Aroma masakan menguar memenuhi area ruang makan rumah megah keluarga Agler. Wanita paruh baya dengan wajah nampak awet muda, sibuk menyiapkan makan malam untuk suami dan anaknya. Sundari – wanita yang menjadi ibu dari Naka dan Suta. Wanita itu terlihat senang karena makan malam kali ini akan dilewati bersama putra keduanya, yang selama ini memilih tinggal terpisah dengannya.
“Pa, ayo makan. Semua menu sudah siap.” Sundari melihat ke ruang keluarga namun tidak menemukan keberadaan putranya. “Loh, Naka ke mana, Pa?”
“Dia ke kamar ayah. Tahu kakeknya nggak enak badan, anak itu langsung datang. Coba saja kalau bukan karena kondisi ayah, mana mau dia ke rumah.”
“Ya sudah, yang penting dia mau pulang meski sebentar,” ucap Sundari. “Lagian memang ayah yang pingin ketemu Naka, jadi biar saja mereka ngobrol berdua.”
Dirja beranjak dari duduknya. “Kalau begitu panggil dulu Naka untuk makan malam. Biar ayah istirahat lebih cepat.”
“Iya Pa. Mama mau panggil Naka. Papa duluan saja ke meja makan.”
Sementara itu Naka yang sedang berada di kamar kakeknya, duduk di kursi sebelah tempat tidur. Tangannya menggenggam tangan keriput sang kakek – Danu, yang kini tengah terlelap tidur setelah minum obat. Naka sangat dekat dengan kakeknya dan saat tahu laki-laki itu sakit, sepulang dari hotel langsung datang ke rumah orang tuanya. Meski hanya demam dan bahkan sudah membaik, tetap saja Naka merasa khawatir.
“Biasanya kakek selalu sehat. Selama aku tinggal di luar, jarang sekali aku dengar kakek sakit. Tapi kenapa sekarang kakek jadi seperti ini?” gumam Naka sambil menatap wajah Danu.
Lamunan Naka buyar setelah mendengar pintu dibuka. Ibunya muncul dari balik pintu tersebut.
“Naka, makan dulu,” ucap Sundari pelan. “Kakek sudah tidur, jadi kamu bisa pergi dulu.”
Naka mengangguk. “Iya Ma.”
Kini di meja makan sudah lengkap dengan keberadaan dua orang tua serta anaknya. Sundari begitu senang melayani suami dan putranya. Segala jenis menu masakan, di tata cantik di meja makan agar Dirja dan Naka lebih berselera untuk menikmati.
“Papa dengar kamu datang terlambat saat meeting. Benar begitu?”
Naka yang sejak tadi banyak diam dan fokus pada makanan, kini tangannya berhenti bergerak. “Bukan hal fatal kalau aku telat datang meeting. Yang penting aku tetap datang.”
“Justru itu masalahnya Naka. Bagaimana bisa kamu menunjukkan sikap tidak disiplin di hadapan karyawan kamu. Apalagi di awal masa menjabat kamu.”
“Baru sekali. Aku masih penyesuaian,” ucap Naka dingin.
“Ini bukan kali pertama kamu bekerja. Selama di Australia, kamu juga bekerja, kan?”
Sundari menyadari ketegangan tersebut. “Pa, anak kita sedang menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja di sini. Jangan terlalu dipermasalahkan. Nanti juga terbiasa kok.”
“Mama harus tahu kalau Naka juga bersikap buruk kepada sekretarisnya. Hanya masalah salah menyajikan kopi, dia begitu marah kepada Andrea. Mama tahu sendiri bagaimana hasil pekerjaan Andrea, jadi tidak sepantasnya masalah kopi sampai mempertanyakan kredibilitas dia sebagai mantan sekretaris Papa.”
Naka yang awalnya tidak mau membalas tatapan mata ayahnya, kini perlahan mengangkat wajahnya. Laki-laki itu tersenyum sinis namun tipis. “Jadi dia mengadu?”
“Andrea tidak mengadu, Naka.”
“Lalu kenapa Papa bisa tahu? Bukannya Andrea dipilih atas perintah Papa?”
“Naka, jaga ucapan kamu,” tegur Sundari. “Papa juga, jangan emosi dong.”
Dirja menghela napas lalu mengambil gelas berisi air untuk diteguk agar emosinya mereda. Niatnya dari awal tidak ingin berdebat sengit dengan Naka, tapi sifat putranya saat ini benar-benar menguji emosi.
“Naka, maaf kalau ucapan Papa terlalu keras. Kamu memang butuh waktu untuk penyesuaian dan keberadaan Andrea harusnya sangat membantu. Jadi Papa harap kamu jangan terlalu keras dengan dia. Masalah kopi, pasti dia tidak sengaja, jadi kamu tidak perlu berlebihan,” jelas Dirja pelan. “Lagi pula kamu sudah kenal Andrea sejak Papa masih menjabat. Harusnya kalian mudah akrab.”
“Andrea juga sedikit pendiam Pa, setelah bercerai dengan suaminya,” Sundari menimpali.
Ucapan sang ibu membuat Naka terkejut. “Cerai? Dia sudah menikah?”
“Iya, masa kamu lupa. Tapi mereka memutuskan berpisah. Kalau tidak salah kejadiannya sudah dua tahun yang lalu. Iya kan Ma?”
“Iya. Kasian tapi mungkin itu keputusan terbaik. Mama dan Papa juga tidak banyak tanya karena itu urusan pribadi Andrea.”
“Oh …”
“Papa tidak minta kamu kasihan dengan Andrea. Tapi kalau kesalahannya masih batas wajar, tegur dengan baik. Kalau memang sangat fatal, terserah kamu mau bertindak seperti apa.”
Naka hanya mengangguk tanpa mengucapkan apa-apa. Tangannya kembali memegang sendok dan garpu untuk melanjutkan makan yang tertunda. Namun pikirannya masih mengingat fakta yang baru saja ia ketahui mengenai sekretarisnya.
Selesai makan malam, Naka pulang ke rumah yang jaraknya tidak jauh dari rumah orang tuanya, maupun hotel milik keluarganya. Salah satu syarat saat ia diminta untuk kembali ke tanah air adalah ia ingin tinggal di rumahnya sendiri. Hidup mandiri adalah pilihan laki-laki itu demi ketenangan hatinya.
Sepanjang perjalanan pulang, Naka kembali ingat dengan sosok Andrea. Seminggu bekerja dengan wanita itu, ia sama sekali tidak pernah ingin tahu bagaimana sosoknya. Sifat dan kepribadian Andrea tidak pernah membuat Naka tertarik untuk mengetahuinya. Namun kenangan beberapa tahun silam kembali muncul ke permukaan. Saat pertama mengenal Andrea sebagai sekretaris ayahnya, wanita itu tersenyum begitu ramah. Tetapi Naka benar-benar lupa kalau Andrea sudah menikah karena dulu ia tidak pernah peduli dengan urusan karyawan ayahnya.
“Manusia bisa berubah karena memiliki luka. Iya kan?” gumam Naka pada dirinya sendiri. Tidak lama laki-laki itu tersenyum. Senyum yang nampak tidak ramah. “Ternyata dia memang orang yang setia. Segalanya dilaporkan kepada papa. Dasar pengadu!”
***
Seperti biasa Andrea datang ke ruangan Naka untuk melakukan rutinitas wajib di pagi hari. Mendapat izin untuk masuk, kaki wanita itu melangkah pelan. Andrea sadar kalau saat ini Naka sedang menatapnya. Namun Andrea tidak peduli dan bersikap biasa saja.
Naka menatap Andrea yang berjalan mendekati meja kerjanya. Penampilan wanita itu biasa saja, tidak ada yang spesial. Andrea selalu mengenakan pakaian yang sopan serta tertutup. Namun bukan itu yang mengalihkan perhatiannya, tetapi rasa kesal ketika sekretarisnya muncul dengan raut wajah tanpa dosa.
“Hasil meeting kemarin sudah saya kirim ke email. Begitu juga dengan jadwal kerja hari ini.”
“Jadi benar kalau kamu mata-mata papa saya?”
Andrea nampak terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba dari atasannya. “Maksud Pak Naka?”
Laki-laki itu tersenyum sinis. “Kamu jangan pura-pura bodoh. Saya tahu kalau kamu mengadu kepada papa saya. Bahkan masalah kopi kamu juga melapor? Benar-benar luar biasa.”
“Melapor?” Andrea masih bingung. “Maaf Pak, saya sama sekali tidak melakukan apa-apa. Maksud saya, apa yang Bapak katakan, itu tidak benar. Saya tidak pernah mengadu kepada Pak Dirja.”
“Kalau bukan kamu yang mengadu, siapa lagi? Hantu yang ada di ruangan ini? Konyol sekali.”
“Itu …mungkin saja?”
“Jangan mengelak terus. Semua sudah jelas, jadi mau beralasan apa lagi.” Naka memotong kalimat Andrea. “Tapi baguslah kalau kamu mengadu. Dengan cara seperti itu, papa saya jadi tahu bagaimana saya bekerja. Jika beliau keberatan, artinya saya tidak pantas mengemban tanggung jawab ini.”
“Saya pastikan anda akan melakukan tugas dengan sebaik mungkin dan Pak Dirja serta Pak Suta akan mengakui kalau anda pantas berada di posisi ini,” ucap Andrea berani. “Sudah jadi tanggung jawab saya membantu Pak Naka. Jadi saya akan berusaha sebaik mungkin menjadi sekretaris Bapak. Pak Naka pasti berhasil mengemban tugas sebagai Assistant General Manager.”
Lagi-lagi Naka tersenyum namun dengan pandangannya berpaling dari Andrea. Laki-laki itu lalu menghela napas panjang. “Kenapa kamu yakin sekali? Padahal kamu sendiri gagal dalam berumah tangga,” gumamnya pelan.
Kedua mata Andrea membola. Meski pelan, ia bisa mendengar ucapan Naka, tetapi ia berpura-pura tidak tahu. “Maaf, Pak Naka ngomong apa?”
Naka mengibaskan tangannya. “Sudahlah. Kamu keluar dari ruangan saya. Saya malas harus membuang energi setiap pagi dengan kamu.”
“Baik Pak. Saya permisi.”
Sekuat tenaga Andrea menahan diri agar bisa bersikap biasa saja saat keluar dari ruangan Naka. Tangannya gemetar dan jantungnya berdegup kencang. Kalimat menohok yang digumamkan laki-laki itu, berhasil membuatnya merasa sakit dan sesak di dadanya. Entah kenapa bisa seorang Naka mengungkit masalah pribadi ketika dalam pembicaraan mengenai pekerjaan.
Andrea memutuskan untuk pergi ke toilet untuk menenangkan diri. Meski bukan pertama kali hal seperti ini terjadi, tetapi ada kalanya ia merasa sangat sedih dan lelah. Ia butuh sedikit waktu untuk menyendiri.
Sesampainya di toilet, Andrea menatap pantulan dirinya di cermin. Matanya berkaca-kaca namun segera dicegah agar tidak menangis.
“Kenapa harus sedih? Sudah berlalu cukup lama, jadi harusnya aku biasa saja,” gumamnya. “Aku nggak mau orang lain merasa kasihan. Meksi penuh luka, tapi aku baik-baik saja.”