6. Solusi Arya

1504 Words
"Kok elo b*****t banget sih jadi laki, Ar?" pekik Ronald dengan rahang mengetat. Baru beberapa menit ia mendengar cerita lengkap dari Arya tentang masalah pelik yang tengah sahabatnya itu hadapi. Namun tetap saja, kalimat terakhir Arya tak bisa masuk ke akal sehatnya. "Ya elo tanggung jawab lah, Bego, masa mau enaknya doang? begitu hamil malah elo paksa gugurin. Otak lo jatuh dimana sih?" Ronald berkacak pinggang sambil menggelengkan kepala. "Gue nggak akan maksa Alisha, Kha. Gue bakal ngajak dia diskusi dulu tentang ini, siapa tau dia juga setuju sama usulan gue. Apalagi kandungannya masih kecil, pasti lebih mudah digugurin dari pada nunggu perutnya gede." Arya menjambak rambutnya yang sedari tadi sudah acak-acakan. Entah karena terlalu banyak pikiran atau memang dia sudah tak punya jalan keluar lain sebagai pilihan. "Astaga Arya, elo kalau mau bikin dosa jangan ngajak-ngajak gue gini deh! tanggung sendiri sana!" Ronald bergidik ngeri. Dosanya sudah menumpuk cukup banyak, jadi ia benar-benar tak ingin terlibat lagi dengan dosa orang lain meskipun itu sahabat dekatnya sendiri. "Gue nggak ngajakin elo bikin dosa, Ron. Gue cuma minta tolong," seru Arya hampir putus asa. "Gue cuma minta nomor HP orang yang jualan pil-pil yang kata lo beberapa bulan lalu itu," sambungnya dengan wajah memelas. “Elo bakal beli pil buat gugurin kandungan dan tanya penjualnya ke gue, ya itu sama aja gue kecipratan dosanya bego.” “Gue yang tanggung semua dosanya!” “Elo malaikat? malaikat aja ogah kali deket-deket kita, eh … elo,” sahut Ronald mencoba menolah permintaan Arya. “Terus gue harus gimana lagi, Ron?” “Ya tanggung jawab dong, Alisha minta nikahin ya nikahin lah.” Andai solusinya semudah itu. Tapi Arya punya pemikiran lain, yang tak semudah itu. “Alisha masih kuliah, Kha. Gue juga baru lulus, belum ada kerjaan tetap. Belum lagi tuntuta bokap nyokap yang harus kelarin S2 sebelum masuk ke perusahaan.” Ronald mendekat dan menepuk pundak sahabatnya. “Banyak kok yang udah nikah meskipun masih belum kelar kuliah. Alisha pinter, dia pasti nggak akan kesulitan ngejar kuliahnya. Elo juga anak sultan yang duitnya nggak akan habis dimakan tujuh turunan tujuh tanjakan. Jangan pake alasan belum kerja segala buat ngelak dari tanggung jawab. Apa bakar tuh saham yang udah atas nama lo sejak lahir?” “Nggak semudah itu juga, Sat! Bokap nyokap gue bakalan kena serangan jantung kalau tau gue hamilin anak gadis orang. Belum lagi gue yang bakalan dihajar habis-habisan sama dua kakak gue. Elo kayak nggak tau Mas Seno aja deh, pistol dia bisa aja mecahin kepala gue kalau berita Alisha hamil sampe kedengeran.” “Elo takut digebukin atau takut miskin sih sebenernya?” sindir Ronald terang-terangan. “Tapi anehnya, malah nggak takut hamilin anak orang.” Memang itulah hal yang paling ditakutkan oleh Arya sebenarnya. "Dua-duanya, Ron. Kalau gue didepak sama bokap, gue jatuh miskin, terus jadi gembel, lalu siapa yang bakal biayain Alisha dan bayinya?" "Itu bayi lo juga, Kampret!" "Maksud gue gitu, Ron. Terus kalau gue digebukin Mas Seno atau Mas Awan sampe tinggal nama gimana? siapa juga yang bakalan ngurus Alisha dan bayinya? Jadi menurut gue, udah paling bener kalau digugurin aja sebelum