Tak ada garis yang terbentuk secara kebetulan namun ini kuasa alam, ya atau bahkan Zhachza menolak itu sudah menjadi kehidupannya sekarang. Dipersunting oleh orang kaya raya juga baik seperti David merupakan keadaan yang masih sulit diterima, tapi kali ini justru sebuah bencana lain muncul ke permukaan di dalam rumah tangga. Richard. Pria yang sudah 2 kali menculiknya, membawa ia ke dalam ruang-ruang asing menakutkan. Pria dengan manik mata penuh maksud tertentu atas dirinya.
Sebuah kerahasiaan terbenam semenjak kematian ibunya, sebuah perasaan terkubur dalam-dalam merasa telah kehilangan sosok itu, Richard merindukan masa di mana ibu dan ayahnya sering tertawa kemudian akan memanjakannya dengan celoteh atas pengalaman juga kesenangan mereka. Kini, situasi itu hilang entah tak ada tempat yang bisa menguasai kebahagiaan.
“Kenapa diam? Nanti masakannya bisa dingin,” Zhachza mencoba memecah keheningan di antara kegelisahan David juga Richard yang hanya menyangga dagu dengan kedua telapak tangan saling mengepal. “Aku perlu mengambil satu porsi untuk kalian?”
Sepi, Zhachza sudah melenyapkan perasaan takut meski itu sia-sia namun pada dasarnya ia juga menjaga agar David tidak mengetahui apa yang terjadi padanya dan Richard. “Oh baiklah, aku saja yang memilih menu di sini ya untuk kalian berdua.”
“Tidak perlu, tanganku masih bisa berguna untuk melakukan apapun termasuk…,”
“Cukup!” David mencegah kata-kata yang pastinya akan keluar dari pikiran tidak menyenangkan seorang Richard. “Ambil saja yang menurutmu enak, makan lalu kau ikut Daddy!”
Bukan ini sebuah pengorbanan yang ingin didapatkan Zhachza saat menikah dengan seorang duda memiliki seorang anak, kehidupan dulu bukan sebuah keadaan menyenangkan dan seharusnya Zhachza bisa bernapas lega karena perubahan saat menjadi istri Divano. “Aku… Akan mengambil makanan ini untukmu.”
Meski sikap itu manis tapi Richard masih membenci, terutama karena Zhachza adalah ibu tirinya saat ini. “Aku sudah bilang tanganku bisa berbuat apa saja termasuk menyingkirkan orang berbuat kebaikan palsu.”
David berdehem lalu mencegah tangan Zhachza untuk memberikan satu sendok masakan ke piring Richard, ia tersenyum sebagai tanda semua itu tidak perlu lagipula David malas melihat anaknya bersikap demikian lalu berbuat ulah. Sudah cukup 1 bulan ini David sudah kehilangan Richard karena pertengkaran mereka pada malam itu, malam yang menjadikan David berbuat kasar kepada anaknya sendiri.
Bukan menuruti apa menjadi sebuah aturan, Richard menyingkirkan celemek di sampingnya lalu bergegas untuk bangkit dan meninggalkan meja makan, tapi atas sikap itu nyatanya David menghalangi dengan meraih pergelangan tangannya. Richard sama sekali tidak ingin ada sebuah perlawanan, ia diam menanti apa saja ucapan yang akan didengar.
“Mau kan ikut Daddy?”
Selalu saja suara lembut itu berasal untuk memberikan ketenangan, Richard melepaskan tangan ayahnya perlahan kemudian ia tersenyum tipis melihat wajah dengan kerutan di area mata itu. “Istrimu butuh waktu untuk mengerti keadaan di keluarga Divano, jadi… Berikan saja waktu Daddy untuknya!”
Usai. Usaha David kali ini selalu berawal dengan kegagalan, tapi karena rasa kasih yang begitu besar untuk putranya ia diam sambil mengangguk tanda ucapan Richard akan menjadi tugas utama. Ia membiarkan tubuh dengan tinggi melebihi dirinya itu melenggang, tapi setidaknya David merasa tenang karena Richard bukan berjalan ke arah pintu keluar melainkan lantai atas menuju ruangan pribadi Richard.
