"Kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Sherin pelan.
Laki laki yang sedang memfokuskan pandangannya pada jalanan dan kemudi setir itu terdiam seperti sedang menahan amarah.
Gadis itu melirik sesekali, jari jarinya saling bertautan, terselip rasa kekhawatiran di dalamnya.
Sherin bertanya tanya dalam hati, bagaimana Adrian bisa tiba di saat yang tepat? Apa semua ini hanya kebetulan atau sengaja? Apa Adrian sempat melihat Kevin dan pamannya? Pertanyaan itu nyatanya tak bisa terucapkan dengan jelas.
"Kau ... Apa kau ... Su-"
"Kenapa kau ini sangat keras kepala? Atau kau ini benar benar bodoh? Hah?" Raut wajah Adrian berubah memerah padam, begitu mengerikan untuk di lihat.
Sherin tahu apa yang di maksud oleh Adrian, kepalanya tertunduk sembari menghela nafas lesu, "Maafkan aku, aku juga tidak me-"
Mobil yang melaju di atas kecepatan normal itu terhenti secara tiba tiba saat kaki Adrian menginjak pedal rem.
"Maaf, maaf, maaf. Hanya itu yang selalu kau ucapkan. Apa kau benar benar ingin membuat ku dalam masalah? Dengan begitu papaku akan semakin menyulitkanku ke depannya? Kenapa kau selalu membuat ulah? Kenapa kau selalu memberikan kesialan untukku? Apa kau sadar kau itu sangat merepotkan? Hah?" ucap Adrian dengan nada yang penuh amarah di dalamnya.
Adrian yang biasanya tak pernah banyak bicara, berubah menjadi mengerikan. Tangannya beberapa kali terlihat memukul mukul kemudi setir hingga membuat Sherin benar benar terkejut dan takut pada Adrian.
Dada Sherin terasa sangat sesak karena menahan rasa takut yang teramat, di remasnya kuat tali tas yang sedang di kenakannya itu.
"Kau benar, aku selalu membawa kesialan untuk keluarga kalian. Aku berjanji, secepatnya untuk mengakhiri kesialan ini. Sekali lagi maafkan aku." Sherin tersenyum getir dalam tundukan kepalanya.
Gadis itu membuka pintu mobil dan segera turun dari dalamnya. Rasa sakit di pergelangan kakinya tak di rasakannya lagi, bahkan nyaris tak terasa di banding dengan rasa sakit saat mendengar perkataan Adrian.
Adrian kembali memukul kuat kemudi setir mobilnya, "Aagrhh..." teriaknya lalu menarik kasar rambutnya yang rapi hingga menurunkan beberapa anak rambut ke dahinya.
Sherin menyeret kakinya untuk terus melangkah pergi dari pandangan Adrian. Sepertinya semesta sedang berpihak padanya, tanpa menunggu lama, sebuah taksi melintas di depannya. Sherin segera menghentikan taksi itu dan menaikinya.
Air mata yang sejak tadi bergulung gulung di balik kelopak indah mata Sherin kini terjatuh begitu saja bersamaan dengan kepalanya yang tertunduk.
Sherin sangat lelah, alur cerita hidupnya terlalu di penuhi dengan kesedihan, kebahagian murni sepertinya enggan untuk singgah di hidupnya.
"Kau tahu Ad, bahkan hidupku semakin bertambah sial setelah bertemu denganmu. Kenapa tidak papamu saja yang menikahiku? Aku akan rela jika Nyonya mencaci maki bahkan ingin membunuhku sekalian. Dari pada seperti ini, melihatmu berbicara seperti itu membuat hati ku sakit sekali," ucapnya pelan, sembari memukul mukul pahanya sendiri
Hah, gadis malang itu sangat putus asa. Kini tidak ada arah tujuannya, tempat yang nenurutnya aman dari pandangan mata keluarga Heri adalah rumah Alika. Ya, Sherin sepertinya memang berniat untuk berkunjung ke rumah Alika, setidaknya hanya untuk sekedar beristirahat sebentar.
Tapi, sebelum benar benar pergi dari hadapan keluarga Heri, Sherin tetap harus mengganti uang yang telah di keluarkan Heri sebanyak lima ratus juta. Dan satu hal terpenting lainnya, Sherin masih harus mendapatkan informasi dari Veldian tentang pria yang bernama Gallen.
Setelah semuanya tercapai, Sherin akan benar benar pergi menjauh dari kehidupan keluarga konglomerat itu, bahkan Sherin berharap pernikahan itu tidak akan sempat terjadi setelah uang itu terbayarkan sepenuhnya.
'Ayo Sher, kau harus berjuang dan berkorban sedikit lagi. Tahan saja sakitmu itu, bukankah hidupmu memang selalu menyedihkan? Plis, biasa saja. Jangan berlebihan menghadapi situasi yang sudah sering kau hadapi ini. Lagi pula tidak akan ada yang peduli dengan perasaanmu itu.' Batin Sherin.
Sebenarnya gadis itu ingin menyemangati dirinya sendiri, tapi mengapa justru terdengar begitu miris? Begitukah cara gadis itu menumbuhkan rasa semangat dan percaya dirinya? Entahlah, hanya Sherin sendirilah yang mengerti itu semua.
Sherin menyeka air matanya secara kasar. Di tariknya nafas panjang lalu di hembuskan secara perlahan. Sherin kembali lagi terlihat menjadi gadis yang kuat.
"Pak, kita putar arah ya. Ke jalan B blok A nomor 32," ucap Sherin mantap.
Sherin telah menemukan tekad dalam dirinya, sebelum semuanya tercapai, dia tidak bisa pergi dari hadapan keluarga Heri, mau tidak mau Sherin harus menerima semua perlakuan dan kata kata kasar Adrian, gadis itu juga telah bertekad agar bisa mengembalikan uang yang lima ratus juta sialan itu.
*****
Di sebuah perusahaan besar yang menaungi beberapa perusahaan yang bergerak di berbagai bidang usaha salah satunya properti dan manufaktur terlihat seorang pria berusia dua puluh empat tahun sedang berdiri di depan kursi putar kebesaran sang direktur utama.
Pria itu berpenampilan rapi dengan gayanya sendiri, rambutnya yang sedikit lebih panjang berwarna coklat gelap sengaja di sisirnya kesamping. Alis mata yang tebal alami, bentuk mata yang tidak terlalu besar serta hidung mancung dan bibir yang sedikit lebih tipis memberikan kesan tersendiri bagi yang melihatnya.
Veldian Arga Darmawan, pewaris kedua Darma Corp yang sangat mencintai dunia seni lukis akhirnya dengan terpaksa harus menggantikan posisi sang kakak.
Pria yang terlihat ramah itu sedang menunggu jawaban dari sang pemimpin perusahaan.
"Ayo katakan, pa!" ucap Veldian ketus.
Pria paruh baya yang telah menghabiskan sisa hidupnya dengan menjalani berbagai bisnis dengan sukses itu menghela nafas pelan. Tangannya masih memegang selembar foto berukuran 5R dengan mata yang tampak berkaca kaca.
"Akhirnya kalian akan segera mengetahuinya," sahutnya terdengar berat.
Veldian memutar matanya malas, tangannya berpindah kedalam saku celana formal yang di kenakannya. "Jangan berbelit, pa. Katakan saja. Aku hanya ingin mendengar kebenarannya."
"Soni riadi, salah satu teman baik dan berjasa bagi papa saat pertama kali merintis di dunia bisnis." Sambil menatap gambar empat orang di dalam foto tersebut.
"Apakah anak laki laki di dalam foto itu ...." Veldian ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
"Dia anak pertama Soni dan Velia, usianya sebaya denganmu. Apa kau lupa kau sering bermain dengannya saat masih duduk di bangku sekolah dasar?" tanya Heri dengan bibir yang sedikit menipis.
Veldian terkejut, dahinya sedikit berkerut seperti sedang menelisik jauh memori masa kecilnya.
"Lalu, dimana mereka saat ini? Kenapa aku tidak pernah bertemu atau melihat om Soni sekalipun saat dewasa seperti ini?"
Pria paruh baya itu membuka kacamata yang sejak tadi bertenggeng di batang hidungnya. Kepalanya sedikit menengadah keatas mencoba mengobtrol emosinya yang sewaktu waktu bisa pecah begitu saja.
"Dia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, dalam penyeragan yang di lakukan secara brutal oleh suruhan kepala geng mafia besar. Dan itu menjadi penyesalan terbesar dalam hidup papa."
"Lalu, perempuan kecil itu? Apakah dia anak om Soni juga?" tanya Veldian kembali.
Lagi lagi Heri menghela nafas panjang, seperti sedang melonggarkan dadanya yang mulai terasa sesak.
"Anak bungsu Soni dan Velia. Dan hanya dia satu satunya yang masih hidup." Heri menatap Veldian dalam.
Deg... Deg... Deg...
Jantung Veldian memompa kuat, matanya membesar seakan sedang mengartikan tatapan Heri padanya.
"Pa, apakah dia ...."