merugikan banyak pihak. Belum lagi nama besar bokap gue yang jadi taruhannya," seru Arya mulai mendoktrin Ronald dengan kalimat-kalimatnya. "Sarap lo, Ar. Nggak nyangka aja elo setega itu sama pacar sendiri." Ronald tersenyum miris. Tapi memang kalau dipikir-pikir, reputasi keluarga Dwisastro pasti akan hancur lebur jika nanti penerusnya malah ketahuan menghamili seorang gadis dan enggan bertanggung jawab seperti ini. "Ron, makin cepat lo ngasih nomor tuh orang, makin cepet juga masalah ini kelar. Aman damai, nggak ada orang yang bakal dirugikan lagi. Please." Arya mengulurkan ponselnya ke depan Ronald, berharap sahabatnya itu bersedia memberi nomor penjual pil sialan itu. "Gue speechless ngadepin manusia modelan kayak elo, Ar." Masih menggeleng pelan, Ronald akhirnya mengelurkan ponsel dari saku jaketnya. Lalu menarikan jemarinya sesaat untuk mencari sebuah nama di kontak yang tersimpan di gawai tersebut. "Namanya Mas Johan, dulu yang nyewa apartmen gue yang di Kemang. Tapi sekarang udah pindah entah ke mana?" Ronald menunjukkan salah satu kontak seseorang dari ponselnya. Arya tak peduli siapa nama orangnya, karena yang ia butuhkan hanya barang kecil yang bisa menghilangkan sumber masalahnya saat ini. "Gue juga nggak tau nomornya masih aktif atau nggak," sambungnya menimpali. Mendadak saja Ronald dihinggapi penyesalan pernah bercerita pada teman-temannya perihal penyewa di apartmentnya yang ternyata berjualan obat-obatan herbal yang belum memiliki ijin resmi. Hal tersebut ia ketahui karena Johan sendiri yang memberitahunya tentang betapa banyak gadis muda dan pasangannya yang mendatanginya untuk membeli obat penggugur kandungan. "Thanks, Ron. Kalaupun nggak aktif, nanti gue tanya-tanya ke apartment lo deh," jawab arya tanpa perlu repot menoleh, karena ia sedang sibuk menyimpan nomor baru ke dalam ponselnya. "Elo gila, Arya!" "Gue bakalan jadi beneran gila lagi kalau ngaku udah hamilin Alisha di depan keluarga gue, Kha." "Susah ngomong sama orang kepala batu kayak elo, Ar. Kelar masalah ini, buruan tobat lo berdua sama Alisha," pungkas Ronald lantas meninggalkan Arya duduk termenung seorang diri di sofa ruang tamunya. *** "Sha, mata kamu kok bengkak gitu sih? habis nangis?" Marissa keheranan begitu melihat ada yang berbeda di wajah Alisha. "Eh, masa sih bengkak?"Alisha yang sebelumnya menunduk langsung mengusap kedua mata dan pipinya yang memang masih sembab akibat tangisannya semalam. "Nggak ah, Kak. Efek begadangin tugas aja semalam nih, bejibun banget," lanjutnya lagi setelah menemukan alasan. "Emang masih banyak aja tugasnya?" Marissa sedikit keheranan, karena mahasiswa sepandai Alisha tak biasanya mengeluh karena tugas kuliah seperti ini. "Banyak banget, Kak. Tau tuh, dosen baru tegaan bener kalau kasih tugas nggak kira-kira," Alisha meringis salah tingkah mendengar kebohongan yang keluar dari mulutnya sendiri. "Masa sih?" Alisha mengangguk mantap mempertahankan argumennya. "Eh, Kakak ada apa? tumbenan ke kamar aku pagi-pagi, mana udah rapi banget gini," tanyanya sembari mengamati penampilan Marissa yang lain dari biasanya. "Aku udah mulai pelatihan hari ini, jadi emang berangkat pagi. Mau ngasih tau juga kalau aku bakalan nginep di mess mereka sampe dua minggu ke depan," jawab Marissa dengan wajah berbinar. Marissa memang baru saja lolos bekerja di salah satu perusahaan BUMN, dan mulai hari ini ia akan mengikuti pelatihan hingga beberapa hari ke depan. "Nggak masalah kan kamu sendirian dulu?" Alisha berdecak sekilas. "Kakak apaan deh, kayak yang aku takut sama demit aja." "Ya kali aja, Sha." "Nggak akan lah, palingan juga demitnya yang takut sama duluan aku, Kak," serunya tergelak kecil. "Kak Marissa nggak perlu khawatir." "Ke kamu sih nggak khawatir, Sha. Khawatirnya malah ke Arya aja," Marissa menepuk pundak Alisha sembari terkekeh. "Khawatirnya kalau dia makin rajin ke sini nyamperin kamu yang lagi sendirian, kamu ati-ati aja kalau berduaan sama dia. Takutnya kalian khilaf," gelak tawa Marissa lembali meledak. Alisha sontak menunduk dalam. Ia dan Arya memang pernah khilaf, dan hasilnya benar-benar di luar prediksi mereka. “Nggak akan, Kak.” ‘Jangan sampai terulang lagi,’ lanjut Alisha dalam hati. Dering ponsel milik Marissa menjeda obrolan mereka berdua. “Eh, bentar, Sha. Ini si Rakha nelpon. Pasti udah di bawah,” seru Marissa mengedipkan sebelah mata. “Iya, Sayang … oke-oke, aku udah siap kok ini. Oh ke bawah aja, oke, otw…” Marissa beralih berbincang dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. “Sha, aku ke bawah duluan ya. Rakha udah jemput tapi nggak bisa naik.” Marissa gegas bangkit lantas berjalan keluar dari kamar Alisha. “Kamu ada kuliah kan hari ini?” Alisha hanya menganggukkan kepala tanpa mengeluarkan suara. Gadis itu mengekor di belakang Marissa sambil memperhatikan teman satu apartmennya itu yang hendak berangkat. “Buruan siap-siap, kata Rakha barusan dia lihat mobil Arya belok ke basement. Pasti mau nganter kamu ke kampus,” sambung Marissa masih sibuk dengan barang bawaanya. Tak banyak memang, hanya koper berukuran sedang dan satu tas ransel kecil yang sudah menggantung di punggungnya. “Mas Arya?” “Iya, Arya pacar kamu. Arya siapa lagi emang kalau bukan si manja itu.” “Tapi kuliahkku masih siang, Kak—” belum sempat Alisha menuntaskan kalimatnya. Sosok yang baru saja disebut Marissa sudah ada di depan pintu apartment bersamaan dengan Marissa yang hendak keluar. “Naaah, ini dia orang yang barusan diomongin ternyata udah dateng. Masuk aja lo, Ar, gue cabut duluan ya!” pekik Marissa tersenyum lebar saat melihat sosok Arya. Tak berniat berbasa-basi lama, Marissa segera berlalu dan tak menoleh lagi pada Arya maupun Alisha. Arya menggeleng pelan seolah Marissa adalah makhluk kasat mata yang tak terlihat olehnya. “Sha, siap-siap gih, kita ke kampus, sekalian aku mau lanjut ngomongin rencana kita yang kemarin.” “Tapi bukannya kita janjian siang ke kamp—” “Sekarang aja, Sha. Lebih cepat lebih baik,” potong Arya enggan mendengar penolakan. “Kamu pengen segera dapet solusi tentang masalah kehamilanmu ini kan?” Alisha spontan menganggukkan kepalanya bak robot yang tak punya kuasa. “Ayo buruan ganti baju, kita berangkat sekarang. Mumpung aku udah dapet barangnya, susah lho dapetinnya.” Arya menggandeng tangan Alisha lantas menariknya pelan agar kekasih cantiknya itu segera masuk kamar dan bersiap-siap. Kening Alisha mengernyit seketika. “Barang? barang apaan, Mas?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD