Suasana sunyi sangat terasa saat Sherin masih membuka matanya di pertengahan malam seperti ini. Keberadaan paviliun di taman belakang semakin membuat Sherin benar benar merasa sepi.
Gadis itu menatap langit langit kamar yang masih di terangi oleh pancaran sinar beberapa bola lampu di dalamnya.
Raut wajahnya menggambarkan jika dirinya tengah di landa dilema besar. Obrolan bersama Veldian di tepi kolam berenang tadi rupanya bukan memberikan kabar bahagia untuknya, melainkan kabar yang sangat tidak di inginkannya.
Setelah harus menelan pahit kenyataan bahwa Gallen suda tidak berada di paris dan pergi tanpa tahu pasti arahnya, Sherin kembali menelan pil pahit seputar kabar pernikahannya bersama Adrian yang akan di langsungkan dalam beberapa hari kedepan.
Mau nenangis? Percuma saja, tidak akan ada yang memperdulikannya, bahkan sampai keluar darah pun pernikahan itu tetap akan berlangsung.
Impian pernikahan yang seharusnya di lakukan bersama orang terkasih, nyatanya harus di lakukannya bersama orang yang sama sekali tidak pernah masuk dalam daftar impiannya.
"Ya tuhan, kenapa hidupku jadi seperti ini? Aku belum ingin menikah, apa lagi dengan pria itu." Sherin menghela nafasnya sembari memeluk guling di atas tubuhnya yang mengambil posisi terlentang.
Sherin mulai membayangkan kehidupannya setelah menikah akan seperti apa, membayangkan Adrian dan Tiara akan hadir di tengah tengah kehidupannya pasca menikah ternyata menjadi momok tersendiri bagi Sherin.
Walau tak memiliki perasaan pada Adrian, dengan kata lain pernikahan keduanya terjadi karena kesepakatan yang mengungtungkan bagi Adrian, tapi rasanya sangat tidak layak bagi Sherin.
"Seandainya itu Kevin. Aku akan sangat bahagia, walaupun kedua orang tuanya tidak menyukaiku. Setidaknya aku merasa nyaman, aman hidup bersama orang yang sangat menyayangiku dan aku sayangi," sambungnya terdengar lirih.
Tanpa terasa, jam telah menunjukkan pukul 02.27 pagi. Tapi mata Sherin belum juga ingin terpejam.
"Perut ini, kenapa ingin meminta asupan gizi di waktu seperti ini sih?" Sambil memegang perutnya.
Sherin bangkit dari atas kasur, melangkahkan kakinya yang masih terseret menyusuri taman belakang hingga terhenti di depan dapur.
Suasana dapur yang begitu gelap tanpa cahaya membuat Sherin berjalan meraba raba untuk mencari tombol menghidupkan lampu.
Srek... Srek... Srek...
Suara yang berasal dari dapur itu menghentikan langkah Sherin.
'Suara apa itu? Jangan jangan maling?' Batin Sherin.
Gadis itu mencari benda apa saja yang bisa di jadikan untuk berjaga jaga. Sebuah sapu kini telah berada di tangan kanan gadis itu.
Kakinya perlahan mendekati asal suara, pencahayaan yang sangat minim membuat Sherin kesusahan untuk mendekat ke asal suara.
Meskipun samar samar tapi Sherin bisa melihat seseorang yang sedang membongkar isi lemari gantung.
'Itu dia, kau tidak akan bisa kabur dariku maling. Kau tidak tahu, sewaktu kecil aku begitu terlatih untuk memukul orang?' Batin Sherin.
Sherin tengah bersiap untuk memukul gagang sapu pada seseorang yang menyelinap ke dapur besar keluarga konglomerat itu.
Tangannya tengah melayang di udara, satu, dua, ti...ga.
Bruk...
"Aaaaaa..."
Tubuh Sherin ambruk ke lantai dan tertimpa oleh sosok pria yang di curigai sebagai maling itu.
Kepala Sherin hampir saja terbentur jika tidak di halangi oleh telapak tangan pria yang menimpanya.
"Kau masih saja ceroboh bocah," ucap pria itu pelan di hadapan Sherin dengan jarak yang begitu dekat.
'Astaga, suara itu ....' Batin Sherin cemas.
Suara yang sudah tidak asing lagi di telinga Sherin membuatnya sangat terkejut, dengan paniknya ia ingin berdiri dengan cepat.
Cup...
Ah, sial. Lagi lagi bibir merah Sherin menempel sempurna di bibir Adrian. Bahkan kali ini Adrian dengan sengaja menahan kepala Sherin agar tetap menempel sempurna di bibir gadis itu.
"Mm... Mm... Lepas..." ucap Sherin dengan suara yang terdengar tak jelas karena kepalanya yang tak bisa bergerak akibat tertahan oleh tangan Adrian.
'Rasakan ini, kau sudah berani beraninya ingin memukulku kan? Hahaha...' Batin Adrian tertawa.
Seperkian detik tawa penuh kemenangan di batin Adrian berubah menjadi penuh kegelisahan.
Tiba tiba saja jantungnya berdekat hebat saat Sherin mencoba untuk membuka sedikit mulutnya yang kehabisan oksigen, tapi justru membuat Adrian merasakan sensasi lain karena secara tidak langsung Adrian melumat bibir bawah gadis itu dengan lembut.
"Mm... Mmm... Mmm..." Sherin berteriak dengan suara yang tertahan, tangannya terus berusaha mendorong tubuh kekar Adrian yang mengintimidasinya.
Tak lama lampu dapur menyala, bersamaan dengan Sherin yang menggigit kecil bibir atas Adrian hingga terlepas dari bibirnya.
"Haaaa... Tt-tuan muda, Nn-nona Sherin," ucap Rika terbata bata dengan mata yang terbelalak.
Menyadari kehadiran Rika yang sedang berdiri di sudut dapur, membuat pria yang sudah berpenampilan rapi dengan jas putih kebesarannya itu bergegas untuk berdiri.
Di susul Sherin yang mengambil posisi duduk di lantai karena merasa pinggangnya sedikit sakit karena tertindih badan Adrian.
"Apa yang sedang kau lihat?" tanya Adrian pada Rika sembari berkecak pinggang menutupi rasa malunya.
Perempuan bertubuh gempal itu menggeleng dengan cepat, lalu mematikan kembali lampu dapur dan berniat pergi dari hadapan keduanya.
"Hei... Kenapa kau matikan lagi lampunya? Hidupkan... Cepat," teriak Adrian pada Rika hingga membuat pelayan probadi Sherin itu membalikkan tubuhnya dan kembali menghidupkan lampu dapur.
"Mm-maafkan saya, Tuan." Membungkukkan sedikit tubuhnya lalu menghilang dari pandangan Adrian.
"Eeh... Ri-" Sherin menghela nafasnya melihat Rika yang dengan cepat menghilang dari pandangannya.
Padahal Sherin ingin meminta Rika untuk membantunya berdiri dan kembali ke paviliun.
Sambil tertunduk menahan rasa sakit, Sherin mengelus elus pinggang belakangnya yang terasa ngilu.
Adrian berniay untuk membantu Sherin berdiri, tangannya telah terulur di hadapan Sherin. Namun segera di urungkannya saat mendengar penuturan dari Sherin.
"Kenapa kau selalu saja ingin mencuri kesempatan untuk menci*mku. Bibirku telah ternodai," ucap Sherin terlihat kesal.
"Apa kau bilang? Kau yang selalu menyentuh bibirku karena kecerobohanmu itu." Adrian menyeka bibirnya dengan cepat.
"Terserah kau saja, dasar aneh," umpat Sherin dengan suara pelan.
Dengan bersusah payah, gadis itu berdiri dari duduknya. Sherin berjalan melewati Adrian yang tengah menatapnya kesal untuk mencapai lemari pendingin.
Tak butuh waktu lama bagi gadis itu menemukan makanan untuk mengganjal perutnya. Sebotol minuman bersoda dan sebungkus keripik kentang pedas siap mengganjal perut Sherin yang sangat lapar.
"Syukurlah, ini cukup membantu." Sambil tersenyum melihat kedua tangannya yang telah memegang masing masing camilan yang di ambilnya dari dalam lemari kulkas
Adrian berjalan mendekati Sherin, menatap kedua tangan gadis itu lalu mengambil botol minuman soda secara paksa.
"Kau tidak boleh meminumnya," ucap Adrian lalu memasukkan kembali minuman itu ke dalam lemari kulkas.
"Kenapa?"
"Itu akan merusak lambung dan tenggorokanmu jika di konsumsi di malam hari seperti ini."
"Hanya satu, itu tidak akan bisa merusak lambungku." Sherin mengambil kembali minuman bersoda dari dalam lemari kulkas yang ada di hadapannya.