Melihat keadaan tak seharmonis sejak awal Zhachza berpikir, kini ia harus bertahan dalam 2 sisi sekaligus. Menjadi istri orang yang tak dikenal menyuguhkan segala kebaikan juga ibu bagi anak laki-laki yang pernah membuatnya hampir celaka, namun di sisi yang begitu sulit Zhachza harus menguatkan sosok David saat ini. Ia pun bangkit demi berada di dekat punggung lebar dengan setelan kemeja hitam.
“Dia hanya butuh waktu saja,” Zhachza mengusap lembut d**a David dari belakang. “Menerima keadaan yang tak sesuai dengan keinginan memang sulit, Papa harus sabar.”
David meraih jemari lentik itu hanya untuk menikmati setiap aroma yang tertinggal. “Termasuk waktu bagimu hm? Maaf sudah membawamu ke dalam hidupku yang masih berantakan, tapi aku… Bukan ayah yang tidak bisa mengerti anaknya, jangan salah paham.”
“Tidak juga, semua orang akan melakukan hal yang sama sepertimu. Apapun itu adalah yang terbaik untuk anak dan dirimu sendiri.” Bisik Zhachza dengan suara juga bahasa untuk menenangkan David.
“Terima kasih.” David tahu ucapan tidak semudah dibayangkan ketika ia menikmati semua keadaan padanya dan Richard saat ini, tapi kali ini dua peran seorang suami juga ayah harus disanggupi.
“Apapun itu pasti terbaik untuk Richard.” Bisik Zhachza menenangkan pikiran David.
“Terima kasih.” David berupaya menjadi 2 peran di mana ia harus bertindak adil bagi istri dan putranya yang sudah lama merasa hancur atas kepergian ibunya.
[...]
Kesenangan hari juga tertanda kemewahan melekat pada setiap yang dilalui, Zhachza mulai mencacah rasa nikmat itu di dalam kemegahan hunian di distrik elit di Jakarta. Hampir 1 Minggu sejak hari istimewa pernikahan, Zhachza tidak datang sekali saat Edwin menjalani cek up rutin di rumah sakit. Tapi kali ini Zhachza memiliki keinginan untuk berkunjung, sebelum singgah ia sepatutnya membeli makanan kesukaan pamannya. Pisang goreng keju.
Pagi cerah menandakan perjalanan Zhachza dari kawasan Beverly Hills Indonesia di Pondok Indah menuju Bendungan Hilir tak ada hambatan, karena ia sama sekali tidak suka dengan rintik hujan menimpanya meski Zhachza menyukai bagian air menetes dari langit. Baginya itu nikmat alam yang sepantasnya dipuji.
Halaman yang mengarah langsung ke jalanan tanpa pintu gerbang itu membuat Zhachza tersenyum lebar, ia turun setelah membayar tarif tertera di dashboard taksi. Zhachza masih belum diberikan izin oleh David untuk menyetir karena keahlian itu masih diragukan, ia pun memilih taksi online sebagai alat transportasi ke mana pun akan pergi.
Pintu kayu dengan ukiran itu memiliki lubang kecil sengaja dibuat sebagai tempat mengintip, sebelum Zhachza masuk ke dalam ia lebih dulu melihat dari sana agar saat Edwin beristirahat tidak merasa terganggu. Celah pintu itu sudah terbuka, Zhachza langsung masuk dengan rasa penasaran mengapa Edwin lupa mengunci pintu.
“Om,” Zhachza meletakkan bingkisan makanan di meja. “Aku dateng nih, Om di mana?”
Sepi. Zhachza masuk lebih dalam hingga ke batas ruang tengah langsung menembus dapur namun tetap saja Edwin tidak ada di dalam. Zhachza mencari dari kamar Edwin hingga ke bagian halaman belakang di mana itu juga mengarah ke jalanan, keberadaan Edwin tak bisa ditemukan dan Zhachza mulai cemas.
Beberapa orang yang melintas menjadi target untuk menjawab pertanyaan Zhachza mengenai Edwin, tapi tak ada satu pun tahu ke mana perginya pria berusia 44 Tahun itu, karena bagi Zhachza mustahil dengan keadaan Edwin yang masih lemah bisa meninggalkan tempat itu.
Belum Zhachza kembali ke dalam ia dikejutkan oleh suara yang terdengar di salah satu gudang di luar rumahnya. Atas tenaga penuh Zhachza membuka pintu besar itu namun tak ada hasil, lalu atas bantuan seseorang yang melintas ia berhasil menemukan pamannya. Dengan kondisi luka di bahkan pipi juga area kantung mata Zhachza pun tak bisa percaya jika Edwin memiliki musuh.
Segera Zhachza membawa Edwin ke dalam, menyiapkan obat-obatan juga air dingin untuk membasuh luka di sana. Perlahan Zhachza mulia menyingkirkan darah yang telah mengiringi di sisi bibir Edwin. “Kenapa bisa begini Om? Siapa yang sudah memukuli Om sampai babak belur gini?”
“Enggak apa-apa kok, Om baik-baik aja.”
“Mana mungkin baik-baik aja? Ini Om luka parah, bilang sama aku siapa yang mukulin Om?” Zhachza bersikeras ingin tahu apa yang telah terjadi.
Edwin menatap uap air hangat di mangkuk besar, tangannya meraih lap yang telah basah kemudian mengusap bagian memar di pipi, berlanjut sampai dagu juga sisi wajah. Tak ada sedikit percakapan karena Edwin merasa ini akan berdampak pada pikiran Zhachza, maka urung untuk membahas yang telah terjadi.
“Om,” Zhachza menatap garis-garis pada iris coklat itu. “Ada apa? Depkolektor itu datang lagi?”
“Om udah lunasin hutang kita dari uang yang waktu itu kamu kasih kok,” Edwin takkan menyinggung atas luka di wajahnya. “Dan nggak ada hutang lain lagi Zhachza.”
“Terus ini kenapa?”
“Cuma… Jatuh.”
Mendengar jawaban itu Zhachza merenggut handuk kecil dari tangan Edwin. “Om, aku ini udah dewasa ya. Bukan anak kecil yang bisa Om bohongi, kalau Om jatuh bukan begitu bentuk lukanya! Ini Om abis dipukulin orang, iya ‘kan?”
“Bukan.”
“Om, bilang siapa!”
Pertikaian ini mustahil untuk dihindari, Edwin tampak gelisah karena kemauan yang diajukan apalagi mengenai pertanyaan memang harus diberi jawaban. Edwin yang semula masih bisa menahan untuk tidak menggunakan mulutnya mengungkap keadaan ini mulai gemetar. “Ini… Bukan dari depkolektor itu Zhachza tapi…,”
Ucapan terjeda karena Edwin bimbang jika berbohong maka Zhachza akan berurusan dengan ulah itu. ”Ini...Ulah pria yang ngaku-ngaku dia anak tirimu.”
Zhachza mengerjap menahan air mata di sana. Richard? Nama itu selalu saja mengusik pikiran dalam ulah yang tak bisa Zhachza hindari atau menjaga jarak saja saat ini mustahil, status mereka telah berubah. “Kapan dia ke sini?”
“Tadi malam.” Jawab Edwin lirih.
“Apa? Jadi Om dikurung semalaman di gudang?” Zhachza tak pernah mengira ini akan terjadi.
“Om yang milih bersembunyi di sana Zhachza, Om takut.” Jawab Edwin masih dengan bibir bergetar.
Zhachza kembali membasahi handuk kecil lalu mengusapkan ke bagian pipi juga kening Edwin yang memar, lembut hingga darah mengiringi di sisi luka itu hilang, kemudian Zhachza memberikan alkohol lalu mendiamkan sejenak hingga luka itu sedikit mengering sesaat itu Zhachza berpikir mengenai Richard hingga berkeinginan mengatakan hal ini kepada David.
Mustahil. Zhachza hanya akan dianggap sebagai wanita lemah mengandalkan seorang David di depan Richard, tentunya ia harus menghadapi semua ini sendiri. “Nanti kalau lukanya udah aku kasih obat, Om makan ya! Aku bawa cemilan kesukaan Om, juga aku beli hape baru buat Om.”
“Ya ampun, kamu repot-repot. Lagian kan hape buat apa Zhachza?”
“Kok buat apa sih? Ya buat apa aja Om, bisa main game, chatting, dan biar gampang kalau aku hubungi Om, tau keadaan Om.” Zhachza menjelaskan.
“Iya, kalau itu tau. Tapi… Nggak terlalu butuh Zhachza, mau buat apa? Kerja enggak, temen juga nggak ada.” Murung. Edwin menatap lantai sambil mengusap-usap luka di lengan.
Tatapan itu menjaring makna lain dalam perasaan, Zhachza tetap membalut luka di kening juga sisi wajah Edwin termasuk bibir. Pengaruh itu memulai sebuah rasa yang tidak tega jika suatu saat David akan mengajaknya pergi dari Indonesia, tentu Edwin yang hidup sebatang kara mengemban masalah ekonomi sendiri meski saat ini David telah menunjang segala sesuatunya.
“Om makan dulu ya, abis ini aku mau ke bar.” Zhachza menjumput pegangan pada kantung kresek, memindahkan makanan ke piring.
“Bar? Emang kamu masih kerja di sana?”
Zhachza menggeleng. “Aku cuma mau nemuin Cath, kemarin aku sempat liat dia di salah satu…,”
Ingat akan keadaan di mana Edwin masih saja berharap agar Cath memiliki perasaan yang sama, Zhachza memilih diam enggan lagi berkata akan hal itu. Kemudian ia mencoba mengubah topik pembicaraan tapi Zhachza menemukan wajah itu nampak kecewa, ia pun merasa ini adalah kesalahan jika berbicara mengenai sahabatnya.
“Kenapa dia?” Tanya Edwin yang masih menanti jawaban Zhachza.
“Waktu aku sempat ketemu Cath di bar, tapi aku nggak tau dia mau ngapain ke sana.” Jujur saja, Zhachza tidak akan sanggup berkata jujur mengenai hari itu.
“Pasti ketemu sama pacarnya.” Jawab Edwin semakin lesu.
“Nggak tau juga Om, lagian kan… Om nggak perlu berharap lebih sama dia. Cath bukan wanita yang Om butuhkan, dia cuma menjadi ketertarikan aja buat Om.” Sebenarnya Zhachza ragu mengatakan hal itu.
“Iya.”
“Udah, Om makan ya! Besok aku temenin cek up,” Zhachza menyiapkan tatakan kecil dan garpu untuk Edwin. “Tapi kalau nggak ada halangan, soalnya aku sama David ada acara.”
Edwin mulai membelah pisang dilumuri keju, menikmati aroma wangi di sana lalu dengan satu gigitan ia menikmati rasanya. “Ngomong-ngomong David itu gimana? Baik?”
“Baik, dia bahkan pria yang sangat baik.”
“Tapi anaknya mirip penjahat ya? Urakan macam anak nggak dididik.” Edwin mencela.
“Dia cuma kurang kasih sayang dari ibunya,” Zhachza membenahi peralatan untuk mengobati luka. “Dan… Mungkin karena David terlalu sibuk Om, aku juga nggak begitu paham tapi pelan-pelan David mencoba buat cerita.”
“Kamu beruntung Zhachza, menikah sama pria yang bertanggung jawab seperti David.” Edwin meyakini hal itu.
Zhachza mengumbar napasnya kasar, menghirup sejenak udara yang singgah. "Nggak tau juga Om, beruntung atau enggak. Yang pasti biar Om bisa tetap sehat, dan…,”
“Kamu menikah cuma karena aku Zhachza?”
Mata Zhachza mengerjap cepat menaruh harapan juga keyakinan bahwa ini semua bukan kesalahan. “Gaji menari di bar nggak cukup buat cek up setiap minggu nya Om, tapi itu nggak masalah! Om jangan merasa nggak enak, kita kan udah jadi keluarga.”
“Sejak kita ketemu cuma kamu yang semangat cari uang, aku… Cuma beban aja buat kamu.” Edwin mengeluh jika karena penyakit yang diderita Zhachza harus bekerja paruh waktu demi mendapatkan uang lebih.
“Justru Om yang sudah menolongku, kalau nggak ada Om waktu itu pasti aku udah dijual sama ayah.”
Pertolongan saat Zhachza berusia 15 Tahun merupakan kebaikan yang takkan pernah ia lupakan, menjadi bagian dari Edwin kala itu benar-benar membutuhkan banyak waktu juga tenaga untuk membebaskannya dari hukum-hukum Jerman saat itu, bahkan mengadopsi Zhachza itu sangat sulit.
“Udah, nggak ada yang benar karena manusia itu letaknya salah. Yang penting kita juga udah lepas dari belenggu masing-masing Zhachza.” Balas Edwin mengakhiri keadaan yang mungkin bisa saja membuatnya saling merasa.