuk bertanya pada petugas bagian administrasi di rumah sakit tersebut. "Baik, silahkan tunggu sebentar." Sahut petugas itu ramah. Tak butuh waktu lama bagi Sherin untuk mengetahuinya. Kini Sherin telah memegang beberapa lembar kertas yang di berikan oleh petugas administrasi itu. Mata Sherin terbelalak saat melihat rincian nominal yang tertulis rapi di atasnya. "1,2, 3, 4, 5, 6, 7, 8..." Sherin menghitung jumlah angka dari belakang hingga ke depan. "Oh tuhan... Dari mana aku bisa menghasilkan uang sebanyak ini?" Sambungnya dengan mata yang membulat sempurna. Sherin masih berdiri di depan bagian administrasi rumah sakit itu, kepalanya menggeleng geleng pelan. Kakinya terasa lunglai hingga kedua tangannya bertopang pada dinding pembatas. "Nona, anda tidak perlu khawatir. Semua biaya pasien atas nama Romi telah di bayar penuh." Ucap petugas perempuan itu. Kali ini kaki Sherin justru semakin lunglai dan terasa tak bertulang saat mendengar fakta lain dari mulut sang petugas administrasi itu. "Haa? Mm..maksudnya? Ini semua sudah lunas?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD